Menghidupkan Kesadaran dengan Lagu ‘Must Have Been The Wind’ oleh Alec Benjamin

Sumber Foto: smule.com

Oleh: Egogil

Apa yang harus kita sadari? Hal apa yang bisa kita lakukan setelah kita sadar? Lalu, bagaimana cara membantu mereka? Serangkaian pertanyaan tersebut bisa dijawab oleh lagu ‘Must Have Been The Wind’ yang dinyanyikan oleh Alec Benjamin.

Alec Benjamin sendiri adalah seorang penyayi asal Amerika yang berumur 29 tahun. Dirinya dikenal oleh khalayak ramai, karena lagunya yang berjudul ‘Let Me Down Slowly’ yang dirilis pada tahun 2018. Lagu tersebut menduduki Top 40 pada lebih dari 25 negara. Masih banyak deret prestasi yang berhasil dicapai oleh Alec Benjamin, tapi kali ini, pembahasan kita adalah tentang lagunya yang berjudul ‘Must Have Been The Wind’. Hal tersebut dikarenakan–secara tersirat–lagu tersebut mengajari kepekaan terhadap sekitar kepada para pendengar.

Lirik lagu dari ‘Must Have Been The Wind’ menceritakan tentang kekhawatiran seorang lelaki yang berada di apartemen bawah terhadap ‘suara angin’. Angin itu ia dengar dari unit apartemen yang berada tepat di atas apartemennya. Padahal, jauh di dalam hati, si lelaki tahu bahwa itu tidaklah hanya sebuah ‘suara angin’, melainkan ada sebuah problematika yang terjadi pada penghuni unit apartemen di atasnya.

Alec Benjamin secara apik membagi bagian lagunya menjadi susunan runtun, untuk menjawab sederet pertanyaan filosfis. Verse pertama menjawab pertanyaan; apa yang harus kita sadar? Kemudian verse kedua menjawab pertanyaan; hal apa yang bisa kita lakukan dalam keadaan sadar? Terakhir, bridge sampai chorus terakhir menjawab pertanyaan; bagaimana cara membantu mereka?

[Verse 1]

I heard a glass shatter on the wall in the apartment above mine

(Aku mendengar suara kaca pecah di apartemen atasku)

At first I thought that I was dreamin’

(Awalnya kupikir aku bermimpi)

But then I heard the voice of a girl

(Kemudian aku mendengar suara perempuan)

And it sounded like she’d been cryin’

(Yang terdengarr seperti sedang menangis)

Now I’m too worried to be sleepin’

(Sekarang aku terlalu khawatir untuk tidur)

Deretan lirik di atas, secara ringkas menggambarkan seorang tetangga apartmen yang merasa khawatir, setelah mendengar suara kaca pecah dan tangisan perempuan bahkan sampai di titik ia tidak bisa tidur karena dua suara tersebut. Penuturan cerita oleh Alec Benjamin, secara jelas memberikan gambaran bahwa ia adalah seorang tetangga yang memiliki kepekaan terhadap sekitar. Hal inilah yang jarang dimiliki oleh manusia zaman sekarang.

Banyak kasus yang sudah terjadi di sekeliling kita; bahwa orang-orang secara tersirat memberikan tanda bahwa mereka butuh pertolongan. Tapi, perlu diingat bahwa pertanda yang mereka berikan, tidak selalu suara kaca yang pecah atau dalam bentuk sebuah tangisan, melainkan terlukis dalam bentuk pertanda lain yang sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi. Sekecil status WhatsApp yang menunjukkan dia sedang tidak baik-baik saja, atau mungkin penggunaan baju lengan panjang untuk menutupi goresan di pergelangan tangannya, dan tanda-tanda lain yang terlihat tak familiar bagi orang normal. Jadi, jawaban untuk pertanyaan; apa yang harus kita sadari? adalah; lingkungan di sekitar kita. Apa yang tengah dihadapi oleh orang-orang di sekeliling kita?

[Pre-Chorus]

So I took the elevator to the second floor

(Kemudian aku menaiki elevator menuju lantai dua)

Walked down the hall and then I knocked upon her door

(berjalan melalui lorong kemudian mengetuk pintunya)

She opened up and I asked about the things I’ve been hearing

(Perempuan itu membuka pintunya dan aku bertanya tentang apa yang sudah aku dengar -suara kaca pecah-)

[Chorus]

She said, “I think your ears are playing tricks on you”

(Perempuan itu berkata, “Kupikir kamu salah dengar”)

Sweater zipped up to her chin

(Menggunakan sweater yang dikancingkan sampai dagunya)

“Thanks for caring, sir, that’s nice of you”

(“Terimakasih sudah peduli, kamu baik sekali”

“But I have to go back in”

(“Tapi aku harus kembali ke dalam”

Wish I could tell you about the noise

(“Ku harap aku bisa memberi tahumu tentang apa yang kudengar”)

“But I didn’t hear a thing”

(“Tapi aku tidak mendengar apapun)

She said, “It must have been the wind, must have been the wind

(Dia perkata, “Itu pasti cuma angin, itu pasti cuma angin

Must have been the wind, it must have been the wind”

(Pasti cuma angin, pasti cuma angin)

Pada bagian pre-chorus sampai chorus ini, Alec Benjamin secara rapi menggambarkan keadaan yang umumnya dilakukan dan terjadi pada banyak orang. Mereka tidak langsung serta-merta mau menceritakan apa yang  mereka alami pada orang lain. Mereka berkata, “tidak ada masalah yang terjadi.” Padahal, kenyataannya merupakan keterbalikannya. Sehingga, sekali lagi, menjadi peka terhadap apa yang terjadi di sekitar kita adalah penting.

Jawaban dari orang lain mungkin merupakan penjelasan soal apa yang terjadi, tapi perlu digarisbawahi itu masihlah satu sisi, kita perlu mengobservasi apa yang terjadi di sekelilingnya. Sebab, sering kali mereka yang menghadapi hal berat, tidak mau mengatakan bahwa mereka tidak baik-baik saja. Seperti lirik lagu ini “Must have been the wind (Pasti hanya angin)”. Pertanyannya; angin mana yang mampu melemparkan kaca ke dinding?

[Verse 2]

So I was layin’ on the floor of my room

(Jadi, aku sedang rebahan di lantai kamarku)

Cold concrete on my back

(Punggungku terasa dingin)

No, I just couldn’t shake the feeling

(Tidak, aku hanya tidak bisa mengabaikan perasaanku)

I didn’t want to intrude ‘cause I knew that I didn’t have all the facts

(Aku tidak mau  ikut campur karena aku tidak tau seluruh faktanya)

But I couldn’t bear the thought of leavin’ her

(Tapi aku tidak sanggup untuk meninggalkanya)

Pada bagian ini adalah jawaban untuk pertanyaan; hal apa yang harus kita lakukan setelah kita sadar? Alec–sekali lagi–secara apik menggambarkan tindakan yang paling tepat dilakukan pertama kali setelah tahu ada suatu hal yang tidak beres terhadap orang di sekitar kita. Hal yang dapat dilakukan adalah mencari informasi lebih rinci tentang apa yang terjadi pada orang lain.

 Perlu digarisbawahi bahwa kita bukan mau menjadi superhero yang langsung bergerak tanpa tahu kenyataannya, tapi menjadi manusia yang memikirkan orang lain. Lirik “I didn’t want to intrude ‘cause I knew that i didn’t have all the fact (Aku tidak mau ikut campur karena aku tahu aku belum tau fakta seluruhnya)” secara tipis membeberkan salah satu cara menjadi manusia yang memikirkan orang lain.

Ada sebuah pepatah mengatakan, “ada mayat di depan saya dan saya memegang pisau yang penuh darah. Apakah itu selalu berarti saya pembunuhnya?” Meskipun terlihat sebuah geliat aneh yang diberikan orang di sekitar kita, namun kita bukanlah orang yang layak menghakimi dan mengambil kesimpulan dengan teka-teki yang baru saja kita temui. Kumpulkan lebih banyak informasi dan data sebelum bergerak, adalah cara paling tepat untuk membantu mereka.

Kita masuk pada pertanyaan terakhir; bagaimana cara membantu mereka? Pertanyaan ini dijawab oleh Alec Benjamin dengan bridge dan akhiran lagu.

[Bridge]

Aim my boombox at the roof, I’m playing “Lean on Me”

(Mengarahkan speaker-ku ke atap dan memainkan “Lean on me (Bersadar padaku)”

Just so that she knows that she can lean on me

(Hanya untuk memberi tahu bahwa dia bisa bersandar padaku)

And when she hears the words, I hope she knows she’ll be okay

(dan ketika dia mendengarnya, kuharap dia akan baik-baik saja)

Aim my boombox at the roof, I’m playing “Lean on Me”

(Mengarahkan speakerku ke atap, dan memutar lagu “Lean on Me”)

Just so that she knows that she can lean on me

(Hanya untuk memberi tahu bahwa dia bisa bersandar padaku)

And when she hears the words, I know exactly what I’ll say

(Dan ketika dia mendengarnya, aku tau apa yang akan aku katakan)

Promise I’m not playing tricks on you

(Janji, aku tidak mempermainkanmu)

You’re always welcome to come in

(Kamu selalu disambut untuk datang ke apartemenku)

You could stay here for an hour or two

(Kamu bisa disini sampai satu atau dua jam)

If you ever need a friend

(Jika kamu membutuhkan teman)

We can talk about the noise, when you’re ready, but ‘til then

(Kita bisa bicara tentang suara gelas pecah, ketika kamu siap, tapi sampai saat itu)

I’ll say, “It must have been the wind, must have been the wind

(Aku akan mengatakan “itu hanya angin, itu hanya angin”)

Must have been the wind, it must have been the wind”

(“Itu hanya angin, hanya angin)

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membantu mereka, tetapi inti dari semua hal yang dilakukan adalah membangun kepercayaan terhadap ‘Mereka’. Meyakinkan mereka bahwa mereka tidak sendirian. Alec Benjamin mengarahkan speaker ke atap dan memainkan lagu ‘Lean On Me’. Mungkin kita bisa membantu dengan sekadar bertanya, “apa kau baik-baik saja?” dan masih banyak cara lain.

Yakinkan bahwa mereka tidak sendirian, kita ada di sampingnya. Terakhir, kita sebaiknya selalu menerima dengan tangan terbuka, jika mereka mau bercerita. Tidak perlu merusuh untuk tahu apa yang terjadi pada orang lain hanya karena dalih peduli, tapi tunggu mereka supaya mau menceritakan apa yang terjadi. Menjadi pendengar sudah bisa cukup meringankan beban mereka, karena terkadang mereka tidak memiliki tempat untuk bercerita.

Sedari awal, Alec Benjamin tidak secara rinci memberikan penjelasan (baik dalam lirik maupun media lain seperti interview break down lagu) tentang apa yang sebenarnya dialami oleh si perempuan lantai atasnya. Semua lirik hanya memperlihatkan bahwa si Alec Benjamin mendengar suara kaca pecah, dan perempuan lantai atas menggunakan sweater yang menutupi lehernya. Tetapi, tidak ada konfirmasi apakah perempuan lantai atas mengalami kekerasan dalam rumah tangga, atau pelecehan seksual atau mengalami masalah mental. Sama sekali tidak ada penjelasan secara gamblang tentang apa yang terjadi pada perempuan.

Catatan penting dari penulis adalah; bahwa ‘Mereka’ dapat ditafsirkan sebagai orang-orang yang sedang menghadapi kesulitan. Tak terbatas pada masalah mental ataupun masalah besar saja. Sekiranya kesulitan tersebut bisa sampai mengubah perilaku dari ‘Mereka’ yang biasanya ceria menjadi pemurung dan lain sebagainya.

Kurang lebih, tulisan ini dibuat untuk menyadarkan para pembaca tentang pentingnya mengamati sekeliling walau sesekali saja. Penempatan Point of View (POV) kita sebagai tetangga benar-benar disampaikan dengan sempurna oleh Alec Benjamin. Sebab, pada kenyataannya, orang di sekeliling kita tidak akan menjawab secara gamblang apa yang terjadi di kehidupan mereka. Mereka pasti menggunakan banyak cara untuk terlihat baik-baik saja. Hal penting lainnya adalah mencari informasi lebih lanjut tentang sebuah hal, ketika sekiranya kita menemukan ketidakberesan. Terakhir, menemani dan tidak menghakimi mereka yang kiranya menjadi ‘Korban’ menjadi sebuah keharusan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *