Cerpen: Sang “Predator” dalam Jubah

Ilustrasi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) (Sumber Foto: kabarjombang.com)

Oleh: Qori’ Mutharrif

Aku terlahir dan dibesarkan dari keluarga yang religius. Pada masa SMP dan SMA aku belajar di pondok pesantren khusus putri. Karena dorongan teman-teman,  guru, dan keluarga, aku memutuskan kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Karena aku lebih nyaman dengan ligkungan yang Islami dan telah menjadi bagian hidupku, maka aku tak pernah merasakan apa itu pacaran.

Meskipun kampusnya Islam, namun interaksi antara laki-laki dan perempuan jauh lebih bebas dari yang aku bayangkan dulu, ketika SMP dan SMA. Lelaki dan perempuan berboncengan, bersalaman, berbicara empat mata berjam-jam, duduk berdampingan di kelas, sampai terang-terangan mempublikasikan hubungan romantic mereka di media sosial.

Selama dua semester, aku tidak berkeinginan untuk dekat dengan laki-laki, meskipun teman-teman kuliahku sebaliknya. Ada yang sampai sekarang masih betah pacaran dengan teman satu SMA-nya, ada yang sedang didekati laki-laki satu jurusan, dan ada yang baru saja jadian dengan teman satu organisasinya

Menginjak semester ketiga, aku mulai penasaran dengan sensasi berdekatan, akrab, dan hubungan romantis dengan laki-laki. Penasaran itu datang ketika aku menonton unggahan teman-temanku dengan pacar dan gebetan-nya di media sosial. Sepertinya seru, menyenangkan, dan hati mereka penuh dengan bunga-bunga. Apa lagi melihat wajah berbinar ketika mereka menjadikan kejadian romantis.

Aku masih perempuan normal, yang punya rasa tertarik dengan lawan jenis. Tapi, untuk menjaga kehormatan, aku tidak pernah sekalipun memperlihatkan ketertarikanku kepada pria-pria itu. Bahkan, aku cenderung menutupinya rapat-rapat. Pernah salah satu pria yang kusukai berusaha mendekatiku ketika SMA, aku tidak membiarkan dia mengenalku secara lebih dalam dan lebih jauh.

 “Pacaran atau hubungan romantis apapun namanya, selama di luar pernikahan, itu tidak penting,” pikirku dulu.

Di semester keempat, aku mulai terbiasa dan menormalisasi model pergaulan antara laki-laki dan perempuan di kampus tempatku merantau ini. Malahan sekarang, diam-diam aku berharap ada lelaki yang sesuai dengan kriteriaku dan mendekatiku. Aku yang dulu tidak pernah berdandan, kini mulai belajar cara merias wajah dengan tiga orang temanku. Mereka antusias mengajari.

“Ini tandanya kamu normal dan mulai membuka hati sama cowok,” kata salah satu temanku dan dua temanku lainnya mengangguk-angguk.

Sepanjang semester kelima, beberapa laki-laki mulai mendekatiku. Tiga di antaranya kemudian terang-terangan mengajakku pacaran, tetapi kutolak semua, karena tidak sesuai dengan kriteriaku. Hingga di penghujung semester lima, mendekati masa liburan, Dika menyatakan perasaanya.

“Aku suka dengan kamu, mau kah kamu menjadi pacarku?” Ucap Dika dengan wajah penuh harap.

Kaget dengan ajakan itu, aku seketika menolaknya. Setelah berpikir ulang, baru kusadari, satu semester belakangan kami amat dekat. Aku sering meminta tolong, bertanya, dan bercerita masalah perkuliahan dan kondisi keluargaku. Dia juga begitu. Aku pikir, kedekatan kita hanya sebatas sebagai teman bercerita saja. Aku baru sadar dia menyukaiku setelah ajakan berpacaran itu.

Ada rasa menyesal. Penolakan itu pasti akan merubah interaksiku dengannya. Tapi, tak mengapa, kupikir. Toh aku tidak menyukai dan tidak ingin punya hubungan romantis dengannya. Penyesalan itu bertambah ketika mendengar cerita dari teman dekat Dika. Kata dia, Dika sering murung belakangan ini. Sebabnya sudah jelas, tidak perlu diterka-terka lagi.

Tak kusangka dua minggu setelahnya, Dika masih gigih—mengutarakan perasaannya dan mengajakku berpacaran. Merasa kasihan dan tidak rela jika kutolak lagi teman berceritaku ini pasti akan menghilang. Akhirnya, aku menerimanya

Keluargaku kacau, ayahku menikah tiga kali dan tiga-tiganya tidak bertahan sampai sekarang. Dia tahu cerita tentang keluargaku yang kacau, seperti keluarganya sendiri. Aku berpikir, mungkin dia bisa lebih memahamiku dibanding yang lain. Setidaknya, itu alasan kenapa aku menerimanya

Sepanjang hidupku, aku baru kali ini pacaran. Ini menjadi sebuah kesulitan. Di mana aku tidak begitu paham harus bagaimana. Aku kurang paham mana yang romantis, membuat cemburu, tindakan yang perhatian, dan lainnya. Sekitar empat bulan kemudian, aku baru terbiasa, mulai paham, dan justru mulai bergantung kepada Dika.

Memasuki bulan keenam. Dika sering menghilang behari-hari dengan alasan “fokus kerja”. Dia memang mahasiswa yang nyambi menjadi pekerja informal. Jam kerjanya tidak tentu, tergantung panggilan. Aku kesal karena merasa diabaikan, sementara dia merasa aku kurang memahami kesibukannya. Pertengkaran sering terjadi, bahkan kata “putus” beberapa kali terlontar.

Pada saat-saat krisis ituah, Rozik hadir sebagai tempat curhatku. Karena memang aku hanya mahasiswi “kupu-kupu”, tidak banyak teman, dan punya banyak waktu luang-sehingga sering merasa kesepian. Dalam kesepian itu, Rozik datang menemani, menghibur, dan menjadi tempat curhatku. Kami sering bertukar pesan singkat, telepon, dan panggilan video terutama saat larut malam.

Rozik sangat terkenal di kampus karena mahasiswa yang aktif, apalagi mengikuti banyak organisasi. Dengan terkenalnya dia sebagagai mahasiswa aktif, dia sering mendekati teman temannya terutama teman perempuannya. Bahkan dia pernah memberi makanan, memberi tumpangan motor dan lainnya. Namun di luar perilaku baiknya, terdapat perilaku yang tidak baik atau melanggar etika.

Suatu hari aku menunggu Rozik untuk bercerita. Setelah 1 jam  Rozik selesai dengan urusan kuliah, tugas-tugas, dan kerja-kerja organisasinya, barulah kami berbincang- bincang. Karena Rozik di kampus selalu sibuk menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas dan di luar kampus, dia aktif di organisasi gerakan mahaiswa.

Seperti biasa pukul 03.00 dini hari, kami berbincang-bincang melalui panggilan video. Awalnya, tak ada yang janggal, percakapan kita mengalir seru hingga tiba-tiba Rozik mengarahkan kamera ke celana pendeknya, dan tangan kanannya tampak ingin merogoh sesuatu di balik celana itu. Spontan, aku langsung menutup panggilan video. Jantungku berdebar-debar, badanku menggigil dan pikiran-pikiran buruk berkelebat di kepalaku. Berkali-kali ia berusaha menelpon. Belasan notifikasi permintaan maaf masuk bertubi-tubi, tetapi tidak satu pun kubalas

Dua minggu setelah insiden panggilan video itu, aku akhirnya membalas pesan berisi permintaan maaf dan penyesalan dari Rozik.

“Aku capek banget dan pusing waktu itu. Jadi tanpa sadar, aku bertindak tidak senonoh,” ungkap Rozik dengan alasannya.

Anehnya, aku mau-maunya memaafkan begitu saja. Setelahnya, komunikasi kami kembali seperti biasa.

Keesokan harinya, aku mendengarkan curhatan salah satu teman dekatku, Citra. Dia merasa dilecehkan ketika berboncengan dengan seorang mahasiswa. Awalnya, mahasiswa itu menawarkan tumpangan ketika melihat Citra berjalan kaki dari kampus menuju kos-kosan kami. Karena merasa akrab, Citra menerima tawaran itu.

Namun, di tengah perjalanan, ketika melewati area yang sepi, mahasiswa itu meletakkan telapak tangannya di paha citra dan mengelus-elusnya. Sontak, Citra minta diturunkan. Mereka berdua sempat beradu mulut. Citra menganggap tindakan itu tidak senonoh, sedangkan mahasiswa itu menganggap Citra jual mahal. Memang, setelah aku memeriksa pesan mereka di WhatsApp, isinya mengarah ke hal-hal mesum.

Saat aku melihat nama kontak dan foto profil mahasiswa itu, aku tercekat. Tidak salah lagi, dia adalah Rozik. Ternyata, Rozik juga menjadi ‘teman bercerita’ teman dekatku sampai-sampai melakukan hal tidak senonoh kepadanya.

Citra tidak kalah kaget ketika aku balik bercerita. Dia kemudian ingat, ada mahasiswi angkatan bawah di fakultasnya yang pernah bercerita soal tindakan tidak senonoh dari senior organisasinya. Usai kami datangi dan ajak bicara, pelakunya ternyata juga Rozik.

Tak kusangka, seorang Rozik yang dikenal kritis, cerdas, dan aktif di berbagai kegiatan, ternyata “predator” yang kelakuannya sebejat itu. Dulu, dia adalah “mahasiswa inspiratif”, kini, di benakku nama dan wajahnya hanya identik dengan satu kata: menjijikkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *