Moderasi Beragama dan Polemik Kemajuan Zaman

Penerapan toleransi beragama antara umat muslim dengan penganut agama Buddha (Sumber Foto: Nu.or.id).

Oleh: Ahmad Ramzy

Manusia dalam penciptaannya dikaruniai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, yakni pada pengetahuannya. Kelebihan itu sebagai ihwal yang melandasi kerja-kerja profetiknya menjadi seorang khalifah di muka bumi.[1] Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin mendasari keadilan di setiap langkahnya. Konsep-konsep keadilan dan kemanusiaan dianggap sebagai langkah untuk menyelesaikan carut-marut pertumpahan darah dan peperangan.

Di samping tujuan yang mulia itu, banyak fenomena konflik yang terjadi dan tidak lepas dari unsur agama di dalamnya. Agama yang dapat dikatakan sebagai ideologi, merupakan basis struktur[2] yang melandasi terjadinya konflik. Pada gilirannya, agama menjadi alat untuk melegitimasi sebuah kekerasan atas sebuah perbedaan pendapat dari agama/golongan lainnya. Konflik tersebut diakibatkan sikap primordialisme dari tiap-tiap agama/golongan itu sendiri.

Persoalan pandangan dunia (vision de monde) yang bersifat ideologis seperti halnya agama, perlu dikaji dalam aspek sosiologis, filosofis, dan antropologis. Dalam kemajuan zaman yang begitu cepat, konflik menjadi realitas di dalam kehidupan masyarakat (part of everyday life), baik yang dipicu oleh perbedaan kelompok, pemahaman dan kehidupan masing-masing dari agama atau golongan yang berkonflik.[3]

Konflik yang bertebaran di televisi, media-media arus utama serta media sosial banyak menampilkan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan kekerasan terhadap agama atau golongan minoritas tertentu. Misalnya saja, melansir dari berita kompas.com terpampang jelas upaya tindak kekerasan yang dialami oleh penganut kepercayaan Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat.[4]

Hal ini sebagai rentetan maraknya tindakan kekerasan yang tidak memiliki landasan humanis yang diajarkan oleh Islam. Padahal, Islam menuntut manusia untuk bersikap adil, menjaga harmoni di dalam kehidupan dan tidak melakukan perbuatan keji kepada orang lain, seperti yang termaktub jelas pada Q.S. An-Nahl: 90. Bahkan, terdapat peringatan yang memperkuat batasan dalam bersikap intoleran yang berada di dalam Q.S. Al-Kafirun: 6, di mana tiap-tiap manusia diberikan keleluasaan terhadap pilihan agama atau golongan yang dimilikinya.

Landasan Moderasi Beragama, Landasan Kemanusiaan

Kata moderasi diambil dari padanan kata Wasathiyyah. Moderasi beragama menjadi santer diperbincangkan di banyak mimbar-mimbar khotbah hingga ruang-ruang kelas mahasiswa. Secara terminologi, moderasi berarti suatu sikap atau tindakan yang dilakukan sesuai proporsinya.[5]

Namun, narasi moderasi banyak disimpulkan sebagai kalimat yang misconception (gagasan yang salah) di dalam memahami artinya. Banyak narasi moderasi digunakan untuk sekedar menyikapi sikap-sikap radikalisme dan ekstrimisme, sehingga pada kenyataannya narasi moderasi digunakan sebagai labelisasi kafir atau sesat terhadap perbedaan berpendapat atau cara beragama seseorang maupun kelompoknya.

Moderasi bukan satu-satunya narasi yang sering diperbincangkan, adapun narasi Wasathiyyah yang cukup familiar menjadi landasan bersikap adil terhadap perbedaan. Kata Wasathiyyah sendiri dirujuk dari Q.S. Al-Baqarah: 143, yakni tentang ummatan wasathan. Secara literal kata tersebut adalah sinonim dari adil (i’tidal) dan seimbang (tawazun). Sinonim ini berasal dari konteks turunnya ayat tentang makna ummatan wasathan, sebagaimana dijelaskan al-Alusi dalam Tafsir al-Ma’ani, memiliki kandungan visi penegakan keadilan dan kesetaraan.[6]

Melihat makna ummatan wasathan, dapat dengan jelas menegaskan bahwa, secara kontekstual sikap yang perlu untuk ditegakkan adalah sikap adil dan seimbang. Sikap ibadah ini tidak hanya dikonsepkan secara vertikal (hablum minallah), namun meliputi dan erat kaitannya dengan kehidupan horizontal (hablum minannas) atau hubungan antar sesama manusianya.

Salah satu bentuk nyata dari budaya moderasi beragama yang terjadi adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materiil UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, mengenai pencantuman penghayat kepercayaan di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) eorang penganutnya, yang telah dikabulkan sejak tahun 2017 yang lalu. Ini adalah bentuk langkah yang seharusnya menjadi penguat gagasan moderasi beragama di tengah kehidupan bermasyarakat.

Dalam teori-teori resolusi atau transformasi konflik, hal terpenting dalam penyelesaian konflik bukanlah kemoderatan pandangan seseorang (berada di poros “jalan tengah”). Faktor personal seseorang bisa memainkan peran penting untuk menciptakan suasana adil itu sendiri (moderat atau tidaknya orang tersebut). Faktor kedua adalah bagaimana seseorang berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Tidak menutup kemungkinan, seorang moderat pun tidak bisa bekerja sama.[7]

Kemudian, hal penting lainnya adalah bagaimana narasi moderasi beragama dapat tersampaikan, bukan hanya di lingkup mikro maupun mezzo, tapi mampu di tataran makro pada suatu bentuk kebijakan publik. Seperti contohnya saja dikabulkannya pencantuman penghayat kepercayaan di dalam KTP tadi. Tindakan-tindakan progresif dapat dilakukan–lebih tersampaikan secara lingkup besarnya lagi dari konsep hidup yang harmoni tersebut.

Tindakan progresif lain yang dapat dilakukan dalam hal ini dapat terjadi melalui informasi di media-media arus utama dan media online. Meskipun arus informasi yang begitu besar layaknya ombak tsunami, namun resistensi informasi yang berkeadilan terhadap mereka yang tersubordinasi perlu ditegakkan.

Penguatan Literasi Digital di Era Post-Truth

Membela dan melindungi yang lemah adalah cerminan sebuah iman. Tidak ada bentuk ajaran yang diproduksi oleh Islam yang menghalalkan penindasan. Bahkan, konsep wasathiyah mencakup bukan hanya di perihal agama, pun dalam konteks ketidakmampuan seseorang mendapatkan keberfungsian sosialnya merupakan bagian yang tak terpisahkan.

Iman seseorang tidak mungkin hidup dalam suasana kebencian. Berada di tengah arus informasi yang menyajikan kebaikan dan keburukan, keduanya berkelindan menciptakan ambivalensi yang saling menyudutkan. Sehingga, tidak heran publik tersamarkan oleh situasi yang berkecamuk begitu dalam. Resolusi informasi menjadi penting untuk dilakukan sebagai bentuk menangkal mantra sihir sang penjahat yang hanya memprovokasi publik untuk melakukan tindakan amoral. Tidak tanggung, hal ini merambah hingga ke sudut lingkungan masyarakat, bahkan rumah tangga seseorang. Itulah yang membuat tindakan-tindakan agresif berbentuk kekerasan masih seringkali terjadi terhadap mereka yang berbeda dalam agama/golongannya.

Menilik dari lain sisi, adapun dampak modernisasi sebagai keniscayaan dan tantangan yang kini membalut kehidupan bermasyarakat. Perkembangan teknologi komunikasi yang meledak ini perlu disiasati guna menciptakan keadaan yang tidak menimbulkan kemudharatan atau kerusakan. Akhirnya, salah satu upaya untuk menanggulangi kemudharatan adalah dengan mengoptimalkan literasi digital terhadap publik.

Sikap literasi yang perlu dilakukan ialah dengan konsisten mencari kebenaran bukan hanya menyebarkan informasi yang didapatkan tanpa mengetahui benar-salahnya sebuah informasi. Disiplin verifikasi merupakan modal utama di era digital. Sikap disiplin verifikasi sendiri dianjurkan pula di dalam Al-Qur’an, yang tertera pada Q.S. Al-Hujurat: 6, yang disebut sebagai sikap tabayyun.

Segala bentuk informasi perlu dicari kebenarannya, lalu disebarluaskan ke khalayak. Meskipun kita menyadari bahwa modernisasi menyajikan zaman post truth–membuat ‘kebenaran’ menjadi barang yang digunakan demi kepentingan tertentu dari seorang individu maupun kelompoknya.

Salah satu bentuk perlawanannya adalah menjadikan pengetahuan sebagai landasan untuk menyikapi segala narasi yang syarat akan penindasan. Hal lainnya, memberikan pengetahuan kita untuk orang lain agar memahami makna hidup bersama dan berpikir humanis terhadap sebuah perbedaan itu sendiri. Kita hidup di sebuah kondisi di mana sosial budaya masyarakat begitu beraneka ragamnya dan untuk menjaga keutuhan persatuan merupakan tugas milik bersama.


[1] Dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak dua kali terkait dengan tugas-tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah, yang diantaranya terdapat pada QS. al-Baqarah: 30 dan QS.Shad: 26.

[2] Yulianto Amsalis, 2022, “Antonio Gramsci Sang Neo Marxis”, Yogyakarta: Basabasi

[3] Konflik yang mengatasnamakan agama/golongan telah banyak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, sebagai contohnya konflik terhadap agama/golongan Ahmadiyah, Syiah, Wahabi, serta agama/golongan minoritas lainnya.

[4] Hendra Cipta & Khairina, “Duduk Perkara dan Kronologi Perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang”, Kompas.com (2021, 4 September) https://regional.kompas.com/read/2021/09/04/134506178/duduk-perkara-dan-kronologi-perusakan-masjid-ahmadiyah-di-sintang?page=all

[5] Muhammad Salik, 2020, “Nahdlatul Ulama dan Gagasan Moderasi Islam”, Malang: PT. Literindo Berkah Jaya.

[6] Mahalli Hatim Nadzir, “Wasathiyyah Sebagai Jawaban: Catatan Atas Moderasi”, Indoprogress.com, (2016, 17 Juni) https://indoprogress.com/2016/06/wasathiyyah-sebagai-jawaban-catatan-atas-moderasi/

[7] Zainal Abidin Bagir & Jimmy M.I. Sormin, 2022, “Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama Suatu Tinjauan Kritis”, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

DAFTAR PUSTAKA

Amsalis, Y. 2022. Antonio Gramsci Sang Neo Marxis. Yogyakarta: Basabasi

Bagir, Z.A. 2022. Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Hendra Cipta & Khairina. 2021, 4 September. Duduk Perkara dan Kronologi Perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang. Kompas.com. https://regional.kompas.com/read/2021/09/04/134506178/duduk-perkara-dan-kronologi-perusakan-masjid-ahmadiyah-di-sintang?page=all

Mahalli Hatim Nadzir. 2016, 17 Juni. Wasathiyyah Sebagai Jawaban: Catatan Atas Moderasi. Indoprogress.com. https://indoprogress.com/2016/06/wasathiyyah-sebagai-jawaban-catatan-atas-moderasi/

Salik, M. 2020. Nahdlatul Ulama dan Gagasan Moderasi Islam. Malang: PT. Literindo Berkah Jaya


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *