Foto: Arsip DinamikA
Laporan Utama dalam Majalah DinamikA “Membangun Teologi Inklusivistik” Edisi ke 20 Tahun 2000
Kebijakan Otonomi Daerah yang dirumuskan dalam UU No. 22 Tahun 1999, sesungguhnya merupakan upaya desentralisasi pengaturan kebijakan publik yang selama ini selalu tersentral dari pemerintah pusat kepada daerah. Daerah diberi kewenangan yang lebih luas dalam beberapa bidang kehidupan untuk mengatur rumah tangganya. Kebijakan ini adalah salah satu upaya untuk menjawab kebutuhan zaman yang tengah menggelorakan semangat demokratisasi dan keadilan sosial. Desentralisasi ini dilaksanakan pada Pemerintah Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Masing-masing mempunyai kewenangan yang berbeda-beda.
Seperti yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 7, disebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal dan monoter, agama serta kewenangan bidang lainnya. Kewenagan tersebut meliputi kebijakan tentang perecanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang stategis, konservasi dan standarisasi nasional.
Sementara itu dalam Pasal 9, kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Daerah Kota. Sedangkan kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota, diatur dalam Pasal 11. Dalam pasal ini disebutkan bahwa daerah tersebut mempunyai kewenangan pemerintahan yang meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Singkatnya, kewenangan yang dimiliki oleh Daerah Tingkat (Dati) II, merupakan kewenangan pemerintahan selain yang dimiliki oleh Provinsi.
Dalam pasal-pasal yang disebutkan di atas, kita bisa melihat (meski tidak kesemuannya otonom) kewenangan yang dimiliki daerah cukup besar. Fenomena ini memberi gambaran yang prospektif sekaligus kelam. Sisi positif yang bisa kita dapatkan ialah daerah bisa leluasa tanpa merasa terintervensi oleh pemerintah pusat. Namun dalam di sisi lain, kewenangan yang besar membutuhkan mentalitas pelaku pemerintahan yang bersih dan kredibel.
Jika orang yang memegang kekuasaan yang besar ini tidak jujur, maka tirani rezim lokal akan bermunculan. Jika ini yang terjadi, maka bukan kesejahteraan dan kedamaian yang tercipta tapi hanya akan memunculkan kesengsaraan bagi rakyat bawah. Etika dan moralitas politik masih menjadi kekuatan semu. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan banyak kalangan kritis menengarai bahwa otonomi daerah bisa jadi hanya memindahkan perilaku pemerintahan otoriter dab represif dari pusat ke daerah. Gambaran hikayat kadipaten pada masa kerajaan feodalistik di Jawa bisa menjadi kaca benggala untuk memprediksi jalannya pemerintahan Dati II mendatang.
“Maka dari itu jangan kaget dan heran jika nanti di daerah-daerah banyak bermunculan penguasa daerah menjadi raja-raja kecil yang perilakunya mirip Adipati Feodal pada masa kerajaan nusantara!” kira-kira begitulah peringatan dari mereka yang pesimis.
Kecenderungan Otonomi Daerah menjadi ajang bagi penguasa daerah untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingan dirinya sendirimaupun kelompoknya (dengan melihat sejarah pemerintahan di negeri ini) bukan sebuah kasus mustahil terjadi. Banyak sejarah kelam yang telah mengajarkan kepada kita bahwa virus kekuasaan sangat mengoda siapa saja untuk berbuat korup.
Dalam Kaidah politik kekuasaan, oleh Lord Cton disebutkan bahwa kekuasaan cenderung korup, Power Tend to Corrupt. Maka dari itu siapa pun orangnya akan mudah tergoda oleh nikmatnya kekuasaan. Tentu saja gambaran buruk ini tidak kita inginkan bersama. Hanya saja perlu diingat dalam proses terwujudnya rezim yang otoriter tidaklah berdiri sendiri. Banyak kekuatan lain yang turut berinvestasi didalamnya, diantaranya adalah keberadaan intektual ‘Tukang’, yang menjilat penguasa dan tidak adanya oposisi yang kuat institusi suara rakyat terbungkam atau membungkamkan diri.
Sehingga setiap kebijakan yang dijalankan oleh rezim meski menyengsarakan rakyat bisa dilaksanakan tanpa kontrol dari masyarakat. Kekuatan madani inilah yang bisa menghambat dan mencegah terwujudnya penguasa yang tiranik. Andaikan elemen-elemen masyarakat yang kritis seperti mahasiswa, cedekiawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh-tokoh masyarakat dan kalangan menengah lainnya bisa menjalani fungsi kontrolnya maka kekuasaan yang tidak terbatas bisa dibatasi. Sejarah Rezim Sukarno Tua dan Suharto sesungguhnya terbentuk melalui proses politik yang demikian itu.
Dalam konteks Salatiga, kemungkinan pemerintah otonomi daerah nantinya berubah menjadi raja-raja kecil selalu ada. Kemungkinan raja tidak saja bisa dilakukan oleh eksekutif namun juga legislatif. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut UU No. 22 Tahun 1999 mempunyai kekuasaan yang tidak kalah besar dibandingkan dengan eksekutif. Kewenangan itu diatur dalam Bab V Pasal 15 sampai 28. Dalam Pasal 20 ayat (1) ditegaskan bahwa DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintahan, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan dan pembangunan. Dan yang lebih aneh dalam ayat 2, disebutkan jika pejabat negara, pejabat pemerintahan atau warga masyarakat menolak permintaan sebagimana yang dimaksud dalam ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Dalam hal ini pasal ini merendahkan martabat DPRD karena dinilai tidak obyektif dan menjadikan preseden yang buruk dalam perjuangan untuk mewujudkan demokratisasi.
Penjelasan tentang raja-raja kecil untuk konteks Salatiga (tidak separah daerah lain) Kota Salatiga jika dilihat dari Sumber Daya Alam tidak prospektif, namun Sumber Daya Manusianya termasuk lumayan bagus. Keberadaan beberpa Perguruan Tinggi yang ada yakni Universitas Satya Wacana (UKSW), Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga danSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) ‘AMA’ Salatiga, diakui tidak turut mendukung terbangunnya kelompok masyarakat yang kritis dan sadar hak-hak politiknya, seperti mahasiswa dan LSM.
Non Government Organization (NGO) menjadi penyeimbang hegemoni negara, di Salatiga sudah ada sekitar 42 LSM yang berkonsentrasi pada bidang yang berbeda-beda. Maka tidak heran jika menyandang kota LSM. Terlepas dari polemik yang mengiringi eksistensi keberadaan LSM yang jelas keberadaan mereka bersama elemen masyarakat lainnya, khususnya mahasiswa telah banyak memberikan warna pemberdayaan politik rakyat (Kontroversi tentang LSM lebih lengkap baca DinamikA edisi 13) langkah ini sangat penting untuk investasi bagi terbangunnya masyarakat madani di Kota Salatiga.
Dalam literatur sejarah pergerakan di Indonesia bagi kalangan umum Salatiga memang tidak begitu dikenal. Namun bagi kalangan pelaku pergerakan Salatiga sesungguhnya mempunyai peran yang tidak kecil. Ada banyak momentum bertaraf nasional yang banyak terjadi di Salatiga, momentum yang bisa dicatat disini diantaranya ialah Salatiga menjadi tempat bagi perjanjian Giyanti yang memisahkan anatara Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Di samping itu dalam Buku Tiga Kota, Salatiga bersama-sama Semarang menjadi salah satu kota yang turut melakukan pembangkangan terhadap Rezim Kolonial Belanda melalui pemogokan buruh. Kota yang sejuk ini dipilih oleh Tan Malaka untuk mendirikan sekolah alternatifnya angkatan pertama yakni sekolah ideologi.
Dalam era 1980 sampai pertengahan 1990-an, Salatiga dengan UKSW-nya menjadi salah satu motor perjuangan demokratisasi di Indonesia, pembusukan terhadap Rezim Orde Baru di Salatiga yang berbasiskan kampus didukung oleh kalangan intelektualnya seperti Arief Budiman, George Junus Aditjondro, Ariel Haryanto, TH Sumartana dll.
Pasca konflik di UKSW yang direkayasa oleh negara (yang klimaks-nya tahun 1995) secara umum pergerakan di Salatiga mengalami penurunan yang cukup drastis. Semenjak itu tongkat pergerakan mahasiswa di Salatiga diambil alih oleh mahasiswa IAIN Walisongo Salatiga (sekarang STAIN Salatiga) hingga sekarang. Alhasil, mahasiswa IAIN yang tradisi pergerakannya baru terbangun pada dekade 90-an, bersama KPD (Kelompok Pro Demokrasi) harus berjuang keras untuk mengembalikan sejarah panjang pergerakan di Salatiga.
Kota ini mengalami generasi yang hilang (The Lost Generation) sejak era 1995 ke atas dengan sejarah panjangnya, namun perlahan namun pasti nuansa perlawanan terhadap ketidakbenaran baik oleh institusi negara maupun lainnya tetap terpelihara baik. Mahasiswa dan LSM bersama-sama dengan komponen masyarakat lainnya terutama Pers harus menjadi kelompok penyeimbang Eksekutif dan Legislatif. LSM dituntut untuk membangun pola-pola organisasi yang merakyat (membership) cukup di distrik. Sebab dengan melihat komposisi dan kualifikasi anggota dewan bisa jadi akan terjadi negosiasi antara keduanya untuk melakukan politik dagang sapi, muatan politik akan menjadi warna dominan dalam kasus ini. Jika hal itu tidak dikontrol maka sangat besarlah efek sosial yang akan muncul. Oleh karena itu tugas kita dengan berposisi oposisi permanen, merupakan upaya untuk menjaga agar kemungkinan terburuk tidak akan muncul.
“Seorang Kritkus adalah orang yang tahu jalan tetapi tidak bisa mengambil mobil” Keneth Tynan
Menghitung Kekuatan Salatiga
Dalam Era Otonomi Daerah
Otonomi Daerah sebagimana yang termaktub dalam UU No. 22 Tahun 1999, membawa beberapa konsekuensi yang harus dijalankan oleh suatu daerah, diantaranya kesiapan kelembagaan, SDM yang berkualitas, sarana pra-sarana dan dukungan dana yang kuat. Kesemuanya merupakan pilar pokok jika suatu daerah menginginkan daerahnya bisa eksis dan maju. Sebab dalam era otonomi suatu daerah diberi kewenangan lebih besar untuk mengelola wilayahnya sendiri, kesiapan segalanya sangat penting untuk menghindari munculnya tirani kekuasaan dari pusat ke daerah. Dukungan dana dari pusat hanya untuk bidang-bidang tertentu itu terbatas sehingga penyelengaraan otonomi daerah harus cedas dan kreatif mencari sumber pendapatan daerah untuk mendukung kerja-kerja pemerintahan.
Jika syarat pokok ini tidak ada maka hanya ada satu kemungkinan, yakni daerah itu bergabung dengan wilayah administrasi atau wilayah alam sekitar. Point inilah yang selama ini kebanyakan terlupakan atau pura-pura tidak secara rigid dihitung oleh suatu daerah yang dinilai oleh banyak kalangan sebagai daerah yang tidak prospektif. Mereka kebanyakan tidak bisa menghitung kekuatan sendiri dan merasa sadar posisi untuk secara jujur mengakui bahwa dirinya (daerahnya) tidak bisa berharap banyak pada pelaksaan otnomi nantinya. Penyakit gengsi sosial ini biasanya diidap oleh Aparat Pemerintah Daerah setempat. Walhasil tidak heran kita banyak menemukan jawaban belum adanya kesiapan dari masing-masing Pemda diberbagai daerah khususnya Jawa Tengah. Menurut hasil penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jawa Tengah kemungkinan besar hanya ada dua Dati II yang bisa eksis (karena didukung oleh kekayaan alamnya) yakni Cilacap dan Blora.
Dalam konteks Salatiga, Aparat Pemerintah Kodya Salatiga sebagaimana aparat daerah lainnya mengemukakan sikap optimisnya untuk melaksanakana otonomi daerah Tahun 2001 mendatang. Aparat Pemda Dati II Salatiga telah melakukan kajian implikasif terhadap UU No. 22 Tahun 99 di bidang keuangan daerah kemudian di bidang SDM serta di bidang kelembagaan. Hanya saja sikap optimis dinilai oleh berbagai komponen masyarakat tidak berpijak dalam realitas yang ada. Dengan berbagai standarisasi penilaian mereka (masyarakat sipil) merasa bahwa Salatiga belum siap menjalani otonominya, mulai dari jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kecil, belum ada koordinasi yang matang antara lembaga Eksekutif dan Legislatif, sarana pra sarana yang tidak mendukung dan terakhir respon masyarakat yang lemah.
Mneurut Dr. Kutut Suwondo, Dosen Pasca PPs UKSW Salatiga, saat ini belum ada perubahan secara mendasar pada warna lembaga-lembaga pemerintahan. Indikasinya DPR dari pusat sampai DPRD II belum mempunyai wibawa dihadapan pemerintaha. Kualifikasi pendidikan anggota dewan yang lebih rendah dibandingkan Eksekutif membuat mereka kadang sulit untuk mengimbangi kemampuan Eksekutif. Dalam konteks Salatiga, DPRD II Salatiga belum menjadi lembaga perwakilan rakyat, yang nampak justru sebagai lembaga perwakilan partai. Yang mereka perjuangan baru sebatas kepentingan kelompoknya.
“Alhasil kinerja mereka yang lamban dan mengebiri aspirasi masyakarat banyak diserang oleh LSM dan mahasiswa” tandasnya yang juga Staff pada Yayasan Percik Salatiga ini dalam diskusi di DeeF (DinamikA Forum) beberpa waktu lalu.
Lemahnya kordinasi diantara DPRD II dengan Pemda Salatiga memang menjadi sorotan tajam dikalangan LSM Salatiga. Menurut Bahrudin, Direktur Pelaksana LSM Al-Barokah saat ini belum ada koordinasi yang matang antara kedua pelaksana pemerintahan otonomi daerah mendatang. DPRD II masih belum mempunyai Sense of Crisis, dalam beberapa hal DPR masih menjadi alat stempel bagi kebijakan Pemda menyangkut kepentingan publik tanpa menyaring aspirasi masyarakat terlebih dahulu. Kasus keputusan dewan untuk mengsahkan Anggararan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak disosialisasikan kepada masyarakat menjadi salah satu indikasinya. Sikap pasif anggota dewan ini sangat disayangkan karena ikut ikutan mewarisi budaya Orde Baru yang tidak positif untuk perkembangan demokratisasi.
“Kalau ini diterus-teruskan akan sangat berbahaya bagi lancarnya pemerintahan yang otonom” ujarnya kepada Zaenal Arifin dan Japra’ dari MBM DinamikA.
Penilaian ‘miring’ terhadap dewan belakangan ini banyak disebabkan oleh perilaku dewan sendiri yang tidak simpatik. Banyak sikap mereka yang tidak mencerminkan diri sebagai wakil rakyat, tidak jarang dipermukaan mereka tampak memperjuangkan kepentingan banyak namun sesungguhnya mereka sedang berjuang untuk kepentingan partai dan golongannya. Fenomena penolakan terhadap sejumlah anggota dewan terhadap pertangungjawaban terhadap Eksekutif daerah (Walikota/Bupati dan Gubernur) yang marak belakangan ini karena keluar dari semangat konstruktif.
Prof Ryas Rasyid, menilai bahwa perilaku dewan yang memanfaatkan acara tahunan untuk menjatuhkan kepala pemerintahan daerah disebut sebagai cara-cara yang sadis dan bermotif konspirasi politik. Menurutnya perilaku dewan yang sedemikian itu sudah melenceng dari kaidah aturan main. Bahkan, dia menilai ulah dewan itu cenderung bermuatan politis dan berorientasi uang ketimbang satu bentuk kontrol kritis tapi sehat.
“Ujung-ujungnya dewan minta negosiasi berapa uang yang harus dibayar agar pertangungjawaban kepala daerah itu diterima,” ungkapnya
“Untuk masa mendatang dewan tidak bisa seenaknya mencopot jabatan kepala daerah,” tambahnya.
Surat Edaran (SE) Meneg Otoda No. 120/576/otda/2000 akan dikuatkan dengan dikeluarnya PP khusus pasal pertangungjawaban dari UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah. Aturanya, kepala daerah dicopot oleh DPRD harus di setujui Presiden (JP 25 Juni 2000).
Menanggapi sorotan ini, Muh. Haris Wakil Ketua DPRD II Kodya Salatiga mengakui bahwa anggota DPRD sendiri masih butuh masukan masyarakat untuk menjalani fungsi kontrol terhadap Eksekutif. Kualitas jajarannya memang masih rendah. Dewan sendiri melihat bahwa Salatiga belum begitu siap dengan pemberlakuan otonomi daerah.
“Tetapi karena ketentuan yang ada mengharuskan UU No. 22/1999 mulai diberlakukan 2001. Siap tidak siap, Salatiga harus mempersiapkan diri” tegas anggota dewan dari PKB ini.
PAD tidak Mendukung
Jika dilihat dari sisi PAD, Salatiga yang tidak mempunyai kekayaan alam yang sangat tidak mendukung sekali. Mengenai besarnya PAD sendiri beragam versi yang muncul. Menurut versi Dr. Kutut Suwando dan Pemda Salatiga PAD pertahun berkisar 5-6 miliar pertahun. Sementara itu versi Dinas Pendapatan Daerah (Dispeda) PAD Salatiga Tahun anggaran 1998/1999 terealisasi 8.869.982,07,00. Sementara itu Tahun Anggaran 1999/2000 sampai Maret 2000, berjumlah 9.740.453,860,00. Terlepas dari perbedaan yang sebenarnya sangat significant ini jelas dengan jumlah pad yang demikian, Pemda masih rugi. Sebab pertahun anggran belanja pegawai Pemda sebesar 12 miliar. Itu pun masih di suplai dari pemerintah pusat.
Sekedar informasi, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemda Salatiga sampai dengan kondisi akhir Desember 1999 berjumah 1.356 orang, dengan kualifikasi pendidikan terbanyak adalah lulusan SLTA, yakni 54,06%, lulusan S1 dan S2 14,21%, sedangkan sisanya sebanyak 21,53% lulusan SD dan SLTP. Terlihat disini kualifikasi pendidikan yang belum menunjang untuk kerja-kerja otonomi daerah padahal Pemda (dengan aparatnya) merupakan salah satu utama pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Dalam era otonomi bantuan dari pusat semakin sedikit. Inilah tantangan terberat yang mesti dijawab oleh Pemda agar bisa lancar tugas-tugasnya. Hanya saja kondisi ini bisa juga menjadi awal dari masalah, sebab atas dasar kondisi ini bisa jadi Pemda merasa dituntut untuk semakin kreatif mencari sumber pendapatan lainnya yang bisa mendongkrak. Bisa jadi nanti dengan otonomi justru akan menimbulkan banyak pungutan (parkir, dokar, becak, dsb) yang akan akhirnya justru merugikan rakyat keciil. Kondisi inilah yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan kritis termasuk salah satu diantaranya adalah kalangan pemodal usaha.
Menurut Supriyadi, Manajer Toko Swalayan Ada Baru, kemungkinan munculnya pungutan jenis baru dan lama yang di bangkitkan lagi, sangat besar. Jenis pungutan itu bisa dberlakukan untuk semua kalangan atau ada pemilihan kelas sosial, misalnya masyarakat menengah keatas atau masyarakat menengah kebawah.
“’Jangan kaget jika nanti ada pungutan retribusi sampah untuk Daerah Salatiga pedalaman, seperti Kecadran dan daerah lainnya yang selama ini tidak mengenal nominalisasi sampah dengan uang,” ujarnya kepada Romiyati dan Rosyid dari MBM DinamikA.
“Kenyataan ini akan menimbulkan shock culture ditingkat masyarakat, sebab asumsi mereka dengan adanya otonomi daerah kehidupan sosial mereka akan menigkat. Namun diterima justru kebalikannya yakni semakin menguras kantong merka yang penghasilnya semakin seret,” ungkap pengusaha yang dekat dengan kalangan mahasiswa ini.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Andi Sanang, Direktor Utama PT. Damatex Salatiga. Menurutnya, secara umum Salatiga belum siap melaksanakan Otonomi Daerah. Hal ini dikarenakan prospek ekonomi Salatiga sangat kecil sehingga tidak memberikan kontribusi PAD yang sigifikan. Bahkan Otda bisa jadi malapetaka bagi rakyat kecil karena muncul banyak ragam pungutan yang menguras kantong mereka. Berkaitan dengan Damatex Andi merasa bahwa belum ada perubahan yang mendasar yang nampak atas otonomi daerah terhadap perusahaan tekstil terbesar di Salatiga ini. Sebab selama ini perusahaan membayar pajak ke pusat, mungkin dengan adanya otda pajak akan lebih banyak masuk ke daerah.
“Bagi kami tidak masalah mau membayar kemana, asal proposinya masih sama” tandasnya kepada Sugiman dan Yasin, Reporter MBM DinamikA.
Posisi Salatiga yang kecil dengan 4 Kecamatan dan 24 Desa, pabrik industri yang besar yang minm dan potensi sumber dana yang terbatas semakin memperkuat penilaian bahwa Salatiga sangat membutuhkan penyangga ekonomi tetangganya. Potensi Salatiga selama ini dikenal sebagai penjual jasa, baik ekonomi maupun pendidikan. Letak geografis semi strategis yakni diantara Solo dan Semarang membuat Salatiga hanya menjadi kota transit bagi kedua daerah tersebut.
Apabila ditunjang keberadaan beberapa daerah pariwisata di wilayah Kabupaten Semarang seperti Bukit Cinta, Daerah Wisata Kopeng dan Gedong Songo Bandongan, Alhasil Salatiga (kota dalam hikayahnya dikenal dengan sejarag Salatiga) hanya menjadi kota lintasan bukan tujuan utama. Dengan posisi demikian ini sebenarnya ada untung ruginya, jika mampu memanfaatkan alamnya banyak pemasukan yang akan didapat.
Seperti diketahui Kota Salatiga dikelilingi kondisi alam pegunungan yang indah dengan cuaca yang sejuk. Di samping itu situasi keamanan dengan dukungan markas TNI yang berteberan di Salatiga membuat keamanan Kota Salatiga relatif terjamin. Situasi yang demikian ini sesungguhnya sngat menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya baik di bidang ekonomi maupun pendidikan. Inilah celah yang harus ditangkap oleh pelaksana Pemerintah Kodya Salatiga. Ketimbang memperbanyak pungutan kepada warga. Di samping itu Salatiga harus mampu mengembangkan bangunan sosial khas Salatiga. Bagaimanapun mengembangkan Kampung Salatiga yang bukan kampungan membutuhkan partisipasi banyak pihak. Kesemuanya bermuara pada stategi yang dipakai Pemda untuk menarik agar pemodal mau berinvestor. Apakah anda tertarik? kita tunggu partisipsinya.
Penulis Tim Laput Majalah Tahun 2000: Qowi, Latif, Rosyid, Ipud, Amsa, Ihsan, Ida Fitri, Ja’far Shodik, Romi, Iswatun, Dina, Yasin, Fitri dan Wati
Penulis ulang: Fatah Akrom