Seandainya Semua Calon Presiden yang Beragama Islam Itu Jahat

Sumber Foto : Arsip DinamikA

Rubrik Laporan Utama dan Wawancara Eksklusif dalam Majalah DinamikA “Pemimpin Indonesia Mendatang Where You Will Come From?” Edisi ke-19 Tahun 1999

Wawancara dengan Blair A. King (Pengamat politik Ohio State University)

Bagaimana pendapat Anda tentang kehadiran partai-partai yang berlabelkan agama dalam pemilu kali ini?

Bahwa dia memakai bendera agama, bagi saya tidak masalah. Karena, kita jangan melihat namanya, tetapi lebih melihat program dan perilakunya. Jadi, kalau program dan perilakunya cenderung menomorsatukan agama, dan menghujat serta menyudutkan agama lain demi mencari popularitas itu baru berbahaya, tetapi kalau memanfaatkan atau memakai ajaran agama sebagai simbol nilai moral untuk menata kehidupan politik, saya kira itu hal yang sangat baik. Karena, menurut saya secara pribadi, kalau kita melihat agama besar di dunia sebetulnya inti nilai moralnya sangat mulia sehingga pada saat ini tidak banyak lagi pertentangan satu sama lain. Malah, bisa membangun koalisi anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), koalisi pro-demokrasi, atau koalisi yang lainnya. Jadi, tergantung maksud pendirian partai atas dasar agama itu apa? Apakah untuk menggali nilai agama sebagai dasar
berpolitik atau untuk menggalang massa untuk menjadi anti agama lain? Kalau yang pertama boleh kalau yang kedua tidak boleh, berbahaya.

Kalau misalnya nanti presiden Indonesia non-Islam, bagaimana kesiapan rakyat?

Begini, dulu dikatakan bahwa di samping beragama Islam, salah satu syarat yang tidak
tertulis lainnya adalah orang Jawa. Barangkali masyarakat Indonesia bisa mentolerir ada presiden yang non-Islam. Ada satu cerita dari seorang teman, bahwa ada sopir taksi Jakarta yang Nasrani, bahwa dia menginginkan presiden Amien Rais. Logikanya adalah, dia sebagai minoritas (Kristen) menginginkan presiden yang didukung oleh mayoritas Islam. Sehingga
mayoritas Islam puas dengan presidennya, tidak memberontak.

Tapi seandainya…(terpotong)

Dalam Islam pun, saya kira banyak orang Islam bisa menerima perkataan berikut: pada umat Islam sebagaimana umat lain ada orang baik dan ada orang jahat. Seandainya semua calon presiden yang beragama Islam itu jahat, sedangkan ada calon lain yang non-Islam tapi baik, ya, lebih baik memilih yang baik. Jadi, jangan melihat agamanya, tetapi melihat baik atau jahatnya.

Bagaimana pandangan Anda tentang Indonesia ke depan?

Saya masih optimis bahwa, dalam beberapa tahun ke depan ini akan terbangun sistem
demokrasi di Indonesia, yang sudah dimulai tetapi perjalanan masih jauh. Dan salah satu
tahap penting dalam tahapan itu, adalah Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang. Mudah-mudahan luber dan jurdil dalam arti sesungguhnya. Nah, kalau soal ekonomi atau
struktur sosial, saya kira harus realistis, dalam arti jangan berharap bahwa demokrasi itu menjamin kebaikan di segala bidang, karena di negara lain demokrasi itu bisa berbarengan dengan adanya ketimpangan sosial yang menganga, sehingga jangan menganggap bahwa
demokrasi itu dewa penyelamat bagi seluruh masalah yang dihadapi Indonesia. Karena itu sangat tergantung kepada kebijakan-kebijakan yang diambil melalui sistem itu. Dalam bidang politik, sistem demokrasi lebih baik daripada otoriter menurut saya, iya. Jadi, dalam beberapa
hal seperti kebebasan dan sebagainya, demokrasi jelas lebih baik. Tapi, itu tidak berarti dengan sendirinya demokrasi akan mengakhiri krisis ekonomi, mengakhiri ketimpangan sosial dan sebagainya. Itu tergantung apa yang dilakukan oleh pemimpin di tahun-tahun yang akan datang. Tapi, paling tidak demokrasi memberi ruang yang lebih lebar kepada golongan massa seperti buruh dan petani untuk memperjuangkan haknya. Tapi–seperti yang saya katakan tadi–tidak mutlak keadaan mereka langsung baik. Ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan.

Penulis Tim Laporan Utama Majalah Tahun 1999

Penulis Ulang: Ahmad Ramzy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *