Sumber Foto: Arsip DinamikA
Rubrik Berita dalam Majalah DinamikA “Pemimpin Indonesia Mendatang Where You Will Come From?” Edisi ke-19 Tahun 1999
Stop budaya kekerasan di kampus STAIN Salatiga!
Hentikan politik adu domba sesama mahasiswa!
Sudah jelas, dalang perpecahan mahasiswa di kampus ini!
Hentikan budaya primordialisme dan sektarianisme!
Hapuskan KKN di kampus ini!
Pandanglah kami sebagai manusia!
Teriakan-teriakan di atas akhirnya bisa dilihat di tembok-tembok di kampus Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga (STAIN) Salatiga. Ungkapan ini merupakan respon
mahasiswa STAIN dalam memandang penyelewengan yang ada di kampus ini. Cukup menarik mengamati perkembangan proses demokratisasi yang terjadi di kampus ini. Dalam beberapa minggu terakhir, di penghujung tahun 1998, para aktivis mahasiswa di kampus ini menggeliat kembali. Mereka kembali melakukan gerakan moral untuk meluruskan penyelewengan dan ketidakbenaran yang terjadi di kampus ini. Munculnya sikap kritis dan kepedulian mereka menyikapi persoalan lingkungannya menjadi catatan menarik di akhir tahun 1998. Dan yang menjadi catatan penting, adalah posisi bargaining mahasiswa terhadap kampus yang cukup kuat. Ini dibuktikan ketika pressure-pressure yang dilakukannya cukup
diperhitungkan oleh lembaga, sehingga mereka mengambil kebijakan penting. Di antaranya kesediaan (non-formal) Ketua STAIN Dr. Muh. Zuhri untuk mengundurkan diri sebagai wujud pertanggungjawabannya. Bisa jadi keberhasilan mahasiswa menumbangkan rezim Soeharto berpengaruh besar terhadap pilihan sikap pimpinan terhadap mahasiswa.
Menjadi catatan penting, sebab baru kali ini mahasiswa cukup punya pengaruh terhadap kebijakan pimpinan. Dalam sejarahnya, secara umum nyaris tidak ada hasil yang dicapai di setiap protes mahasiswa terhadap kebijakan pimpinan kampus yang mengekang. Begitu juga yang terjadi di kampus ini. Dalam catatan DinamikA, gerakan mahasiswa (red: komite aksi) yang kritis terhadap kebijakan kampus dan rezim orde baru—baik ketika masih Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (FT IAIN) Walisongo Salatiga maupun STAIN—di antaranya ialah protes mahasiswa menuntut transparansi dana yokoami pada pembangunan gedung Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Komite Mahasiswa Penegak Otonomi Kampus (KMPOK) pada Hari Pendidikan 2 Mei 1994, yang menuntut otonomi kampus dan kebebasan mimbar akademis. Tahun 1995, berdiri Solidaritas Mahasiswa Independen (SMI) yang menolak SK Mendikbud 045/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) sebagai bentuk Lembaga Kemahasiswaan (LK) dan menuntut berdirinya LK yang independen, otonom, dan merdeka. Tahun 1996 berdiri Forum Keprihatinan Mahasiswa Salatiga (Forkemas) yang menentang kebijakan pemerintah pengalihan status IAIN daerah menjadi STAIN dan kebijakan lembaga mengenai lulusan (passing out) STAIN bagi angkatan 1994 sampai 1996 yang notabene masuk mahasiswa IAIN, tahun 1997 berdiri Komite Mahasiswa Penegak HAM (KMP-HAM) menuntut pelurusan kesalahan kolektif yang dilakukan oleh kampus dan negara, dan tahun 1998 muncul Solidaritas Mahasiswa STAIN Salatiga (SemestA) yang berdiri ketika krisis ekonomi semakin parah dan arus reformasi tidak bisa dibendung. Komite aksi ini selain merespon isu-isu elitis (nasional) juga persoalan-persoalan kampus.
Dalam buletin Caranggito Post, edisi Januari 1999, DinamikA telah mengungkap secara lengkap persoalan-persoalan krusial di kampus ini. Mulai dari kerja ketua dan kabinetnya yang punya rapor merah, kemudian budaya-budaya negatif yang berkembang secara masif sampai keluhan-keluhan yang dialami oleh karyawan kecil. Dalam buletin tersebut, diungkapkan juga tentang ekses negatif yang muncul diantaranya disharmoni dan perpecahan antar civitas akademika kampus ini. Ini adalah segi lain yang muncul ke permukaan juga. Di samping menarik, di sisi lain gejolak di kampus ini juga menimbulkan suasana keprihatinan dan kekecewaan yang sangat dalam. Bahwa ternyata di lembaga pendidikan STAIN Salatiga yang juga seharusnya bernuansakan keislaman, ternyata justru muncul praktek-praktek amoral dan KKN yang merupakan pengingkaran terhadap ajaran agama. Jelas ini satu hal yang naif dan sangat tragis. Kemudian, yang sangat mengecewakan adalah ternyata penyakit ini telah menggoyang stabilitas kehidupan kampus. Disharmoni, disintegrasi, menjadi ancaman baru. Patut disayangkan memang, padahal kebersamaan dan kekompakan merupakan pilar yang penting bagi kemajuan lembaga. Apalagi kita akan melakukan akreditasi sekitar bulan Maret 1999.
Dalam pengamatan DinamikA, sebetulnya di awal periode kepemimpinan Dr. Zuhri, banyak mahasiswa yang mempunyai harapan akan terwujudnya kehidupan kampus STAIN yang benar-benar menjadi kampus. Sebuah kampus yang bisa menghargai kebebasan mimbar akademis, nilai kemanusiaan dan nilai ketuhanan. Bukan kampus yang sebatas lahan untuk mengeruk keuntungan bagi pimpinannya. Pada satu sampai dua bulan terbesit harapan itu ada, pimpinan masih terlihat bersih. Namun, dalam perjalanan selanjutnya ternyata harapan itu menguap. Para tugas pimpinan mulai terasuki virus kekuasaan, sehingga melupakan tugas pokoknya. Kesalahan mulai tumbuh bak jamur sehingga akumulasinya menimbulkan gejolak yang terjadi belakangan ini.
Secara umum tidak ada prestasi menonjol yang patut dibanggakan oleh satu-satunya
Perguruan Tinggi Islam di kota ini. Banyak catatan lain yang bisa diberikan di antaranya, pelayanan birokrasi yang masih lamban, belum terciptanya budaya diskusi di kampus ini, kurangnya dukungan lembaga terhadap kegiatan mahasiswa dengan indikasi sedikitnya alokasi dana dan peralatan yang penting bagi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Dalam kehidupan akademis pun berjalan apa adanya. Bahkan nyaris stagnan. Tidak ada terobosan yang berarti untuk merubah budaya tidak positif ini. Barangkali yang bisa dianggap positif
adalah pelayanan perpustakaan yang semakin meningkat pembangunan perkantoran yang sedang berlangsung. Untuk tingkat kepekaan mahasiswanya, dalam beberapa segi mulai meningkat. Partisipasi mereka untuk ikut dalam gegap gempitanya mahasiswa lain dalam memandang kehidupan bangsa cukup lumayan, meski ini masih bisa diperdebatkan.
Terkait era dengan refleksi di atas yang jelas berbagai macam persoalan di atas, pada dasarnya merupakan PR penting yang harus dibenahi. Untuk itu, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk segera menanggulangi masalah ini. Sebab, bila diibaratkan kampus ini kondisinya seperti kapal yang nyaris tenggelam. Untuk menyelamatkan kapal (red: lembaga) dan penumpang (civitas akademika), dibutuhkan seorang nahkoda yang mumpuni, mempunyai keahlian, kecakapan dan punya jiwa kepemimpinan yang adil sehingga bisa diterima semua kalangan. Sebab, yang dibutuhkan sekarang adalah kekompakan untuk memajukan lembaga ini. Menghilangkan segala persoalan yang mengganjal, berjiwa besar, menghilangkan sikap kekanak-kanakan untuk kemudian bersama-sama membawa lembaga ini menuju kehidupan kampus yang manusiawi dan berkeadilan sosial. Hal yang kemudian menjadi catatan penting
adalah para pimpinan lembaga ini harus memperhatikan setiap kritikan yang masuk, dan bersikap dewasa dalam menanggapi kritik yang ada meskipun itu sangat pedas di telinga, semisal coretan-coretan mahasiswa yang ditulis di tembok-tembok seperti yang tertulis di awal tulisan ini. (sg/h)
Penulis Ulang: Ahmad Ramzy