Islam Mencita-citakan Masyarakat Berkeseimbangan Bukan Masyakarat Tanpa Kelas

Sumber Foto: Arsip DinamikA

Laporan Khusus dan Wawancara Ekslusif dalam Majalah DinamikA “Membangun Teologi Inklusivistik” Edisi ke 20 Tahun 2000

Wawancara Ekslusif Prof. Dr. Azyumardi Azra:

Dalam sela-sela kesibukannya mengajar di Program Pasca Sarjana Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS), Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra berbicara dan menjelaskan pandangannya tentang struktur sosial dalam Islam kepada Singgih dan Nugroho dan Saifuddin Amsa dari MBM DinamikA yang menemuinya di kampus UMS.

Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan struktur sosial menurut bapak?

Ya, social structure itu adalah adanya struktur-struktur dalam masyakat yang kemudian membuat masyarakat itu teratur, bisa bekerja, sistemnya bisa bekerja. Struktur itu antara lain dipengaruhi oleh realitas perkembangan masyarakat itu sendiri. Dari berbagai segi, ada tingkatan-tingkatan pelapisan yang ada itu, merupakan bagian intergral struktur masyarakat. Jadi kalau kita lihat dari sudut kepemimpinan, bagaimanapun juga dalam masyarakat akan ada social stucture on leadership. Jadi, ada stuktur sosial yang berkenaaan dengan The ruler (para penguasa) dan kemudian ada The ruled (orang-orang yang dikuasai) ataupun kepemimpinan. Kemudian di situ akan muncul apa yang disebut dengan yang diatur oleh penguasa.

Apakah Islam mengakui adanya struktur sosial dalam lapisan masyakarat?

Sebetulnya pelapisan sosial dalam Islam itu memang ada. Ada ulama, ada ulil amri, ada rakyat. Itu sudah menunjukan pelapisan sosial, meski itu dari sudut fungsi sosial mereka. Ulama punya fungsi sendiri, ulul amri punya fungsi-fungsi sendiri, rakyat juga punya fungsi sendiri. Dalam al-Qur’an ada memang ayat-ayat yang menunjukan pelapisan sosial yang pada gilirannya kembali membentuk kelas-kelas sosial. Ada penguasa sosial, ulama, para penguasa dan seterusnya. Itu dilihat dari sudut fungsinya. Kalau dilihat dari sudut penguasaan mereka terhadap sumber-sumber ekonomi atau kekayaan, ada yang disebut orang-orang kaya yang mempunyai kewajiban membayar zakat, ada yang disebut orang-orang miskin (yang berhak terhadap pemberian zakat, yang menjadi mustahi zakat) jadi kalau kita lihat dari situ maka pelapisan sosial itu memang ada dalam al-Qur’an, yang kemudian didalam realitas sosial itu ada. Jadi ada sudut keilmuan juga ada.

Ada orang yang berilmu disebut ulama. Ulama bahkan disebut orang Khowas (orang elite). Kemudian ada yang disebut orang awam, lapisan biasa. Juga dari berbagai segi, secara implisit dalam al-Qur’an itu dikemukakan. Kita bisa lihat memang dalam ajaran-ajaran Islam ada pelapisan sosial yang kemudian tentu saja karena dalam konteks realita sosial, kelas-kelas itu terbentuk karena ada faktor yang berpengaruh, termasuk penguasaan terhadap ilmu, materi, terhadap kekayaan, dan sebagainnya. Ada orang yang mempunyai kekayaan, yang mempunyai akses terhadap kekayaan, maka inilah kelas penguasa, ulil amri. Sementara yang tidak meiliki akses atau tidak berkuasa disebut rakyat. Baik pada tingkat doktrin maupun realita sosial.

Apakah Islam yang mengatakan demikian, ataukah memang penafsiran dari orang-orang Islam sendiri?

Bukan orang Islam. Itu bukan tafsiran. Memang begitu dalam al-Qur’an, misalnya dalam Athi’ullaha wa athi’urrosuul wa ulil amti minkum, itu sudah menunjukkan perbedaan. Ada rosul, ada nabi yang merupakan orang elite (khawasul khawas) ada ulil amri, peuasa, pemimpin. Jadi, itu bukan penafsiran. Memang secara implisit al-Qur’an menunjukkan adannya pelapisan sosial dilihat dari berbagai segi fungsinnya, pemilikan terhadap harta benda, terhadap ilmu, itu ada kelasnya.

Pandangan al-Qur’an tentang struktur sosial sendiri?

Itu sebuah sesuatu yang sunnatullah. Pelapisan sosial itu bisa juga, tadi dari penguasaan terhadap ilmu, power, materi, kapital, kekayaan, apa lag, ya, pokoknya ada pelapisan-pelapisan.

Berarti Islam mengakui adanya pelapisan sosial?

Ya, tapi meski ada pelapisan di dalam al-Qur’an tidak dibenarkan adanya konflik kelas, konflik antar kelas, antar lapisan sosial. Malah islam menawarkan alternatif ataupun cara-cara, ajaran, untuk menghilangkan konflik sosial, antar pelapisan sosial, antar kelas-kelas yang ada.

Bisa dijelaskan ide Islam dalam menghilangkan konflik antar kelas sosial tersebut?

Misalnya tadi saya sudah katakan, adanya pelapisan berdasarkan penguasaan terhadap kapital, terhadap kekayaan. Itu realitas. Dan Islam tidak melarang orang punya kapital, punya modal, punya sumber ekonomi. Itu malah dianjurkan, juga dianjurkan untuk mencari kekayaan dan sebagainya. Tapi pada saat yang sama, kekayaan yang kita peroleh itu meski di zakatkan, di infaqkan, di sodaqohkan kepada orang-orang yang mungkin karena berbagai faktor, sebagai sebab tidak punya akses kepada pengusaan kekayaan. Mungkin karena tingkat pendidikan rendah, sehingga dia tidak bisa melaksanakan mobilitas sosial, mobilitas ekonomi. Orang-orang itu harus disantuni, tidak melalui zakat. Kalau zakat mungkin jumlahnya terlalu sedikit, tapi juga melaui infaq, sadaqah dan sebagainnya. Sehingga kemudian orang-orang yang berpunya ini, yang mempunyai modal, yang mempunyai kapital, menyantuni orang-orang proletar (kaum miskin). Dan kemudian orang-orang miskin dengan adanya sikap kepedulian dari orang yang punya modal kemudian juga tidak berkembang dalam dirinya antagonisme kelas. Bahkan sangat boleh jadi mungkin orang proletar ini mendoakan orang-orang kaya ini, supaya tambah rezekinya. Jadi itu yang diajarkan Islam dalam soal ekonomi.

Jadi dalam hal ini, apakah Islam bisa dijadikan sebagai idelogi alternatif?

Ya, bisa hal itu kalau dilaksanakan secra konsisten. Tapi persoalannya banyak orang kaya dalam islam ogah-ogahan, misalnya memberikan zakat, ifaq dan sadaqah. Tapi sebagai sebuah kerangka ideal dan normatif Islam memberikan alternatif. Tapi, apakah dalam realitasnya nanti terwujud, banyak faktor lain yang mempengaruhi termasuk faktor lain itu adalah komitmen orang-orang kaya terhadap orang miskin, itu satu. Kedua tergantung dari sistem dan mekanismenya juga. Mungkin jadi, misalnya meski ajaran normatif Islam sudah mengajarkan kerangka yang ideal tapi kalau tidak ada mekanismenya, sistemnya, kelembagaannya, maka kemudian ideal itu bisa tidak tercapai. Misalnya lembaga-lembaga zakatnya tidak baik, tidak kredbel dan sebagainya, ya tidak tercapai tujuan penyantunan terhadap orang-orang miskin. Kalau tujuan itu tidak tercapai, maka sangat boleh jadi bila rasa kecemburuan itu berasal dari orang miskin.

Konsepnya hampir sama dengan Kapitalisme?

Tidak juga, kalau kapitalisme kurang memberikan peluang, dorongan kepada individu, kurang memberikan penghargaan pada hak milik pribadi. Kalau Islam menganjurkan kalau bisa tiap individu muslim itu harusnya kaya, harus kuat, karena kalau di dalam hadits dikatakan tangan diatas orang yang memberi yang punya kekayaan lebih baik daripada tangan yang dibawah, yang menengadah. Artinya hak-hak individu itu dibenarkan dalam Islam. Dan orang muslim secara individual didorong untuk memiliki harta kekayaan, dia bisa melaksanakan ibadah dengan lebih baik, misalnya tidak mungkin memberikan zakat kalau tidak kaya, kalau tidak punya kemampuan. Dia tidak bisa naik haji kalau tidak punya uang.

Jadi diajarkan ada ibadah-ibadah yang dalam Islam memang sebagian besar ibadah personal. Kita tidak bisa mendelegasikan kepada orang lain, harus kita kerjakan. Kita untuk mengerjakan sendiri harus pakai pakaian yang bersih, bagus dan baik. Kalau kita nggak punya uang kan nggak bisa. Mungkin sholatnya pakai baju yang compang-camping, bukan berarti tidak sah. Ya sholatnya sah, tapikan lebh afdol kita menghadap Tuhan dengan pakaian yang rapi dan bersih. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, kita tidak mungkin bsia pergi hajikalau kita tidak meiliki kemampuan. Dan naik haji tidak bisa diwakilkan kepada orang lain kecuali kalau kita sudah meninggal, karena begitu dibadalkan. Jadi artinya orang Islam itu dianjurkan untuk secara individual memiliki kekayaan. Sebab itu tadi alsannya, ibadah yang pada umumnya harus dikerjakan merupakan tangung individual, yang dalam Islam disebut Fardu ain, itu tidak bisa digantikan sam orang lain. Untuk mengerjakan ibadah Fardu ain itu kita memerlukan kemampuan materi, kekayaan. Cuma dalam konteks Islam mendorong kepemilikan pribadi yang mirip dengan kapitalisme. Tapi berbeda dengan kapitalisme yang mungkin membenarkan dalam istilah Perancis eksploitasi manusia atas manusia, dengan cara-cara yang tidak etis dan sebagainnya. Itu tidak dibenarkan. Jadi, boleh orang Islam itu mencari kekayaan. Tapi, harus mempertimbangkan nilai-nilai moral, nilai-nilai etis, itu satu. Yang kedua juga harus mempunyai komitmen bahwa dari harta kekayaan itu ada bagian hak orang lain.

Berarti juga ada unsur sosialisnya?

Jadi, di situlah unsur sosialisnya. Jadi tidak pure kapitalis tapi juga tidak pure sosialis. Kalau sosialis pada dasarnya masyarakat tanpa kelas, dalam Islam tidak, karena menurut sunnatullah pohon itu ada yang tinggi, ada yang rendah. Bahkan, yang lebih esensial lagi (yang lebih hakiki) ada orang yang muslim dan tidak muslim, Tuhan sendiri tidak mau menciptakan manusia seragam, kalau Tuhan mau semua orang bisa jadi islam. Tapi toh sebagai orang beriman, Islam, sebagian orang kafir. Itu terserah pada mereka masing-masing nanti tangungjawabnya dipikul masingmasing. Jadi memang perbedaan tingkat sosial itu sudah sunnatullah. Ya, memang maunya Alloh begitu. Kalau Alloh mau semua orang ini kaya kan gak masalah. Tapi tidak, diciptakan berbeda. Jadi oleh karena itu kalau kembali pada soal penguasaan sumber-sumber ekonomi, dorongan Islam mirip kapitalisme, tapi pada saat yang sama unsur sosialisme untuk solidaritas sosial juga sangat ditekankan.

Apa cita-cita Islam kaitannya dengan struktur sosial yang sudah global?

Ya, cita-citanya tentu saja adalah masyarakat yang berkesinambungan. Jadi, sekali lagi Islam tidak mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, karena itu tidak sesuai dengan sunnatulloh. Kenapa tidak sesuai? Karena setiap orang mempunyai potensi yang berbeda dengan orang lain. Bahkan, satu kelompok masyarakat itu mempunyai potensi yang berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Potensi masyarakat misalnya yang ada di Jawa berbeda dengan potensi yang ada di Irian Jaya. Jadi oleh karena itu tidak bisa seragam. Tapi meskipun tidak seragam Islam mengajarkan adanya harmoni sosial, jadi bukan konflik sosial. Kesinambungan sosial itu antara lain bisa diwujudkan melalui suatu mekanisme hubungan yang mengatur adanya keserasian diantara berbagai kelompok masyarakat yang lain melalui akulturasi bentuk-bentuk solidaritas sosial. Bukan hanya material namun juga psikologis. Jadi solidaritas sosial itu mungkin ketika ada masalah dan musibah. Itu upaya menciptakan integrasi sosial. Sebab kalau hal-hal seperti itu tidak dipenuhi, akan tercipta disintegrasi sosial pada tingkat yang lebih jauh bisa bermuara pada class conflict.

Penulis Tim Laporan Khusus Majalah Tahun 2000: Singgih N, Aris M, Fadhiyah, Dimyati, Amsa Jr, Ihsan H, Yasin, Asrofi, Yuli, Rhodiyah, Uswatun, Aziz, Lukman.

Penulis ulang: Fatah Akrom

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *