Seminar Simfoni Kebhinekaan di Auditorium kampus 3 UIN Salatiga (Sumber Foto: Ulin/DinamikA).
klikdinamika.com– Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) mengadakan kegiatan tahunan bertajuk Simfoni Kebhinekaan sebagai pembaharuan dari UIN Culture Is Moving (UCIM) yang berlangsung di Auditorium, kampus 3, Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga, Rabu (18/6/2025).
Dihadiri lebih dari 506 peserta, seminar yang menjadi salah satu rangkaian acara itu mengusung tema “Seni, Budaya, dan Moderasi Beragama”, dengan tujuan dapat membuka wawasan keterkaitan budaya dan moderasi beragama.
Deva selaku wakil ketua pelaksana memaparkan pemilihan tema itu berdasarkan minimnya minat generasi muda pada budaya.
“Kita ingin mengangkat budaya yang semakin ke sini semakin redup di kalangan generasi kita. Jadi kita mau ngangkat bagaimana sisi moderasi beragama ini bisa dibangun oleh suatu budaya juga. Jadi tidak hanya dengan teori-teori atau pembelajaran-pembelajaran agama namun juga dari seni budaya,” tuturnya.
Selaras dengan tema, seminar itu menghadirkan dua budayawan sebagai pemateri dengan latar belakang yang berbeda. Ngatawi Al-Zastrouw sebagai wakil ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia PBNU dan Kusen sebagai wakil ketua Lembaga Seni dan Budaya PP Muhammadiyah.
Dalam pemaparannya Ngatawi mengatakan bahwa hidupnya budaya, tradisi moderasi, dan toleransi beragama dapat tercapai dengan syarat menghidupkan dimensi afektif dan dimensi roso. Dimensi roso sendiri dapat hidup hanya dengan melalui sentuhan seni dan budaya serta laku spiritualitas.
“Agar budaya, tradisi moderasi, dan toleransi dalam beragama itu bisa tumbuh, tetap hidup maka syaratnya harus menghidupkan dimensi afektif, dimensi roso. Dan dimensi roso ini hanya bisa dijalankan dengan melalui sentuhan seni dan budaya serta laku spiritual,” ujarnya.
Pemateri kedua, Kusen menerangkan bahwa dalam budaya Jawa terdapat kata-kata ngono yo ngono neng ojo ngono, yang menunjukkan moderasi beragama tidak ekstrem kanan maupun kiri.
“Di dalam budaya jawa ada namanya ngono yo ono neng ojo ngono, nah itulah moderasi beragama itulah wasathiyah. Berarti budaya Jawa mengajarkan tidak ekstrem kanan juga tidak ekstrem kiri,” terangnya.
Sofi, sebagai salah satu peserta mengungkapkan bahwa acara seminar itu menarik. “Keren tadi bapak yang baca puisi,” ungkapnya.
Di samping itu, Sofi menambahkan harapannya untuk acara selanjutnya supaya bisa lebih kompak.”Harapannya bisa lebih kompak lagi aja,” pungkasnya. (Ulin/Muntia/Red).