Ratusan orang dengan baju dan payung hitam melakukan aksi diam dalam peringatan #17TahunAksiKamisan dengan tajuk “Orang Silih Berganti, Tapi Aksi Kamisan Tetap Berdiri” di depan Istana Merdeka, Kamis (1/1/2024). (Sumber Foto: Akun Instagram @socialmovementinstitute)
Oleh: Fatah Akrom
“Aksi Kamisan bukan hanya sekedar melawan lupa saja, tetapi juga melawan impunitas. Diam ini adalah cara kami memperjuangkan agar negara mewujudkan permintaan kami tanpa melanggar HAM itu sendiri” -Sumarsih; ibu korban Semanggi I.
Pada orang-orang berbaju dan berpayung hitam yang berdiri di depan Istana Merdeka setiap Kamisnya, “Kami menagih kabar!” Mungkin untuk sebagian orang, #17TahunAksiKamisan adalah tanda kegagalan negara dalam menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu. Tetapi, untuk sebagian berikutnya isu HAM jadi barang dagangan lima tahunan saat Pemilu.
Masyarakat terlalu pesimis melihat hal ini, berkaca 1 dekade lalu pada komitmen rezim Jokowi dalam penyelesain HAM. Pada mulanya, Jokowi–presiden dari kalangan sipil–digadang-gadang sebagai orde harapan baru. Alih-alih menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, ia malah menambah daftar pelanggaran HAM dalam berbagai bentuknya. Mulai dari menyurutnya ruang kebebasan sipil, penggusuran dengan dalih pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), brutalitas aparat, dan–yang paling mengecewakan ialah–berkompromi dengan aktor-aktor terduga pelanggar HAM dalam lingkaran kekuasaannya.
Jika tulisan ini saya buka dengan satu pertanyaan: apa yang lebih memilukan dari hanya meratapi sebuah kematian? Mungkin adalah kenangan yang memudar atau malahan kenangan itu tidak pernah tergambarkan secara fisik. Jika kuburan adalah tanda seseorang pernah ada di dunia, tapi bagaimana jika manusia itu hilang dan jasadnya tak ditemukan sehingga keberadaannya pun tak pasti.
#17TahunAksiKamisan bukan sekadar aksi biasa. Ia sudah menjalar dan tersebar di kota lain, seperti Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan seterusnya. 801 aksi menjadi nafas panjang perjuangan ketika negara masih bungkam. Bahkan, ketika rezim silih berganti, kamisan tetap abadi.
Aksi Kamisan dan Akumulasi Kemuakan
Pada mulanya, Aksi Kamisan diprakasai oleh tiga keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Pertama Maria Katarina Sumarsih, orangtua dari Bernadus Realino Norma Irmawan–yang merupakan salah satu mahasiswa Atma Jaya yang tewas tertembak timah panas dalam Peristiwa Semanggi I, November 1998. Kedua, Suciwati, istri mendiang Munir Said Thalib–pegiat HAM yang diracun di pesawat Garuda menuju Amsterdam. Ketiga, Bedjo Untung, perwakilan keluarga korban pembantaian bekas orang-orang PKI pada 1965-1966.
Aksi ini mengadopsi gerakan ibu-ibu di Argentina yang juga kehilangan anak-anak mereka semasa junta militer Jorge Rafael Videla berkuasa pada tahun 1976-1981. Para ibu itu berunjuk rasa setiap Selasa di depan Plaza De Mayo, Buenos Aires. Tepatnya, di depan Tugu Kemerdekaan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia menetapkan setidaknya ada 17 kasus yang telah memenuhi unsur pelanggaran berat terhadap HAM. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Peristiwa yang tercatat adalah: Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Tanjung Priok 1984; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Mei 1999; Peristiwa Timor Timur 1999; Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Abepura, Papua 2000; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua 2003; Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003; Peristiwa Paniai 2014; dan Peristiwa Timang Gajah di Bener Meriah 2001. 17 perisitiwa itu ditetapkan sebagai Pelanggaran HAM Berat oleh Komnas HAM tahun 2022.
Jika kita masih melihat Aksi Kamisan ini sebagai kesia-siaan belaka untuk rezim yang tebal telinga, maka melihat kontes Aksi di depan Plaza De Mayo, Argentina, mungkin menjadi sebuah harapan. Saat-saat Argentina dikuasai junta militer dan ekstremis sayap kanan, para ibu korban pelanggaran HAM sudah menyalakan api tiap hari Selasa, sejak 1977.
Peran perempuan juga selalu mengambil posisi yang sama dalam segala perjuangan atas ketidakadilan, begitu juga mereka. “Kami ingin anak-anak kami. Beritahu di mana mereka!” teriak ibu-ibu itu. Jika kamisan identik dengan pakaian dan payung hitam, di Argentina, ibu-ibu mengenakan syal putih yang diikatkan di kepala sambil mengempalkan tangan ke langit. Data kantor berita BBC setempat merilis, setidaknya terdapat 30 ribu orang hilang dan dibunuh pada periode 1976 hingga 1983.
Berbeda dengan pegiat Aksi Kamisan, ibu-ibu dari Plaza de Mayo mendapatkan harapan karena pengadilan Argentina mulai menghukum penguasa rezim otoritarian Argentina. Aksi mereka berakhir pada tahun 2006, setelah Presiden Nestor Kirchner berhasil membatalkan aturan hukum yang biasa digunakan pemerintah untuk memberangus warga-warga kritis. Aturan itu mengatur tentang kepatuhan warga negara dan pemberhentian investigasi terhadap mereka yang dituduh melakukan kejahatan politik sebelum Desember 1983.
“Musuh mereka sudah tidak berada di rumah rakyat lagi!”
Pekik ibu-ibu itu pada akhirnya menjadi akumulasi kemuakan yang dimenangkan. Setelah pada akhirnya, aksi yang mereka lakukan selama 30 tahun aksi damai depan Plaza De mayo mendapatkan kejelasan dari pemerintah.
Isu HAM bukan Dagangan Lima Tahunan
Isu Hak Asasi Manusia (HAM) kembali digulirkan, adu gagasan penyelesaian kasus HAM jadi perbincangan hangat pada debat perdana calon presiden pada Selasa, (12/12/2023). Aksi saling serang tak kalah seru juga dari perdebatan mahasiswa semester awal yang sedang hebohnya baca buku Das Kapital. Persoalan ini disuarakan kandidat nomor urut 3, Ganjar Pranowo, yang menanyakan penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada kandidat nomor urut 2, Prabowo Subianto.
“Ada 12 kasus pelangaran HAM berat masa lalu. Pada 2009, DPR sudah mengeluarkan 4 rekomendasi kepada presiden. Keempat rekomendasi itu: membentuk pengadilan HAM, menemukan 13 korban penghilangan paksa pada tahun 1997-1999, pemulihan dan kompensasi pada korban pelanggar HAM berat, dan meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa,” ungkap Ganjar.
Mendapatkan cecaran pertayaan, kerut dahi dan nada Prabowo meninggi.
“Sudah sekian tahun lalu rekomendasi itu muncul dan masalah ini saat ini ditangani oleh cawapres Anda (Mahfud MD). Apa lagi yang mau ditanya ke saya? Saya sudah jawab berkali-kali dan ada rekam digitalnya. Setiap lima tahun (mendekati pemilu) selalu ditanya soal itu kalau polling saya naik. Bapak tahu data enggak? Tanya ke kapolda, berapa orang hilang di DKI tahun ini? Come on, Mas Ganjar,” ujarnya.
Ia juga mengaku bahwa dirinya sangat keras membela HAM. “Nyatanya, orang-orang yang dulu ditahan, tahanan-tahanan politik yang katanya saya culik, ada di pihak saya, membela saya. Jadi, masalah HAM jangan dipolitisasi,” tuturnya.
Soal HAM, Prabowo lebih sering kebakaran jenggot jika ditanyakan masa lalunya. Saat kejadian penghilangan paksa aktivis Reformasi 1998, Prabowo pernah menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (1995-1998) dan selanjutnya Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (1998). Pada April 1999, pengadilan pernah menyatakan Tim Mawar terlibat dalam penculikan sembilan aktivis pada 1997-1998. Semua anggota Tim Mawar adalah anggota Kopassus TNI AD yang saat itu masih dipimpin Prabowo.
Diskursus pembahasan debat Capres dan Cawapres ternyata juga masih sama dengan perdebatan mahasiswa yang baru belajar debat, belum menyentuh substansi dan penuh gimmick. Mereka belum sepenuhnya memaparkan gagasan, visi-misi, dan program unggulan untuk menyelesaikan kasus HAM berat, baik yang terjadi di Papua maupun kasus HAM berat masa lalu.
Belum ada Capres dan Cawapres yang tegas dan berani untuk berkomitmen menghukum para pelaku, membuka tabir kebenaran peristiwa, dan memulihkan hak para penyintas dan keluarga korban. Apalagi memberikan jaminan kalau peristiwa serupa tidak akan terulang lagi. Begitu pula juga untuk kasus lainnya seperti kasus Pembunuhan Pembela HAM Munir Said Thalib (2004), Aksi #ReformasiDiKorupsi (2019), hingga Kanjuruhan (2022). Bagi para pegiat HAM dan korban pelanggarannya, selain makan dan minum, ternyata bersuara meneriaki keadilan telah menjadi bagian yang mereka tuntut kebutuhan setiap harinya. Pada Pemilu yang semestinya mereka menaruh harapan, justru malah memperlihatkan sandiwaranya.
Melihat situasi politik hari ini memang seru, namun perdebatan yang selama ini dipertontonkan rasanya juga percuma. Tiap koalisi punya peluang untuk bergabung pada sesamanya atau saling menjatuhkan untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan partai politik masing-masing. Situasi itu diperparah dengan pandangan yang begitu bias tentang berbagai persoalan pembangunan berkelanjutan: untuk kepentingan masyarakat luas atau untuk oligarki itu sendiri?
Tulisan ini ditulis untuk memperingati 17 tahun Aksi Kamisan.
“Hidup korban! Jangan diam! Lawan!” teriakan itu ada tiap hari kamis di seberang Istana Merdeka, simbol pusat kekuasaan.