Maha-Siswa, Bahaya Laten Komersialisasi Pendidikan

Sumber Foto: Bumi Rakyat

Oleh: Ilham

Mencari sebab-sebab sejarah melalui fakta-fakta telanjang tidak mungkin. Persoalan “provokasi”, “fait accomli”, “rencana pemberontakan” dan lain-lain tidak menjawab persoalan-persoalan yang lebih fundamental. Persoalan ini hendaknya dilihat dari persoalan-persoalan ketegangan masyarakat Indonesia dalam revolusi nasional. Harapan-harapan yang tidak terpenuhi dan tekanan-tekanan ekonomi membawa frustasi-frustasi mendalam diseluruh lapisan masyarakat.

Dalam keadaan seperti ini, tendensi radikalisme dari segala pihak akan bertambah, lebih-lebih penyaluran politik dan ekonomi tidak diberikan sama sekali, radikalisme seperti perlombaan mobil dilereng gunung yang makin lama makin menyempit. Pasti suatu hari roda-roda berputar ini akan bersinggungan, dari percikan api ini semuanya akan dibakar seperti kata Soe Hok Gie dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Pada kesempatan kali ini melihat situasi lokal masih banyak ketimpangan yang dialami lapisan masyarakat serta kejadian yang merugikan masyarakat bagian bawah, menandakan keberpihakan mahasiswa sekarang berada dilevel mana?. Jika benar bahwa berpihak untuk rakyat menengah kebawah, keseriusan dalam perjuangan bukan soal intelektual, melainkan pendampingan secara masif yang terjadi ditengah masyarakat dengan hati nurani menuju suatu perubahan yang maju.

Sebagai dasar dalam landasan hidup seorang gerilyawan adalah rela berkorban demi kepentingan masyarakat menuju masyarakat tanpa kelas. Berbuat seadil-adilnya dan memperhatikan kesejahteraan rakyat, bila omongan itu sudah dilontarkan seorang mahasiswa akan beda artinya dikalangan mahasiswa sebab kata-kata, banyak yang terjadi berhenti sebatas omongan yang menggebu-nggebu dan membabi buta dikalanganya. Apa hasilnya?, kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa hari ini semakin menurun, apabila para mahasiswa tetap sibuk mengolah kata, panflet media sosial dan keuangan di birokrasi kampus masing-masing.

Kesadaran sebagai revolusi terkecil dalam setiap hidup manusia, telah dirasuki oleh kebencian-kebencian yang menjadikan suatu peradaban hancur secara perlahan. Sebagai individu yang terdidik seharusnya mengerti bahwa ada perbedaan yang bisa untuk diajak berkolaborasi demi terciptanya demokasi yang lebih baik. Akan tetapi, yang terjadi dilapangan adalah hasrat ingin menguasai segalanya dari segi ekonomi, politik, budaya adalah suatu kewajiban menuju kekuasaan yang sewanang-wenang. Hal ini telah terjadi dilingkungan kampus, sehingga praktek-praktek penghisapan, eksploitasi, kebohongan, korupsi, diskriminasi, pelecehan seksual, perbudakan, marak dan masif dilingkungan kampus, apa kabar?

Masuknya berbagai aturan internasional yang syarat kepentingan ke dalam hukum nasional baik melalui ratifikasi maupun adopsi ke dalam Undang-Undang sektoral telah menimbulkan konsekuensi yang serius terhadap kedaulatan bangsa dan masyarakat Indonesia, sehingga menimbulkan kecenderungan pemikiran mahasiswa berorientasi seolah hanya sebatas sekolah untuk bekerja. Tidak bisa dipungkuri bahwa kepentingan kampus hanya untuk bermitra dengan perusahaan guna memenuhi kebutuhan industri. Sehingga komersialisasi pendidikan sudah lumrah terjadi, padahal kemerdekaan berpikir suatu kewajiban bagi setiap individu, meskipun dalam kehidupan mahasiswa sering terjadi penyeragaman cara berpikir, tidak banyak yang menyadari bahwa kampus adalah pelaku utama dalam penyempitan gerak soal kebebasan berpikir manusia.

Situasi ini sangat disayangkan, padahal pendidikan sekarang diharapkan menjadi sektor terjangkaunya akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya dagi seluruh elemen masyarakat. Akan tetapi rusak akibat kebijakan-kebijakan yang lebih mengarah ke kapitalisasi pendidikan. Akhirnya kita ambil contoh kampus berlomba-lomba menggalakan strategi dan program-program yang mana bisa menghasilkan dana sebanyak-banyaknya, sehingga kampus tidak segan-segan menutup unit atau program yang tidak sejalan atau merugikan. Disisi lain cara berpikir mahasiswa akhirnya mempengaruhi budaya pragmatisme dikalangan masyarakat dan dunia pendidikan.

Ada hal menarik, semisal di kampus kita mempunyai otonomi untuk membuka prodi baru dengan syarat memiliki kerjasama dengan perusahaan dan kampus mempunyai akreditasi sangat baik serta disitu ada kerjasama dengan organisasi mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja, dan penempatan kerja. Maka bisa saja kampus negeri akan mengarah pada usaha untuk memprivatisasi kampus karena hal ini menjadi salah satu dari empat pokok dalam program Kampus Merdeka. Sudah ada penerapan diberbagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, mungkin nanti juga bisa terjadi dikampus kita. Karena syarat untuk menjadi PTNBH menjadi mudah, Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum Satuan Kerja dapat mengajukan perguruan tingginya untuk menjadi badan hukum tanpa akreditasi minimum dan ini bisa dilakukan kapanpun. Jika hal ini benar-benar terjadi dan lembaga diberikan otonomi, maka biaya pendidikan akan menjadi prioritas kampus untuk menampung mahasiswa baru dan akan bisa menimbulkan persepsi buruk dimasyarakat, bahwa pendidikan hanya layak untuk kaum menengah ke atas.

Selain itu, kampus yang sangat pro dengan kepentingan pasar menjadikan biaya pendidikan dari tahun ketahun akan terus naik tajam dan kampus tak segan-segan untuk membungkam, menggebuk, menghilangkan dosen, mahasiswa, pekerja, dan masyarakat kampus jika tidak satu garis lurus dengan aturan yang dibuatnya. Akhirnya tidak ada dosen maupun mahasiswa yang di birokrasi kampus mau mengkritik penguasa. Sangat disayangkan, sebenarnya kampus lebih baik jika netral dalam menyikapi isu-isu sosial.

Semisal kampus sudah memulai model penjinakan dan menjadikan kampus jalan kekuasaan dalam memproduksi sistem ideologi berdasarkan kepentinganya, maka soal akademik dan demokrasi perlahan-lahan menuju kehancuran. Karena kritik dan aksi moral adalah kegiatan yang tidak sesuai dengan intruksi penguasa. Sangat tidak mendidik jika penguasa ikut mengambil keuntungan dari peran kampus baik dengan cara intervensi, menggaet kalangan akademisi masuk ke sistem kekeuasaan, maupun dengan cara depolitisasi, sekali lagi sangat disesalkan.

Peristiwa dari tahun ketahun mulai dari Kemerdekaan Indonesia, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi, pemudalah yang menjadi tonggak utama dalam mengawal dan melalukan perlawanan terhadap penguasa yang sewenang-wenang. Hingga detik ini pemudalah yang menjadi inti suatu peradaban umat manusia, sehingga ditangan pemudalah nasib bangsa dan negara diembankan. Tetapi banyak sekarang yang acuh tentang hal itu, ngomong nasionalisme sebatas menjaga ketertiban dan berbuat baik.

Sedikit dari akhir tulisan ini “Kekuasaan ini, yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, yang semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat dan berada di atas amasyarakat itu sendiri, oleh Marx dan Engels kekuasaan ini dinamakan sebagai negara. Kekuasaan yang secara telanjang bulat berupa, tentara, pengadilan, polisi, dan penjara pada awalnya berdiri ditengah-tengah, sebagi wasit tetapi dalam batinya dia adalah alat kaun berpunya untuk menindas kaum tak berpunya. Semakin keras pemerasan kelas berpunya atau kelas tak berpunya, maka semakin tajamlah juga pertentangan di antara kedua kelas itu, maka bertambahlah terang pula sifat negara itu, sebagai suatu alat penindasan kaum berpunya atas kelas tak berpunya seperti kata Tan Malaka dalam bukunya Islam dan Madilog. Tak jauh dari miniatur negara adalah kampus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *