Pesta demokrasi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga tinggal menghitung jam. Waktu kampanye calon anggota legislatif tingkat institut dan fakultas pun telah ditutup oleh Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM). Pemilu Raya (Pemira) senantiasa menjadi medium untuk mahasiswa dalam menentukan suaranya, baik memilih atau dipilih.
Ada ribuan mahasiswa yang secara aktif terdaftar sebagai mahasiswa IAIN Salatiga. Namun apa kabar dengan pemira tahun lalu? Jika kembali kepada Pemira tahun lalu –soal jumlah suara masuk-, dari sebanyak lebih dari 5000 mahasiswa, hanya kurang dari 2000 mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya. Ada banyak alasan yang terlontar dari para mahasiswa untuk tidak memakai hak pilihnya. Diantaranya adalah black campaign, sportifitas yang ditanyakan, juga faktor kepentingan yang menganggap bahwa Pemira tidak perlu dilaksanakan.
Menjawab keresahan para mahasiswa tahun lalu, ternyata menjelang Pemira 2017 ini juga berhasil menyita mahasiswa untuk menggaungkan argumennya. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang bersuara sama dengan tahun lalu, yaitu tidak akan menggunakan hak pilihnya. “Ada atau tidak adanya Pemira itu sama saja, cara yang dipakai untuk mendapatkan suara terbanyak ya gitu-gitu tok,” ungkap salah satu mahasiswa Fakultas Syari’ah yang tidak disebutkan namanya.
Menyimak persiapan Pemira 2017, ditemukan kejanggalan pada proses kampanye yang dilakukan oleh partai tertentu. Bahkan belum lama beredar di banyak grup mahasiswa bahwa black campaign sedang bergejolak dan menuai kontroversi di tengah mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan beredarnya screenshoot sebuah percakapan grup yang berisi tentang ajakan untuk memilih calon-calon tertentu. Bahkan dalam percakapan tersebut tertulis semacam ancaman “tidak akan mendapatkan sertifikat suatu kegiatan”.
“Wajib ya, karena dari devisi kaderisasi sudah dipetakan menurut rumah masing-masing. Jadi tidak ada yang mencoblos yang lain. Mohon diperhatikan. Peringatan juga jika saat pemira tidak ikut andil maka sertifikat ********* tidak dikasihkan. Tambahan juga tidak boleh diambilkan.” (Sumber dari broadcast screenshoot yang beredar di grup whatsapp).
Saat gambar semakin viral, ada salah satu akun whatsapp yang menanggapi tentang hal tersebut. Akun whatsapp +6285XXXXXX677 mengomentari, “Ini intruksi grup internal organisasi ekstra, bukan kampus. Kenapa bisa kamu dapat? Dan apa maksudnya dishare disini, ini grup umum, kok lancang.”
Salah seorang mahasiswa Pendidikan Agama Islam sebut saja Mawar (nama disamarkan) mengatakan, “Katanya itu hanya sebagian (nama-nama yang dipromosikan-red), tapi dari pihak mereka malah ada yang chat pribadi katanya langsung laporin ke KPUM. Secara tidak langsung itu membenarkan berita itu.”
Ternyata realitas politik yang ada di Indonesia saat ini, tidak terlepas dari budaya yang mengakar saat berlabel mahasiswa. Praktik kecurangan pun masih rawan terjadi bahkan di event Pemira mahasiswa sekalipun. Bahkan di zaman sekarang, praktik kecurangan lebih bervariasi. Kini menjadi pilihan setiap mahasiswa untuk tetap menggunakan hak pilihnya, atau tetap menyia-nyiakan hak pilihnya sebagai protes terhadap laju politik yang sedang berjalan. Berapa prosentase pemilih tahun 2017 dan bagaimana tingkat kesuksesan tahun ini? -Bersambung- (AF/Red)