Washatiyyah, Sebuah Wacana Dialektika Tentang Moderasi Beragama

Oleh: Arif Bagas Adi Satria


Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Salatiga (IAIN Salatiga), Founder Societeit de Kata Mata Salatiga, Ketua Racana Ganesa Gugusdepan Teritorial 02.001 Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Kota Salatiga.
bagas.sathreea02121996@gmail.com
+62 89 649 149 631

Dewasa ini, semakin banyak para cendekia intelektual Islam, membahas tentang Washatiyyah. Sebenarnya apa itu Washatiyyah? Washatiyyah adalah sebuah bentuk moderasi beragama yang sudah dikenal oleh Islam, yang dimana cara pandang beragama dengan sikap moderat.

Moderasi beragama adalah cara pandang dalam beragama secara moderat, dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun kiri. Moderasi agama memandang harus ada jalan tengah tentang sesuatu hal yang berbau ekstrem dalam wilayah agama.


Mengapa harus ada suatu moderasi dalam beragama? Karena kita sadar bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Bahwa kita sadar keanekaragaman adalah fitrah dari bangsa. Kita semua tahu bahwa di dalam Indonesia, ada Pancasila, yang dimana merupakan sebuah sublimasi cerminan nilai-nilai bangsa, dan bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama.


Di dalam memandang suatu moderasi agama, harus melihat bahwa di dalam batang tubuh Indonesia terdapat banyak suku, ras, warna kulit, agama dan banyak golongan-golongan yang memiliki pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, toleransi harus dikedepankan sebagai langkah pijakan awal dalam bermoderasi.

Kita lihat, banyak contoh gerakan atas dasar “rasa ucapan terima kasih” kepada mendiang beliau KH. Abdurrahman Wahid, karena telah meletakkan onderbouw dalam bermoderasi Islam dengan tindakan seperti mengesahkan agama Konghucu di kalangan Tionghoa pada tahun 2000-an, kemudian membentuk komunitas bersama antarberagama bernama Gusdurian yang dimotori oleh Yenny Wahid.

Selain itu kita juga melihat kedamaian dalam bermoderasi beragama dengan memperlihatkan seluruh simbol agama secara merata di dalam satu acara pengajian. Pernahkah anda melihat pengajian Maiyah? Maiyah adalah salah satu cara bermoderasi yang diprakarsai oleh Emha Ainun Nadjib, dengan bentuk shalawat dan pujian yang merata, bahkan dengan cara estetik dan tidak merusak aqidah sama sekali.

Kembali kepada iman, karena sejatinya iman adalah masalah personal, masalah pribadi antara Tuhan dan makhluknya, sebuah jalan vertikal antara Pencipta dengan manusia, hubungan khusus antara sang subjek Makrokosmos dengan Mikrokosmos. Antara Prima Causa, sang Sebab Pertama dan Penggerak Perdana, dengan objek kreasi-Nya.


Beberapa waktu lalu, IAIN Salatiga telah me-launching sebuah tajuk besar berbentuk “The Centre of Washatiyyah”. Diharapkan untuk sebuah kampus bernafaskan Islam untuk menghembuskan sebuah wawasan moderasi Islam, seluruh wawasan Islam, tidak memandang “warna” di dalam Islam, entah itu organisasi massa Islam, entah itu madzhabnya, tetapi masih dalam kerangka kesatuan Islam, dan meyakini bahwa Islam adalah rahmah bagi seluruh semesta, sehingga dapat memberi kedamaian dalam beragama secara universal.

Kampus yang bernuansa damai dan mendamaikan adalah kampus yang sejuk dalam menanggapi berbagai hal beragama. Menurut hemat penulis, Washatiyah dapat dijalankan dengan kondisi masyarakat kita yang menganut kebhinnekaan sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.

Bhinneka Tunggal Ika juga dapat dijadikan acuan dalam bermoderasi dalam beragama, karena pada hakikatnya juga sepadan, membahas tentang keragaman dan toleransi dalam perbedaan.


Tetapi sangat disayangkan, beberapa hari yang lalu pula, muncul kontradiksi dari konsep Washatiyyah tersebut. Muncul kontroversi dimana pelaksanaan Pengenalan Budaya dan Akademik Kemahasiswaan (PBAK) IAIN Salatiga memunculkan tokoh yang tidak mencerminkan perilaku washatiyyah, yaitu menggunakan lambang organisasi tertentu yang katanya hak prerogative narasumber.

Katanya damai, tetapi memunculkan polemik banyak organisasi warna lain. Apakah dengan hak prerogative narasumber dapat menjawab konsep Washatiyyah yang sedang digaungkan? Anda bisa simpulkan sendiri. Karena dengan mendirikan konsep moderasi agama, seharusnya perilaku memunculkan simbol-simbol tertentu tidak akan pernah ada.


Moderasi Islam mengajarkan agama yang ramah, toleransi (tasamuh), dan menghargai perbedaan apapun, baik suku, ras, warna kulit, bahkan sampai perbedaan madzhab dari agama sekalipun. Jangan mencontoh dari keadaan agama yang ada di luar, contoh seperti Ali Syariati, seorang “Islam Kiri” yang dicap buruk karena pandangan Islam berdasarkan golongan karya dan sosialis.

Atau seperti di Timur Tengah yan begitu ekstrem dalam menanggapi sebuah pandangan beragama.
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Jadikan Washatiyyah sebagai jalan moderasi beragama yang mengambil jalan tengah berujung kedamaian. Bukan sebagai ajang branding, tetapi diimplementasi dan dijiwai ke dalam diri persona masing-masing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *