Salah Kaprah Masalah Waste Food, Budaya Konsumtif dan Kapitalisme

Sumber Foto: Casandra Hess

Oleh: Fatah Akrom

Ramadhan telah tiba, umat muslim seluruh di dunia menyambut dengan riang gembira, tidak hanya masjid-masjid yang disibukkan dalam bulan suci ini, mulai dari Mall atau pusat pembelanjaan, kantor-kantor dan baliho-baliho parpol tidak ketinggalan mengucapkan ibadah puasa ramadhan. Tapi pada intinya yang paling sibuk adalah dapur, mulai dari dapur rumah sederhana, restoran fast food dan nasi padang saling berlomba-lomba menyajikan promo Ramadhan.

Sayangnya, sebagian besar umat Islam jadi lebih sibuk mengurus jadwal buka bersama, alih-alih fokus beribadah. Mulai dari teman sekolah, kerja, keluarga besar, bahkan teman yang belum tentu kenal, mungkin budaya buka bersama tidak begitu buruk sebagai mahkluk sosial. Namun, kebiasaan yang buruk adalah membuang-buang makanan saat berbuka. Coba perhatikan, ada berapa banyak makanan yang disajikan di meja makan rumah kita saat waktu berbuka puasa tiba? Jumlahnya pasti lebih banyak daripada jumlah makanan yang biasa kita konsumsi di luar Ramadan. Bahkan, makanan pesanan di restoran yang sudah dipesan tapi dibatalkan, mungkin akhirnya banyak yang berakhir di tong sampah.

Mungkin terlalu sepele harga sampah itu yang tak sebanding dengan mahalnya pertemuan, namun coba kamu pikirkan lagi, menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2021 Indonesia termasuk dalam tiga besar negara yang hobi membuang-buang makanan. Sampah makanan yang terbuang di Indonesia sejak tahun 2000 sampai 2019 saja jumlahnya mencapai 23-48 juta ton atau setara 150-184 kilogram per kapita per tahun. Global Hunger Index juga mengatakan, tingkat kelaparan di Indonesia berada di tingkat serius. Artinya banyak orang yang sedang kelaparan sedangkan kita yang serba berkecukupan (banyak makanan) suka membuang dan tidak menghabiskan makanan.

Apakah data di atas masih belum membuatmu sadar? Dari makanan-makanan sisa tersebut akan menghasilkan Food waste yang menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) lalu menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Sedangkan keduanya tidak sehat untuk bumi. Gas-gas tersebut terbawa ke atmosfer dan berpotensi merusak lapisan ozon. Padahal, salah satu fungsi lapisan ozon adalah menjaga kestabilan suhu di bumi. Jika kestabilan suhu terganggu, maka terjadilah pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut akibat dari mencairnya es di bumi. Mencengangkan bukan?

Hayo lho ternyata kita sebagian dari rusaknya iklim dunia!

Dosa Kita Terhadap Kapitalisme

Sebagai mahasiswa yang menjunjung idealis atau terlebih yang tidak mempunyai properti mungkin sangat mudah menuduh bahwa kapitalisme adalah biang kerusakan ini. Apalagi jika kita terlahir dari rahim petani atau pekerja yang dihisab nilai lebihnya, mungkin kita akan semakin mengebu-gebu menghakimi kapitalisme. Menurut Ellen Meiksins Wood, menyatakan bahwa kapitalisme sering dipahami secara keliru sebagai sebuah sistem politik-ekonomi yang lahir dari keniscayaan sejarah. Jika wood itu Islam, mungkin dia akan membisikan kepada kita tentang betapa dosa kita terhadap kapitalisme yang selalu berburuk sangka.

“Antikapitalisme kok makan di McDonald’s?”

Anggapan mungkin masih melekat di benak mahasiswa yang mendewakan idealismenya walaupun identifikasi antikapitalisme tersebut kurang mendasar. Apa karena McDonald’s berhubungan dengan elit global? Apakah McDonald’s mengambil nilai lebih dari keringat pekerjanya? Bahkan untuk mengakses tulisan ini kamu harus menggunakan HP mu sendiri, Bukankah antikapitalisme artinya ‘anti-kepemilikan pribadi’?

Maka sepertinya selama kita masih membuang-buang dan tidak mengatur porsi makanan kita sesuai kebutuhan, selama itu juga kita hanya seolah-olah mengkambing hitamkan kapitalisme padahal hanya kita yang tidak bisa merubah sikap kita sendiri. Dalam hal tersebut maka pusaran permasalahan waste food, budaya konsumtif dan kapitalisme ini menjadi kompleks, kita tidak bisa menghujani salah bahwa permasalahan waste food adalah budaya komsumtif yang disebabkan pasar kapitalisme. Namun satu sisi kita juga tidak bisa menyalahkan salah kaprah memahami kapitalisme selalu di masyarakat. Wood menyadari itu dengan mengatakan bahwa menurut Adam Smith akumulasi primitif dilakukan dengan cara membeli murah di satu tempat dan menjualnya dengan harga lebih mahal di tempat lain dan dengan cara berhemat. Kapitalisme dianggap sebagai kelanjutan alamiah dari relasi paling purba dari manusia: perdagangan dan pertukaran barang dan jasa. Kesalahan model ini terletak pada pandangan bahwa berdagang itu otomatis kapitalis dan tidak mungkin antikapitalisme tanpa anti-perdagangan. Toh juga Nabi Muhammad mengajarkan umatnya untuk berdagang.

Dalam kesimpulannya penulis tanpa bermaksud menyederhanakan pemahaman pembaca di atas, Antikapitalisme bukan berarti tidak boleh makan di McDonald’s, tidak melakukan aktivitas jual beli, dalam benak saya tidak seradikal itu namun antikapitalisme adalah usaha terus menerus untuk mencari sistem politik-ekonomi yang tidak berlandaskan persaingan dan maksimalisasi profit dalam pasar, dalam rangka menghilangkan hubungan dan eksploitasi kapitalisme.

Dalam permasalahan ini justru penulis menyimpulkan bahwa akar permasalahan waste food dan budaya komsumtif dengan kapitalisme adalah berbeda, waste food terjadi karena perilaku dan budaya konsumsi Indonesia yang buruk, hasil penelitian Bappenas bersama Waste4Change meluncurkan hasil kajian Food Loss & Waste (FLW) di Indonesia selama 20 tahun 2000-2019[1] mengungkapkan sejumlah penyebab terjadinya food loss atau jumlah bahan pangan yang berkurang karena proses produksi serta food waste atau makanan konsumsi yang terbuang di Indonesia dikarenakan penanganan proses produksi yang kurang baik dan perilaku konsumsi masyarakat.

Pertama, terutama di bagian food loss kurangnya Good Handling Practices (GHP) Oleh karena itu, perbaikan sistem pengelolaan tanaman secara terpadu disertai pengembangan teknologi permanen dan penanganan pasca panen merupakan salah satu unsur yang diperlukan untuk mencapai mutu produk yang baik- kurang baik dalam memperlakukan makanan ketika didistribusikan atau ketika setelah panen. Kedua, penyimpanan yang kurang baik sehingga menyebabkan pangan rusak dan terbuang. Hasil studi Bappenas dan FLW menemukan tidak sedikit masyarakat yang menyimpan bahan makanan di dalam kulkas hingga busuk dan terbuang. Ketiga, preferensi konsumen dalam memilih bahan pangan atau makanan juga bisa menjadi penyebab food loss dan food waste. Hal ini biasanya terjadi di pedagang atau toko bahan pangan di mana bahan baku makanan yang tidak lazim oleh masyarakat Indonesia tidak dibeli sehingga akhirnya terbuang. Keempat adalah kurangnya edukasi masyarakat baik dari sisi konsumen maupun petani yang memproduksi bahan pangan. Terakhir adalah perilaku konsumen yang mengambil porsi berlebih sehingga menyisakan makanan yang pada akhirnya terbuang. Masyarakat Indonesia harus mengevaluasi pola makan yang berlebihan agar tidak menyebabkan food waste.


Referensi

[1] Selama 20 tahun (2000-2019), timbulan FLW di Indonesia mencapai 23-48 juta ton/tahun atau setara dengan 115-184 kg/kapita/tahun. Kehilangan ini menghasilkan kerugian sebesar Rp 213 – 551 triliun/tahun atau setara dengan 4-5% PDB Indonesia per tahun serta menghasilkan total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) selama 20 tahun sebesar 1.702,9 Megaton CO2-ekuivalen. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *