Oleh: Anik Nur Aisah
Pandemi covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia sampai saat ini masih belum juga berakhir, termasuk Indonesia. Namun, negeri tercinta ini masih harus diuji dengan adanya bencana alam.
Banjir dan tanah longsor yang melanda Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Minggu, 4 April 2021 menambah derita bagi masyarakat Indonesia. Dilansir dari CNN Indonesia, di mana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah penduduk yang meninggal dunia dalam bencana ini sebanyak 128 orang.
Tak hanya korban meninggal, penduduk yang hilang dalam peristiwa ini pun mencapai 72 orang. Dikutip dari sumber yang sama, bencana ini terjadi akibat cuaca buruk berupa siklon tropis yang berdampak pada delapan wilayah di Provinsi NTT. Lalu, apa yang dimaksud dengan siklon tropis tersebut?
Dikutip dari situs Badan Meteologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), siklon tropis adalah badai yang memiliki kekuatan besar dengan radius rata-rata seluas 150-200 kilometer. Peristiwa ini pada umumnya terbentuk di atas lautan luas yang memliki suhu permukaan air hangat, yakni lebih dari 26.5 derajat celsius. Tidak hanya itu, putaran angin yang ada didekat pusatnya memiliki kecepatan lebih dari 63 km/jam.
Badai ini pun mempunyai kecepatan maksimum lebih dari 34 knot serta munculnya awan hujan yang masif di sekitarnya. Dalam situsnya, BMKG juga menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh siklon tropis ini, seperti angin kencang, hujan deras berjam-jam bahkan lebih yang berakibat banjir, gelombang tinggi, serta gelombang badai (storm surge). Hal serupa yang terjadi di wilayah Provinsi NTT saat ini.
Lalu apa sebenarnya sebab dari terjadinya siklon tropis itu? Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa peristiwa ini terjadi akibat adanya tekanan rendah di permukaan laut, ditambah pula dengan hangatnya permukaan air laut. Dikutip dari VOA Indonesia, Dr. Armi Susandi ilmuwan cuaca dan perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) percaya bahwa pemanasan global (global warming) juga berperan dalam peristiwa ini.
Hal ini karena pemanasan global menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi yang berdampak pada anomali cuaca yang ada. Global warming sendiri terjadi salah satunya disebabkan oleh efek rumah kaca (greenhouse effect), dimana hal ini dipicu oleh naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) serta gas-gas lainnya di atmosfer.
Meningkatnya emisi CO2 ini terjadi akibat pembakaran Bahan Bakar Minyak (BBM), batu bara, bahan organik lain, serta pembakaran hutan yang marak dilakukan. Sehingga dalam skemanya, guna mengurangi krisis iklim ini kita perlu untuk mengurangi emisi CO2. Contohnya dengan mengurangi pembakaran hutan, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dengan memilih energi terbarukan, dan menghentikan deforestasi hutan.