Mengenal Umbu Landu Paranggi, Sastrawan yang Jarang Disorot

Oleh: Chaerul Misbah

Melihat hiruk pikuk keramaian Malioboro tak terlepas dari sejarah panjang romansa kisahnya. Melalui diskusi panjang di sisi jalan semenjak tahun 50-an, para tokoh dan penyair mengaung dalam lantunan karya-karya besar dan ide kreatif yang diukir di atas aspal.

Sepak terjang maestro besar yang lahir dari sana seperti Linus Suryadi, Emha Ainun, Eko Tunas, Korrie Layun Rampan, dan penyair lainnya. Maka tidaklah sempurna hikayat keilmuan kita kalau tidak mengenal sosok penggagas keromantisan itu, yang didaulat sebagai Presiden Malioboro, yakni Umbu Wulang Landu Paranggi.

Nama yang begitu asing bagi sebagian orang terutama yang tidak bergelut dalam dunia kesusastraan. Padahal, baru saja pada 2020 dia mendapat penghargaan dibidang sastra dalam Festival Bali Jani Nugraha dan penghargaan lain yang melengkapi kepiawaiannya dalam dunia sastra.

Umbu dilahirkan pada 10 Agustus 1943 di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur. Jenjang pendidikannya secara formal setelah dia menamatkan pendidikan di SMA BOPKRI Yogyakarta, Umbu melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sosiatri, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gajah Mada, dan juga pada Jurusan Hukum, Universitas Janabadra Yogyakarta.

Bertempat di Jalan Malioboro 175 A, dulunya sebagai kantor redaksi sastra mingguan Pelopor Jogja, dan sekarang telah berubah menjadi Jogja Library Center. Dahulu ketika Umbu menjadi redakturnya, pada 5 Maret 1968 bersama beberapa rekan sejawatnya, seperti Ipan Sugiyanto, Soeparno S. Adhy, Imam Budhi Santoso, Ragil Suwarna dan kawan yang lainnya mencoba mendirikan Persada Study Klub (PSK). Sebuah komunitas untuk mewadahi kreativitas, tempat diskusi, dan raung ekspresi para penulis muda, Umbu akhirnya menyediakan tempat di kantor Pelopor Jogja, walaupun diskusi akhirnya diadakan di sepanjang Malioboro.

Acara yang diadakan tiap minggunya ini diisi dengan pembacaan karya puisi, kemudian Umbu memberikan masukan dan kritikan atas karya anggota PSK. Tak disangka, dari diskusi mingguan mulai menjelma menjadi kegiatan yang cakupannya tidak hanya di Malioboro, di Jogja, akan tetapi meluas ke luar Jogja. Keanekaragaman acara pun diadakan, seperti perlombaan, kemah sastra, pentas seni yang digelar di berbagai tempat dan dengan penonton dari berbagai kalangan.

Tetapi pada 1975, ketika Umbu memilih pindah dan menetap ke Bali, gairah PSK menjadi merosot, tidak ada yang benar-benar dapat menggantikan posisi Umbu. Akhirnya di tahun 1977, PSK bubar beriringan dengan ditutupnya Mingguan Pelopor Jogja.

Setelah lama menetap di sana, pada 6 April 2021 Umbu menutup usia terakhirnya di Sanur, Bali. Umbu Landu Paranggi akan selalu terkenang sebagai sosok Presiden Mailoboro dengan romansanya. Bagi sebagian orang, sosok Umbu seperti pohon yang sangat rindang, tempat bernaung dan menumbuhkan banyak sastrawan hebat. Tapi atas kerendahan hatinya, dia sendiri hanya menganggap dirinya sebagai pupuk sahaja. Itulah kesederhanaan Umbu dan jalan sunyi yang dilalui, yang menjauhi popularitas ataupun eksistensi, menikmati hidup hanya menggelandang berjalan kaki sambil membawa kantung plastik yang berisi karya-karya hebatnya.

3 thoughts on “Mengenal Umbu Landu Paranggi, Sastrawan yang Jarang Disorot

  1. Iya, Umbu belum sempat ke Salatiga. Padahal kalau sempat, akan kutunjukkan rumah kost (calon) istrinya di jalan Serayu 417 semasa study di Salatiga termasuk UKSW. Sementara kakaknya, Kalikit Nganji kost di rumah saya, keluarga Soentoro di jalan Serayu 417A Saltiga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *