Dari Kota Zending, Membangun Sekolah Teladan

Ditulis oleh: Nibros Hassani

Dari periwayatannya, Salatiga memiliki nuansa yang sarat akan sejarah politik, ekonomi, sosial dan keagamaan. Salatiga juga berhasil menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya pendidikan. Tak hanya dari kalangan nasrani namun juga islam.


Salatiga di Masa Kolonial


Salatiga tidak memiliki keistimewaan seperti daerah lain yang luas secara geografis atau melimpah dari segi kekayaan alam. Berlokasi ditengah-tengah kota Solo dan Semarang, Salatiga hanyalah kota kecil yang memiliki empat kecamatan dengan jumlah penduduk yang juga tidak banyak.

Meski begitu, menurut periwayatan kota ini diberi keistimewaan lain seperti: iklim yang sejuk, tanah yang subur untuk perkebunan, serta komposisi masyarakat yang beragam.

Di masa kolonial, Salatiga adalah kota peristirahatan favorit para penjajah Belanda. Kota ini bahkan sempat disebut sebagai De Schoonste Stad van Midden-Java (Kota Terindah di Jawa Tengah).

Di dalamnya, para penjajah Belanda mendirikan hotel dan mengembangkan pusat transportasi. Keistimewaan itu juga berupa iklim yang sejuk dan tanah yang cocok untuk menggarap perkebunan, termasuk kopi, coklat dan rempah-rempah.

Dengan kondisi yang demikian, komoditas ekspor Belanda saat itu juga datang dari Salatiga. Jadilah kota ini sebagai pusat rekreasi, transportasi, sekaligus lumbung ekonomi Belanda.


Riwayat Kehidupan Beragama


Meski mendapat anugrah keindahan kota sedemikian rupa, kondisi masyarakat Salatiga ketika itu tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di Indonesia. Akses pendidikan dan ekonomi masih sangat terbatas.


Salah satu yang menarik ialah riwayat kehidupan beragama di Salatiga. Meski berlokasi di Jawa Tengah—dengan kondisi mayoritas penduduknya yang islam, Salatiga memiliki arti penting bagi persebaran ajaran nasrani sejak masa kolonial.

Salatiga tak hanya disebut sebagai miniatur Indonesia karena kemajemukannya bagi sebagian orang, namun juga sebagai pusat pendidikan kristen.


Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink mencatat, ada empat organisasi misionaris di masa Belanda yang bergerak di Salatiga. Keempat organisasi itu ialah Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), Doopsgezinde Zendings Vereeniging (NZV), Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereeniging (NGZV), dan Salatiga Mission (Salatiga Zending).

Dari organisasi-organisasi ini lahir salah satu misionarisnya yang masyhur yakni Pieter Jansz, yang pernah menerjemahkan injil ke Bahasa Jawa dibawah pengawasan British and Foreign Bible Society.

Sementara itu, Myengkyo Seo mencatat Salatiga dikenal melalui: Salatiga Zending (Salatiga Mission)—sebuah kelompok misionaris yang berdomisili di Salatiga dan Belanda, serta UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana), salah satu universitas kristen swasta ternama di Indonesia.


Aktivitas keagamaan juga diinisiasi oleh pasangan Belanda-Inggris Abraham Theodorus Johanes Van Emmerick dan Alice Cleverly yang mendirikan Witte-Kruise kolonie (Koloni Salib Putih) di Getasan, dekat Salatiga.

Van Emmerick dan Cleverly adalah pasangan yang peduli terhadap kaum miskin dan papa. Menurut Adif Fahrizal, pasangan ini menyantuni para pribumi yang hidup terlantar di sekitar Demak dan Semarang.

Nantinya, para pribumi inilah yang diasuh, dididik untuk hidup mandiri melalui peternakan, dan diberdayakan melalui pendidikan. Hingga kini, jejak pasangan tersebut masih dapat diketahui di sekitar Jalan Lingkar Selatan dimana terdapat lokasi agrowisata “D’Emmerick”.


Wajah Islam Pertama


Meski telah menjadi pusat persebaran agama nasrani sejak masa kolonial, aktivitas keagamaan dari kalangan islam juga tampak. Menurut catatan Adif Fahrizal, organisasi Islam Muhammadiyah menandai kegiatan pertama dari kalangan Islam saat itu.


“Laporan Residen Semarang tahun 1929 menyebutkan bahwa di Onderdistrik Suruh yang masuk wilayah Distrik Salatiga tampak ada kemajuan aktivitas Muhammadiyah. Di samping Muhammadiyah mendapat izin memberikan pelajaran agama di Normaalschool Salatiga.”


Hal yang sama juga tertulis dalam dokumen Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) kota Salatiga. Pada sekitar tahun 1930-an berdirinya Muhammadiyah ditandai dengan keberadaan HIS Muhammadiyah.

HIS ini nantinya bertransformasi menjadi Sekolah Rakyat (SR) hingga nantinya berkembang menjadi SD Muhammadiyah. Bermula dari pendirian sekolah yakni HIS sebagai amal usaha Muhammadiyah yang pertama, gerak organisasi Muhammadiyah Salatiga saat itu juga telah dimulai.

Tidak hanya melakukan dakwah melalui sekolah, beberapa aktivitas seperti pengajian dari rumah ke rumah, hingga kongres Muhammadiyah pada tahun 1935 pernah diikuti. Pada tahun 1933, solat ‘Id pertama juga pernah dilaksanakan oleh Muhammadiyah dengan jumlah jama’ah sekitar 11 orang saja.


Selanjutnya, pada tahun 1939, pertemuan tabligh juga pernah diselenggarakan oleh Muhammadiyah Salatiga dengan mengundang para tokoh islam lainnya termasuk dari kalangan komunitas Cina yaitu Hadji Jap A Siong (Medan), dan Kijai Tjo Tjia Liong (Solo). Tabligh ini ikut menarik perhatian masyarakat Muslim Bumiputera.


Dokumen PDM Salatiga menyebutkan, para tokoh Muhammadiyah saat itu bergerak bukan sekedar mendirikan sekolah formal saja namun juga tidak terlepas dari semangat para tokoh pada masa itu untuk melakukan amar makruf nahi munkar nyata melalui organisasi.

Para tokoh tersebut diantaranya: Tirto Husodo, Asnawi, Nur, Abdul Mu’in, Kyai Irsyam dan Kyai Hasyim, K.H. Dachlan (dari Suruh), K.H. Mansyur (dari Ambarawa), Qulyubi, Syamsul Hadi (dari Suruh), Suwiryo dan Suryani.


Mulanya adalah HIS, Lalu Menjadi Sekolah Favorit


Pada awal abad 20, seiring dengan gencarnya Politik Etis, pemerintah Belanda mulai mengorganisir kembali pemerintahan di bidang pendidikan untuk disesuaikan dengan kepentingan kolonial dan tuntutan zaman.

Perkembangan sekolah dasar ketika itu salah satunya ditandai dengan munculnya HIS (Hollandsch-Inlandsche School, atau “Sekolah Belanda untuk Pribumi”). Termasuk di Salatiga, para tokoh Muhammadiyah ketika itu (sekitar tahun 1932) membangun HIS Muhammadiyah.


HIS Muhammadiyah pada awal pendirian dipimpin oleh R. Muh. Djamil dari Yogyakarta. Siswa-siswinya dari berbagai golongan, dengan mayoritas Islam dan Kristen. Pada sore hari, HIS Muhammadiyah digunakan untuk kegiatan diniyah. Kegiatan ini berlangsung sampai pada tahun 1970-an.


Dengan situasi dan kondisi yang terus berubah, dari Indonesia Merdeka hingga Orde Baru, HIS Muhammadiyah ikut menyesuaikan diri dengan zamannya. HIS Muhammadiyah pernah nyaris ditutup karena minat masyarakat yang turun untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.

Namun sekitar tahun 2002, keputusan akhirnya diambil oleh PDM ketika itu untuk merombak total HIS Muhammadiyah dan membangun ulang konsep pendidikan didalamnya.

Diubahnya HIS Muhammadiyah ke SD Muhammadiyah Plus berarti banyak bagi perkembangan dakwah Muhammadiyah Salatiga pada tahun-tahun berikutnya.
Ketika tulisan ini dibuat, SD Muhammadiyah Plus telah menjadi pilihan favorit masyarakat kota Salatiga untuk menyekolahkan anaknya.

SD Muhammadiyah Plus telah mendapatkan rekognisi yang baik dari masyarakat, dengan banyaknya prestasi yang didapat oleh para siswa, juga dari kalangan gurunya mulai dari tingkat lokal, regional, hingga nasional.

Terakhir, pada 2017 pemerintah yakni Dinas Pendidikan memberikan amanah kepada SD Muhammadiyah Plus untuk menjadi percontohan sekolah berkarakter di Kota Salatiga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *