Angkringan Mbah Subur, Tekun dan Jujur Biar Mujur

Sumber foto: Alif/DinamikA


Oleh: Ana Putri


Angkringan, angkring, atau apalah itu sebutannya, pasti sangat familiar di telinga orang-orang, terlebih di kalangan mahasiswa. Angkringan dikenal sebagai tempat yang egaliter, para pembeli yang datang berasal dari berbagai macam latar belakang tanpa membedakan strata sosial maupun SARA. Tempat persinggahan yang nyaman sambil ngobrolin isu-isu serius hingga larut malam, meski yang diajak ngobrol tak saling mengenal.


Seperti halnya di kawasan Jalan Lingkar Selatan (JLS) Salatiga, di sini banyak angkringan milik warga yang tersebar di pinggir jalan. Satu diantara pemilik angkringan tersebut adalah Muhammad Mukhtasom Sufyan. Pria kelahiran 72 tahun silam membuka lapak angkringannya di area Pulutan. Tepatnya di samping jalan perempatan Masjid Baitussyukur. Warung miliknya tidak begiu besar, namun selalu ramai diserbu pelanggannya.


Diusianya yang tak lagi muda, kakek yang akrab dipanggil Mbah Subur ini tetap ikut berjualan di warungnya. Terhitung sejak 2008 warungnya mulai buka, hingga sekarang, caranya melayani pembelinya tetap tak berubah. “Saya kan di warung, dagangan saya beraneka ragam, tahu, tempe, macem-macem. Seleranya orang itu apa, kalau seleranya tahu, ya saya suguhkan tahu. Kalo saya tawari yang lain dia marah. Artinya, saya itu warung, yang jajan di situ ya ada sopir, pemabuk, ya ada kiai, ya ada dosen, macem-macem. Kalo ini sopir, ya saya layani dengan cara sopir, kiai ya saya layani dengan cara kiai, anak mabuk ya saya layani dengan cara anak mabuk,” tuturnya saat ditemui di warung. Tugas menjaga warung dibantu dan bergantian dengan anak-anaknya.


Di warungnya yang kecil tersebut, pernah ada pembeli yang mabuk. Jika biasanya kebanyakan orang akan memarahi, bahkan mengusirnya, beda halnya dengan Mbah Subur. Pemabuk tetap dilayani oleh Mbah Subur. Dengan terkekeh beliau menjelaskan, “Kalau sedang mabuk, jangan dimarahi, namanya orang mabuk itu tidak ingat. Kalo saya pukul, nanti ini yang waras yang mana. Saya diamkan, muntah-muntah di situ ntah minumnya di mana. Nah, besok datang lagi saya ingatkan, ya saya sambil bercanda. Awas, jangan memberi makan ayam di mana-mana (baca: jangan muntah di mana-mana). Cari tempat sendiri,” tuturnya. Namanya juga warung, apalagi buka di pinggir jalan. Pembelinya bermacam-macam. Ketika ada orang yang tidak punya uang, mampir ke warungnya, lalu kabur, itu sudah menjadi risiko beliau saat berjualan.


Kabarnya, warung Mbah Subur ini tak pernah tutup meski hari raya. Sembari melayani pembelinya, Mbah Subur menjawab pertanyaan penulis dengan guyonannya. “Lha tutupe kapan wong lawange rak ono (tutupnya kapan orang pintunya saja tidak ada). Walaupun saya tutup, saya istirahat, saya tetap di sini, cuman dagangannya gak ada, saya bawa pulang. Tapi keadaannya ya seperti ini hahaha,” jawab mbah subur sambil tertawa. “Kalau istirahat mungkin bisa sampe tiga atau empat hari. Soalnya kalau cuma sehari yang ada malah kacau. Namanya istirahat ya pasti ini (barang dagangan) harus dibawa pulang semua. Nah kalau cuma sehari, siap-siapnya, ngurusin ini semua bisa satu jam lebih buat bolak-balik rumah. Pokoknya semua dibawa pulang, sampe dibawa pickup; kompor, gas, dan yang lainnya ini,” tambahnya.


Selama PPKM, warung Mbah Subur tetap buka. Sejak awal diberlakukan, warungnya sering ditegur oleh polisi agar segera tutup di pukul delapan malam. “Padahal negurnya bisa baik-baik, wong nggak sopan. Sejak awal kalo ada polisi, kalo alasannya ga masuk akal, ya saya bantah. Saat itu disuruh tutup jam 8 malam. Saya tanya, apa alasannya, jawabannya karena ada corona. Nah di sini kekeliruan jawabannya. Saya bilang, saya di pinggir jalan seperti ini karena saya takut lapar, kalau mati saya tidak takut pak. Soalnya alasannya dia corona, kok di jam. Berarti dia tau datangnya jam berapa,” ceritanya.


Selain berjaga di warung, kesehariannya juga mengaji. Laki-laki dengan prinsip keberhasilan itu bukan ditempuh dengan uang, namun dengan kejujuran dan ketekunan, juga mengajarkan hal serupa kepada anak-anaknya. “Yang penting bisa belajar, tekun, dan jujur. Menuntut ilmu itu bukan untuk mencari kerja, namun untuk membuat pekerjaan. Tetaplah berprinsip tekun dan jujur dalam segala sesuatu,” jelasnya.


Mendengarkan ceritanya yang panjang, menghadapi pandemi yang tak kunjung usai, Mbah Subur tetap berharap agar di situasi seperti ini, beliau tetap bisa menjaga keluarganya. Mengemban amanah dari Allah, bahwa yang yang namanya manusia adalah khalifah, wakil. Wakil, sebenarnya tugasnya Allah, tapi manusialah yang menjadi wakil-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *