Sumber Foto: Panitia Camp Culture KM Semar
Oleh: Fatah Akrom
Klikdinamika.com– Pengalaman pertama kali saya terjerumus bebas dalam alam fikir Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh, serangkaian acara Camp Culture Keluarga Mahasiswa Kabupaten Semarang (KM Semar) dalam tajuk Dialog Kebudayaan yang dilaksanakan di Gedung Balai Desa Jetis, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Minggu (23/07/2023).
Geliat serombongan anak muda yang telat bangun pagi, iring-iringan motor itu menembus sela-sela kehidupan Agropolitan Bandungan. Tepat kurang lebih seratus meter dari pasar sayur bandongan, saya dan teman-teman mencari Gedung Balai Desa Jetis. Mendung dan dinginnya cuaca kali ini meninggalkan kesan baik, Camp Culture KM Semar ini mengusung tema Merawat Tradisi, Membangun Peradaban Melalui Kedaerahan cukup jadi kehangatan jiwa dan fikir pesertanya.
Lazimnya, format acara seminar atau diskusi ala kampus adalah pemateri memberikan paparan panjang lalu dipungkasi sesi tanya jawab singkat. Namun sore itu, 23 Juli 2022, template acara tersebut tidak dipakai. Selama 2 jam acara berlangsung, “Sinau Bareng” bersama Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh berjalan dengan sesi tanya jawab penuh.
Mendengarkan Sabrang Akan Tetap Bingung, Tapi Saya Tenang.
Sabrang dan beberapa temannya berjalan memasuki pangung acara Dialog Kebudayaan KM Semar/Sumber Foto: Panitia Camp Culture KM Semar.
Bagi saya sebagai mahasiswa awal yang masing meraba-raba perihal budaya, tradisi bahkan filsafat konten Sabrang MDP adalah salah satu list sebelum tidur. Terlepas paham atau tidak ini seperti mendengarkan nina bobo seperti waktu kecil saya.
Acara dimulai kira-kira jam 2 siang, Sabrang masuk dengan beberapa temannya, ya kurang lebih seperti mas-mas pada umumnya. Meninggalkan kesan gagah seperti dalam diskusi kanal pribadi Gita Wiryawan minggu lalu.
“Tradisi terbangun dari persetujuan sekelompok orang atas kebiasaan yang melahirkan budaya, jadi kita tak mudah menyalahkan. Jika anda berasal dari budaya yang berbeda pasti mudah menyalahkan budaya yang lain”
Sabrang atau yang kerap di sapa Noe seorang vokalis band Letto yang saat ini juga sebagai budayawan dan founder Symbolic.id membuka dengan brainstroming Permasalahan budaya dan tradisi khususnya di era digital.
”Kenapa saya tidak tahan bermain sosial media, jika ada yang komen rata-rata kita tidak sadar bahwa yang dia komeni berasal dari latar budaya yang berbeda,” tambah Sabrang yang memang sebenarnya dia tidak memiliki akun sosial media kecuali kanal Youtubenya.
Sabrang menyentil moderator agar tidak terkesan kaku, dia berharap terjadinya tukar menukar pendapat bahkan ada yang tidak setuju dengannya. Kegaduhan fikiran saya bermula saat pertayaan pertama dari seorang mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Salatiga.
“Saya mengira perdebatan kebudayaan yang kurang terasa riuhnya belakangan ini. Bila dibandingkan dengan perdebatan kebudayaan pada masa orde lama, maka sangat jauh sekali. Saat orde lama, ada konflik dan dialektika kebudayaan antara Lekra dengan Manikebu dan juga Lesbumi, lalu sebabnya kurang adanya ruang dialektik budaya pada saat ini?”
Satu hal yang mungkin tidak diketahui oleh orang banyak Sabrang juga sebenarnya bagian dari pengurus Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI)
“Perdebatan kebudayaan sampai sekarang masih ada. Hanya saja, kurang terlihat karena mungkin saya tidak masuk dalam lingkaran budayawan intelektual. kemudian perdebatan kebudayaan itu pada masa orde lama terlihat karena orang-orang yang diberi kesempatan untuk muncul di media adalah orang-orang yang dianggap penting dan kompeten,” tegas Sabrang.
“Sementara, saat ini semua orang bisa muncul di media, terlebih dengan adanya media sosial ini. semua orang bisa berpendapat semaunya dan terkadang popularitas itu lebih banyak menyita perhatian orang dibandingkan dengan kapabilitas. Di LESBUMI pun juga ada banyak perdebatan. saya sering tidak setuju dengan arah gerak dari LESBUMI,” lanjut Sabrang.
Perdebatan ini menjadi tarik ulur sudut pandang melihat dialektika budaya dari masa ke masa, bahkan dalam masa yang tak pernah diduga sebelumnya yaitu era Artificial Intelligence (AI), setuju atau tidak saya bingung tapi saya merasa tenang.
Salah satu peserta bertanya dalam salah satu sesi diskusi dalam Dialog Kebudayaan KM Semar/Photo: Panitia Camp Culture KM Semar.
Salah satu peserta bertanya dalam salah satu sesi diskusi dalam Dialog Kebudayaan KM Semar/Sumber Foto: Panitia Camp Culture KM Semar.
Membebaskan Fikir dan Konsekuen Terhadap Pilihan Hidup.
Dalam kondisi merambahnya AI di dalam kehidupan yang tentu dianggap oleh sebagian orang akan memberikan perubahan nilai pada budaya, tak terkecuali saya, yang akhirnya mencoba untuk menanyakan itu ke Sabrang.
Berbeda dengan saya, justru Sabrang mendorong siapa pun untuk mengatur arus deras AI dan mempelajarinya dengan baik.
“Perlu digaris bawahi bahwa saya pun tidak gegap gempita terhadap adanya AI, saya orangnya realistis, saya tidak akan menjawab sebelum saya menganalisis terlebih dahulu dan saya menjawab ke AI itu penting,” ungkap Sabrang meyakinkan audien.
“Yang penting kamu siap dengan segala konsekuensinya,” tambah dia, walaupun saya belum benar-benar meyakininnya. AI merubah mobilitas manusia lebih cepat dan lebih efisien. Namun, sebenarnya pertayaan dasarnya adalah mungkinkah manusia Indonesia tidak gagu menghadapinya?”
Dalam kalimat terakhirnya atas pertanyaan saya,
”Hanya untuk sekedar menjawab pertayaanmu terntang perjalanan jati dirimu saja AI mampu menjawabnya, AI mampu menganalisis pemahaman psikologi, pemahaman fisiologi manusia, sosiologi, sejarah, perkembangan teknologi dan interaksinya, anggap saja jika kamu baca puluhan buku untuk beberapa bulan, AI mampu menjawab dengan hitungan minggu bahkan hari”
“Jangan pernah terbawa arus tapi harusnya kita yang menunggangi arus tersebut”
Jawaban itu setidak-tidaknya mampu membebaskan fikiran saya, walaupun perasaan ragu dan takut menjadi hal wajar namun setidaknya itu seharusnya mamapu menambah jam belajar saya dan teman-teman saya untuk setidaknya mampu membaca AI di masa yang datang.
Di akhir acara Noe menambahkan bahwa dalam situasi seperti ini diharap untuk meningkatkan situational awareness dan independent situation.
“Intinya yang ingin saya katakan ada dua point. Yang pertama situational awareness, anda harus melihat sekitar aware terhadap apa yang terjadi. Yang kedua adalah independent situation, kamu melihat sekitar tapi tidak terbawa arus. Kalo kamu mengikuti arus atas keputusan bukan karena terseret. Tunggangi arus itu jangan terseret arus itu,” tambahnya.