Exhuma: Cengkeraman Horor yang Menyisakan Misteri

Sumber Foto: Pinterest

Oleh: Muhammad Fajar Saputra

Film horor dengan tema kuburan atau makam mungkin sudah menjadi hal yang cukup lumrah, dengan mayat atau roh sebagai sumber ketakutan utamanya. Namun, Exhuma berhasil mengubah elemen makam bukan sebagai spotlight utama horornya, malah menjadi pemicu awal terbukanya rahasia negara yang dicari dan ditinggalkan karena tak terselesaikan.

Dirilis pada tahun 2024, film horror Korea Selatan ini mendapatkan banyak tanggapan dan kritik positif setelah perilisannya. Film ini bahkan terbilang cukup viral setelah perilisannya. Terbukti dengan dinobatkan sebagai film terlaris tahun 2024 dan masuk sebagai film Korea Selatan nomor 6 terlaris sepanjang masa. Menariknya film ini berani berbeda, meskipun mengambil genre horror, Exhuma tidak menggunakan jumpscare sebagai cara untuk menakuti penonton ̶ melainkan melalui pembangunan suasana yang mencekam.

Plot cerita

Tidak cukup dengan pendekatan horor yang berbeda, Exhuma menyajikan hal yang berbeda lagi dengan dua plot dalam satu film. Plot awal dimulai dengan sebuah keluarga yang diganggu oleh sebuah entitas dan menyebabkan pemindahan makam harus dilakukan, tetapi dalam perjalanan memindahkan makam ahli feng shui merasa aneh dengan posisi makam tersebut, kemudian munculah berbagai halangan yang timbul setalah makam dipindahkan. Jangan pikir berhenti di sana, titik pemindahan makam adalah awal mula mereka sadar ada rahasia mengerikan yang tersembunyi di bawah makam tersebut yang berkaitan dengan sejarah yang belum terselasaikan

Eksekusi cerita dan narasi

Banyak hal yang patut diapresiasi dari film Exhuma ini. Pertama adalah struktur plot yang rapi. Exhuma berhasil mengeksekusi 2 plot yang berbeda tetapi tidak tumpang tindih membingungkan penonton. Malahan 2 plot ini cukup terkait, seakan-akan Exhuma secara sengaja menggunakan plot pertama sebagai opening—atau malah batu pijakan untuk plot kedua, “gila” dengan unsur sejarah, kebudayaan dan spiritualitas. Selain dua plot yang berbeda tadi, pembagian cerita yang menjadi enam chapter membuat penyusunan ceritanya menjadi lebih rapi dan tertata

Dalam hal historis dan spritual yang dibawakan oleh Exhuma. Bisa diakui film ini betul-betul sangat mendalam risetnya dalam menyusun ceritanya, karena ceritanya menggunakan elemen-elemen seperti lima elemen positif, Naga Biru hingga berbagai praktik shamanisme dan feng shui.

Namun, sedikit disayangkan penjelasan dari berbagai hal yang disebutkan terasa sulit dipahami untuk orang-orang yang tidak familiar dengan hal tersebut. Apalagi ketika masuk di plot keduanya, ada beberapa hal yang kurang tersampaikan dengan baik dan malahan seperti meninggalkan misteri begitu saja tanpa penjelasan. Kekurangan ini adalah titik fatal di film ini, karena filmnya tidak bisa dipisahkan dengan kekuatan mitologinya menjadikan film ini cukup pincang dalam penyajiannya.

Kualitas akting dan karakter

Kelebihan lainnya adalah dari karakter, akting dan dialog dari film ini. Dari segi pemilihan karakter dan pembagunan chemistry antar karakter benar-benar tidak usah diragukan lagi, semuanya on point dan on top. Kim Go-eun yang menjadi dukun muda berhasil menyajikan tarian, lagu, doa dan hal yang berkaitan dengan shaman dengan apik. Perasaan penonton benar-benar ditarik dan dibuat tidak nyaman karenanya. Akting pemain lain pun bisa dibilang tidak kalah juga, mengingat Choi Min-sik yang menjadi ahli fengshui seakan-akan memang sudah menjadi kegiatannya selama bertahun-tahun.

Namun sedikit disayangkan di bagian awal film aksen bahasa Inggris yang kurang natural, mengingat sudah berapa lama keluarga tersebut tinggal di Los Angeles. Selanjutnya adalah dialog-dialog yang tidak begitu banyak tapi cukup berkesan, dialognya bukan tipikal dialog yang penonton sudah tahu apa jawabannya sehingga penonton tetap pay attention dengan apa yang diucapkan. Dan juga paling utama dialog di sini bukanlah sebagai alat untuk memberi tahu penonton melainkan pendamping saja karena film ini berhasil menerapakan “show don’t tell” dengan sangat apik.

Selesai dengan karakter, hal lain yang patut di berikan applause adalah sound effect (SFX) yang membantu membangun atmosfer, apalagi SFX di bagian akhir yang benar-benar “enchanted”. Sedikit disayangkan, visual effect (VFX) dari Exhuma perlu sedikit ditingkatkan. Banyak VFX yang cukup bagus tetapi satu hal yang disayangkan adalah rubah yang terlihat tidak realistis. Selain dari itu VFX bisa diacungi jempol, karena dari sinematik, pemilihan warna ataupun pengambilan gambar semuanya patut diberi apresiasi dan memanjakan mata penonton.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *