Identitas
Buku :
- Judul Buku : Sekali Peristiwa Di Banten Selatan
- Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
- Penerbit : LENTERA DIPANTARA
- Tahun Terbit : 1958 (Pada tahun itu diterbitkan oleh Djawatan Pengerahan Tenaga, Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga, edisi Indonesia)
- Cetakan : ke-8
- Tebal Buku : 132 halaman
- Harga Buku : Rp 49.000,00
“Tidak, kita bersatu dan juga melawan, bahkan menyerang. Ah, Djali, kau berpikir secara dulu juga seperti yang lain-lain. Begini Djali, kalau ada persatuan, semua bisa kita kerjakan, jangankan rumah, gunung dan laut bisa kita pindahkan.” (hlm 76)
“Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat Palembang, Surabaya, Jakarta, Bandung. Dimana-mana sama saja. Dimana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga yang akhirnya yang menang. Itu benar; benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar” (hlm 77)
Menjadi sastrawan yang karyanya sering mendapat kritik sosial, Pramoedya Ananta Toer atau sering disebut Pram memang telah terhitung belasan kali keluar masuk penjara. Karya-karyanya yang dianggap ‘melawan’ pemerintah kala itu sering pula dibredel dan tak muncul lagi dihadapan publik. Beberapa karya Pram yang masih bisa dinikmati para pembaca saat ini diantaranya adalah Tetralogi Buru, Bukan Pasar Malam, Arus Balik, Midah Si Manis Bergigi Emas, Korupsi, Sekali Peristiwa Di Banten Selatan, Panggil Aku Kartini Saja, dan masih banyak lagi. Pada era Presiden Soeharto, lelaki kelahiran 1925 ini pernah juga ditahan karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Buku Hoakiau yang Ia tulis pernah dicabut dari peredaran, dan Ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Meski demikian, Pram banyak mendapat penghargaan dari luar negeri, bahkan harian Time penah menobatkan Ia sebagai “kandidat Asia paling utama untuk Hadiah Nobel”.
Kali ini dalam novelnya berjudul “Sekali Peristiwa Di Banten Selatan”, Pram mencoba mengisahkan “reportase” singkatnya saat berkunjung ke wilayah Banten Selatan dan menuangkannya ke dalam sebuah-dimana Pram menyebutnya dalam Kata Pengantar-‘cerita bacaan’ yang cukup menarik.
Banten Selatan merupakan wilayah subur, tapi rentan penjarahan dan pembunuhan. Wilayah subur tapi masyarakatnya miskin, kerdil, tidak berdaya, lumpuh daya kerjanya. Orang-orang miskin sama dirampoki, dibakari, dibunuhi. Masyarakat yang kata Pram : dipaksa hidup dalam tindihan rasa takut yang memiskinkan. Melalui tokoh utamanya yaitu Ranta, Pram mencoba menghadirkan sosok pahlawan yang rendah hati dan tahan terhadap tekanan dari tokoh antagonis bernama Juragan Musa yang sering berlaku semena-mena terhadap Ia maupun lingkungan sekitarnya. Lewat Ranta pula, hadir sosok yang menggembor-gemborkan semangat persatuan solider yang melumpuhkan ketidakberdayaan, dan melawan ketidakadilan yang selalu berada dipihak mereka, masyarakat miskin.
Pada awal kisah, Pram membawa pembacanya menikmati suasana pedesaan Ranta, Ia menulis dalam sebuah paragraf:
“Langit bermendung. Udara berwarna kelabu. Dari jarak dekat, pegunungan di depan desa itu, yang dirimbuni berbagai pepohonan hutan, berwarna kelabu hitam. Antara sebentar terdengar cericip burung kedinginan. Kadang-kadang angin menderu keras membawa bunyi sayup deburan Laut Hindia…” (hlm 11).
Pembaca lalu diberi jeda dengan dimunculkannya akibat pahit dari rodi yang membuat rakyat kecil menderita, baru kemudian menghadirkan tokoh utama Ranta, dengan perawakan fisiknya yang tak jauh berbeda dengan orang-orang lain yang banyak bekerja keras namun tak diimbangi dengan makan yang baik. Pakaian selalu lusuh dan kumal. Demikian penggambaran Ranta diawal cerita.
Beberapa saat kemudian, datang Juragan Musa, memberi tanda bahwa kisah ini benar dimulai. Juragan itu datang dengan pongah, dengan maksud membutuhkan Ranta untuk mendapatkan bibit karet kembali. Beberapa kejadian tak dapat dicegah, hingga pada suatu waktu, disebabkan karena Juragan Musa, tersengat harga diri Ranta ketika selalu diminta mencuri bibit karet dan mengupahnya dengan pukulan rotan. Tak ada upah layak yang Ranta dapatkan selain itu, dan ancaman bahwa Ranta akan dilaporkan karena sudah mencuri bibit karet. Runtutan ketidakadilan membekas pada Ranta. Tanah direbut dan hasil panen pernah dirampas karena meminjam hutang. Muncullah keberanian Ranta untuk melawan perlakuannya itu. Berkali-kali sudah terjadi dan kali ini Ranta tak ingin merasainya lagi.
“Kau sudah dengar sendiri. Aku sudah bosan takut!” (hlm 30).
Apakah yang akan dilakukan Ranta demi melawan perlakuan Juragan Musa? Siapa lagikah tokoh yang membantu Ranta melawan Juragan Musa dan sekutunya? Apa saja kejadian yang berlaku selepas itu?
Meski pernah dibilang tak sebegitu menarik dengan karya Pram lainnya, novel ini layak untuk dijadikan pembelajaran akan arti semangat gotongroyong bagi siapapun. Dalam novel ini pula hadir dua elemen penting masyarakat yaitu Komandan, yang merepresentasikan keadaan militer saat itu, dan DI atau Darul Islam yang direpresentasikan menjadi musuh masyarakat. Pram memang tidak pernah kehabisan cara untuk menyuntikkan rasa kuat kepada yang lain untuk melawan ketidakberdayaan dan rasa takut berlebih akibat dari sistem kolonialisme melalui medium yang ada. Novel ini juga mampu dijadikan metafor dari rasa solider yang direproduksi secara terus menerus yang juga dimiliki bangsa Indonesia bernama gotongroyong. Selamat Membaca!
Penulis: Nibros Hasani (Reporter LPM DinamikA)