Sumber Foto Sampul: Goodreads.com
Oleh: Zakya Zulvita Salsabila
Identitas Buku:
Judul Buku: Bumi Manusia
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: Cetakan ke 17, Januari 2011
Tebal Buku: 535 hal
Bumi Manusia
Siapa yang masih asing dengan dua kata tersebut? Bumi Manusia, yang sempat menggegerkan Indonesia pada 2019 lalu berkat film yang dibintangi oleh Iqbal Ramadhan dalam sinema garapan Hanung Bramantyo. Film yang merupakan adaptasi dari novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer, atau yang sering disebut Pram.
Novel Bumi Manusia termasuk salah satu dari “Tetralogi Pulau Buru”. Tiga seri lainnya berjudul Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang ditulis oleh Pram saat ia berada dalam bui penjara akibat keikutsertaannya dalam Lekra yang saat itu dianggap berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Minke dan Perjalanan Manusia
Sosok berkulit sawo mateng khas prawakan kulit Jawa tersebut, tampak kontras dengan sejawat Eropanya yang kini duduk di samping dalam Dokar itu. Orang-orang menyebutnya Minke, tokoh utama dalam alur cerita ini.
Nama yang aneh untuk kalangan Eropa, Indo, dan Pribumi. Pria yang masih menempuh pendidikan di Hoogere Burger School (H.B.S) tersebut sangat menyukai hal-hal yang berbau dengan Ziografi percetakan, tak heran ia sangat menyukai kepenulisan dan telah banyak mengirimkan tulisannya di penerbitan.
Hidupnya normal-normal saja sebelum kisah itu terjadi, kisah yang bermula pada pertemuannya dengan seorang dara cantik keturunan Eropa bernama Annelies, dengan seorang gundik pribumi yang dikenal dengan Nyai Ontosoroh pemilik Boerderij Buitenzorg. Ditangan Nyai Ontosoroh ini, Annelies dididik dengan ketangguhan dan menjadi sosok pekerja keras yang mampu memegang seluruh jalannya pekerjaan di perusahaan miliknya.
Pertemuan tidak sengaja itu terjadi di kediaman Annelies yang begitu tersohor diantara penduduk Wonokromo dan Surabaya.
Menjadi yang pertama rumah besar milik Nyai Ontosoroh didatangi seorang tamu sejak 5 tahun yang lalu, Saat perselisihan antara Nyai dengan Herman Mellema- Ayah Annelies. Dua tamu itu mengenalkan diri mereka, Minke dan Robert Suurhof. Robert Suurhof yang menemui Robert Mellema– anak sulung Tuan Mellema dan Minke yang diterima Annelies sebagai tamunya. Pertemuan singkat itu berakhir panjang saat kedekatan Minke dan Annelies didengar oleh Nyai Ontosoroh.
Bukan hanya di situ, perasaan antara keduanya juga menguatkan untuk terus bertemu dan berkomunikasi dalam mengenal satu dengan lainnya. Dibawah pengawasan Nyai Ontosoroh mereka menjalin hubungan, dan dari kedekatannya dengan Annelies, ia dapat melihat dan mempelajari bagaiman sistem di Boerderij Buitenzorg berjalan.
Dari situ ia ketahui bahwa Nyai Ontosoroh begitu mandiri dan giat dalam bekerja, yang belakangan nanti ia ketahui hal itu adalah upaya untuk Nyai meredam ketakutan terbesarnya. “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.” Ucap Nyai Ontosoroh saat pertemuan pertama mereka di ruang belakang (hal. 59).
Dan di tengah kedekatannya dengan Annelies dan Nyai Ontosoroh, penangkapan itu datang. Penangkapan yang terjadi di pagi-pagi buta dan mengagetkan seisi rumah itu terjadi di kediaman Nyai Ontosoroh saat Minke menginap di rumahnya. Oleh Kepolisian Agen B, Minke dibawa tanpa kejelasan atas kesalahannya. Hanya berpegangan surat kuasa mereka membawanya keluar dari kediaman Nyai Ontosoroh. Minke juga tidak dapat melawan saat akhirnya ia di bawa menuju kota B (Pram tidak menjelaskan nama kota yang dimaksud).
Heran dan keheranan bermunculan di kepala Minke saat ia diantarkan untuk bertemu Bupati B. “Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. God! Urusan apa pula? Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskah merangkak di hadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untuk orang yang sama sekali tidak kukenal?”(hal 179). Dan terjadilah hal terkutuk itu, ia harus melepas alas kakinya saat memasuki kantor kabupaten dan berjalan dengan lututnya sekitar 10 meter untuk menghadap bupati. Sumpah serampah ia umpat untuk tradisi yang menciderai pendidikan Eropanya.
Tersungkur ia di hadapan Bupati B dengan penyesalan. Dan saat itulah ia ketahui Bupati B itu adalah ayahnya yang akan mengadakan pesta dengan para petinggi. Minke sebagai siswa H.B.S. juga anak terpintar di keluarganya diminta ayahnya menjadi penerjemah dalam pertemuan pembesar itu.
Hari itu datang, dimana ia dimintai untuk menjadi penerjemah. Dengan berpakaian adat Jawa lengkap juga blangkon yang dikenakannya di atas kepala, ia menerjemahkan setiap Tuan Assisten Residen selesai berpidato juga setiap ayahandanya selesai berpidato ia terjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Belanda. Ia yang dijadikan jembatan untuk keduanya dan menjadi pusat perhatian dalam pertemuan itu. Sampai Tuan Assisten Residen menyampaikan kebanggaannya pada Minke dan memberikannya undangan untuk datang ke kediamannya.
Setelah pertemuan itu selesai, tiba-tiba banyak surat undangan yang datang, tapi tak ada yang digubrisnya. Undangan dari Tuan Assisten Residen Herbert de la Croix’ ternyata memberikan dampak bagus untuknya. Ayah dan Bundanya sudah tidak pernah menggugat persoalannya dengan Nyai Ontosoroh. Dalam pertemuan itu ia bertemu dengan anak-anak Tuan Assisten Residen, Sarah dan Miriam de la Croix’ yang ternyata lulusan dari H.B.S. juga yang kemudian waktu sering mengirimkannya surat untuk berkabar.
“Mungkin kau bisa jadi orang penting. Kau bisa jadi pemuka, perintis dan contoh bangsamu. Harusnya kau sebagai terpelajar, sudah tahu bangsamu sudah begitu rendah dan hina. Pribumi yang harusnya memulai sendiri.” Ucap tuan besar dalam pertemuan undangan itu (hal 220).
Wonokromo dan Boerderij Buitenzorg
Minke yang diminta tinggal menetap di rumah megah milik keluarga Mellema, sejak Annelies sakit parah, mengharuskannya merawat dan menjadi Dokter dari kerinduan Annelies kepadanya, Disaat ia pun sama sakitnya dalam memikul beban kerinduan pada Annelies.
Banyak gunjang-ganjing yang tersebar di Wonokromo mengenai dirinya yang tinggal di kediaman Nyai Ontosoroh dan kejadian yang menyertainya. Berbagai perencanaan Robert Mellema untuk menghabisi nyawa Minke, mulai dari Darsam- pengabdi setia Nyai Ontosoroh, hingga si gendut (red: Gambaran dari Minke) yang tidak ia kenali terus menguntitnya sejak pertama kali ia tiba di Wonokromo setelah kepulangannya dari B.
Semenjak Minke dekat dengan Annelies, Robert Suurhof menjauhinya. Belakangan Minke ketahui, Suurhof menginginkan Annelies dengan dalih mengajaknya waktu itu hanya untuk perbandingan. Bahwa pribumi tidak lebih unggul dari Eropa. Bukan hanya itu, Suurhof juga memprovokasikan keburukannya di lingkungan sekolah. Bahkan nama pena yang selama ini ia sembunyikan, Suurhof sebutkan dalam diskusi umum kelas (red: Max Tolleenar).
Sebelum persoalan di Wonokromo, sahabatnya- Jean Marais sempat mengingatkannya tentang pilihan yang harus ia tentukan “Kau terpelajar, coba bersetia pada kata hati. Kau pun termasuk terpelajar pribumi pertama-tama. Perbuatan baik dituntun dari kau. Kalau tidak, terpelajar setelahmu akan tumbuh lebih busuk dari kau sendiri.” (baca hal. 274). Dan itu semua yang ia pilih, permainan yang mesti ia selesaikan hingga tuntas.
Persoalan di H.B.S. berlanjut dan mengancam kelulusannya di kelas akhir. Sampai Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda itu mencoba menggali terkait kebenaran kabar miring itu. Dibawanya Magda Peters kepada Nyai Ontosoroh untuk melihat langsung kebenaran yang ia sampaikan.
Ketegangan antara pengajar sudah sedikit redam, meski di kelas teman-temannya enggan untuk mendekat dan direktur sekolah mengancam akan mengirim surat kepada orang tuanya.
Persoalan surat yang akan dikirim ke orang tuanya, tak dihiraukan Minke. Malah dalam waktu berdekatan, panggilan dari Direktur- Kepala Redaksi- Penanggung jawab koran ingin bertemu dengannya. Tuan Maarten Nijman namanya, ia tawarkan pada Minke untuk menjadi pembantu tetap dalam redaksi. Dengan artian Minke dibebaskan untuk menulis apa saja yang ia kehendaki dan dikirimkan ke redaksi. Tawaran itu tidak disia-siakan olehnya, dengan Senang ia rayakan untuk dirinya.
Rumah Plesir dan Ambang Kehancuran
Berawal dari Darsam yang berlari mengejar si gendut, sampai tibalah mereka, Darsam, Minke, Annelies dan Nyai di rumah Plesiran milik Ah Tjong. Seorang terlungkup mereka temui dalam rumah plesir itu, tampak tak asing untuk mereka. Herman Mellema-Ayah Annelies yang tak bernyawa juga Robert Mellema yang saat itu lari tunggang langgang saat melihat Darsam. Kejadian itu sungguh mengejutkan Wonokromo. Sampai perkara itu harus dibawa ke pengadilan dan menyeret penghuni Boerderij Baitenzorg juga Ah Tjong yang harus bertanggungjawab atas tempat kejadian perkara.
Ah Tjong rupanya dalang dari kejadian di rumah plesir, dari kondisi Tuan Mellema yang meninggal tidak wajar dan Robert Mellema yang kini sudah tidak pernah pulang ke rumahnya. Semua terkuak saat sidang berlangsung, dan titik persoalan ada di Maiko. Perempuan Jepang yang menjadi salah seorang pelacur dari bagian rumah itu, yang ternyata mengidap sipilir “Birma” yang tak terobati dan menyerang perlahan juga menyakitkan untuk laki-laki yang terkena. Sudah banyak korban di rumah plesir itu, namun baru ini pelaporan itu terjadi.
Persidangan itu dimenangkan Nyai Ontosoroh, di pihak Minke. Tapi keberuntungan tak selalu miliknya, pihak sekolah merasa keberatan atas kasus skandalnya. Meski lobi-lobian yang sedikit alot akhirnya dapat diselesaikan dan berakhir dengan Minke boleh menyelesaikan sekolahnya dengan beberapa syarat yang diajukan kepadanya. Hari-hari yang menyertainya dekat-dekat itu bersifat baik, dari kelulusan yang memperoleh peringkat terbaik ke 2 dan pernikahan yang digelar besar-besaran dalam sejarah Wonokromo.
Enam bulan sudah terlewati, banyak kejadian dan surat-surat dari luar yang datang. Sampai kejadian yang harus terjadi: Annelies dipanggil bersama Nyai menghadap pengadilan putih. Siapa yang tidak was-was mendengar pengadilan. Pengadilan milik Amsterdam, milik Eropa.
Yang dikhawatirkan Nyai Ontosoroh sejak dulu telah datang, Maurits Mellema dan Ibunya- Istri Sah Herman Mellema mengajukan atas hak kepemilikan harta Tuan Mellema, termasuk Annelies yang menjadi anak waliannya. Nyai tak habis pikir dengan semua yang terjadi, perjuangannya selama ini harus hilang dengan semudah itu. Bahkan anak yang ia besarkan dengan sepenuh hati harus diakui oleh orang lain.
Marah redam nyai rasakan saat harus berurusan dengan hakim yang tak punya hati itu.
Advokat Nyai datangkan, biarpun yang termahal tidak ia permasalahkan asal persidangan ini bisa dimenangkan. Minke terpekur melihat nasib di depan matanya. Tiba-tiba ia teringat tentang “radikal” yang menghendaki keringanan terhadap penderitaan pihak pribumi yang dijelaskan Magda Peters, andai saja gurunya itu masih ada didekatnya pasti ia mau membantu dan menjelaskan dengan senang hati untuk menemukan petunjuk.
Annelies kembali harus merasakan tidur panjang dan dalam kungkungan pengadilan, Minke getol menyuarakan keadilan melalui tulisannya. Tulisannya tentang Pelanggaran Hukum Islam oleh Pengadilan Putih dengan bahasa Belanda dan S.N. v/d D dalam bahasa Sunda terbit bersamaan dengan tilgram dari Tuan Assisten Residen B yang akan mengirimkan Advokat dan Tuan Martin Nijman juga datang untuk menawarkan bantuan atas kasusnya.
Tak lama dari itu Kommer- sahabat Eropa Minke, datang. Ia menyampaikan bahwa ia telah menyebar 15 orang di kampung untuk membacakan tulisannya pada para penduduk. Esoknya banyak para ulama’ Islam datang ke pengadilan Eropa di Surabaya, memprotes keputusan pengadilan Amsterdam dan pelaksanaannya oleh pengadilan Surabaya. Namun aksi itu sia-sia, para ulama itu diusir oleh pihak kepolisian.
“Baik, mama, yang tertinggal sekarang hanyalah pena,”ucap Minke (hal. 509). Menulis yang bisa Minke kerahkan, dengan bantuan Kommer tulisan itu ia terjemahkan dan disebarluaskan. Lambat laun perjuangan itu membuahkan hasil, Mahkamah Agung di Surabaya mengeluarkan pernyataan bahwa pernikahan Minke dan Annelies Sah dan dapat dipertanggung jawabkan, tidak dapat diganggu gugat.
Percobaan perlawanan sudah mereka coba dengan semaksimalnya, hingga surat itu datang. Panggilan ke dua datang untuk Annelies, namun diwakilkan oleh Nyai dan Minke. Hakim meminta Annelies segera untuk bisa dibawa oleh kapal menuju Eropa. Dalam keadaan sakit Annelies harus tetap dibawa oleh mereka. Obat bius yang selama ini diberikan Dokter Martinet dan semua pengobatannya ternyata melebihi kapasitas dalam diri Annelies, dan Jantungnya lah yang kini menjadi jaminan atas dosa darah dokter sialan itu.
Ya, mereka kalah oleh hukum yang tunduk dengan surat itu tanpa ada belas kasihan.
Mereka kalah untuk mempertahankan Annelies bersama mereka. Mereka telah mengerahkan semua semampu mereka tapi mereka tetap tidak mampu mengalahkan hukum Eropa itu, karena mereka pribumi yang tidak memiliki lindungan hukum di negerinya sendiri.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (hal. 535) ucap Nyai Ontosoroh membersamai kapal yang membawa Annelies berlayar. Bersambung….