Sumber Foto: Fae Pictures.
Oleh: NHL Jingga/Kontributor
Tahun ini adalah kesempatan pertama saya mengikuti semarak ajang festival film tahunan Jakarta World Cinema (JWC). Sayangnya, saya harus berpuas diri mengikuti JWC secara daring. Walaupun hati sempat jengkel karena adanya perbedaan antara line-up film yang ditayangkan luring dan daring, tetapi saya tetap menikmati film yang saya tonton: In Flames.
Tidak banyak ekspektasi yang saya pasang, saat memilih film yang menjadi wakil Pakistan untuk Best International Feature Film pada ajang 96th Academy Awards tersebut. Saya memilihnya hanya karena durasinya tidak lebih dari 100 menit. Mungkin juga karena saya penasaran seperti apa gambaran film horor dari negara Malala Yousafzai itu.
Zarrar Kahn sebagai sutradara, membuka film dengan scene suasana rumah duka paska seorang ayah yang mangkat purna dikebumikan. Para kerabat datang untuk melayat. Doa serta harapan banyak dilangitkan. Sang ayah meninggalkan seorang istri, anak perempuan yang sedang mengenyam pendidikan untuk menjadi dokter, serta anak laki-laki yang masih duduk di bangku SMP. Sampai sini, saya mengira sang ayah akan menjadi arwah penasaran yang menghantui keluarganya.
Sehari setelah ayahnya meninggal, Mariam–sang anak perempuan sekaligus calon dokter–berangkat ke perpustakaan umum seorang diri untuk belajar. Mariam menuju perpustakaan dengan menaiki mobil rombeng keluarganya. Di tengah perjalanan, mobilnya dilempari batu oleh orang yang tidak dikenal.
Sesamapainya di perpustakaan, dia bertemu dengan salah seorang teman dan sepupunya—Asad. Sosok Asad lah yang nantinya akan memberi penghiburan bagi Mariam. Singkat cerita, Mariam sering menghabiskan waktu bersama Asad. Lalu, seperti peribahasa Jawa–witing tresna jalaran saka kulina–keduanya menjalin hubungan lebih dari sekadar teman.
Mariam dan Asad semakin dekat, hingga keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu di sebuah pantai. Sampai sejauh itu, hanya ada satu scene horor yang menampilkan ‘hantu sang ayah’. Saya mulai merasa sang sutradara salah menuliskan genre filmnya. Bagi Mariam dan Asad yang sedang dimabuk cinta, kebahagiaan mereka di pantai begitu sempurna. Tetapi sayang, hal itu harus terhenti setelah di perjalanan pulang keduanya mengalami kecelakaan. Asad tak sadarkan diri dan Mariam meninggalkannya di tengah kesunyian jalan di daerah Karachi. Setelah scene tersebut, ekspektasi saya terhadap label horor pada In Flames yang sempat terpuruk, berhasil meroket lagi. Paling tidak akan ada dua “hantu gentayangan”, begitu pikir saya.
Menemukan “Horor” (Lain) dalam Film In Flames
Kehororan demi kehororan mulai terjadi setelah peristiwa kecelakaan Mariam dan Asad. Mariam mulai sering berhalusinasi, melihat sosok yang ia kira Asad. Mariam pun bermimpi buruk dikejar bayang-bayang kekasih yang menjelma hantu buruk rupa, hingga akhirnya penyakit asma yang dideritanya kambuh. Di tengah teror kehororan itu, ia masih jadi korban seorang pemuda eksibisionis yang merancap di bawah balkon rumahnya. Sungguh kesialan bertubi-tubi.
Tidak kuat melihat anaknya menderita, sang Ibu—Fariha–mulai berupaya memberikan pertolongan medis dan non-medis. Seperti di Indonesia, di Pakistan pun ada beberapa orang yang percaya pada pertolongan ‘orang pintar’. Menurut saya, sesi pengobatan Mariam kepada ‘orang pintar’ adalah scene paling horor di film In Flames. Sakit dan tak berdaya, Mariam pasrah ‘diobati’ oleh si ‘orang pintar’. Saya ikut merasakan kejengkelan Mariam yang tidak bisa berbuat apa-apa, saat tabib gadungan itu menjilat tangan Mariam sebagai salah satu rangkaian ‘pengobatan’. Namun, kejengkelan itu berubah menjadi rasa marah saat tahu Mariam tidak memiliki tempat untuk meluapkan rasa jijik, takut dan geramnya.
Mariam dan sang ibu tidak hanya tertimpa satu tangga setelah mengalami kejatuhan. Ada saja hal-hal berengsek yang terjadi pada hidup mereka. Tidak cukup ketakutan dikuntit hantu dan trauma masa lalu, mereka masih harus berjuang melawan seorang kerabat yang manipulatif. Paman Mariam—Nasir–memanfaatkan hati rapuh Fariha dengan berpura-pura menjelma menjadi ksatria gagah berbaju zirah. Nasir yang berlagak baik hati memberikan banyak bantuan, ternyata hanya mau mengambil rumah warisan keluarga Mariam.
Selesai menamatkan In Flames, saya baru sadar bahwa dalam film ini, kehororan tidak ditampakkan dalam wujud jembalang, hantu, maupun setan. Tidak ada festival jumpscare dari lelembut mengerikan dalam film ini. Saya yakin film horor Indonesia masih lebih unggul menampilkan hal tersebut. Horor yang diceritakan oleh Zarrar Kahn bahkan lebih mengerikan dari pada segala rupa hantu yang pernah ada. Kehororan nampak dari bagaimana tidak ada ruang aman bagi perempuan. Di tengah kelelahan yang tak mau lepas memeluk tubuh, perempuan masih harus bertahan dari kekerasan yang dilakukan orang terdekat dan sikap patriarki yang diwajarkan di lingkungannya. Tugas kita saat ini adalah menciptakan ruang aman bagi semua orang—telebih untuk perempuan.