Sumber foto: soundcloud.com
Oleh: Destian Wirda
Senada dengan refleksi 25 tahun reformasi Indonesia, kita mengingat betapa tragisnya hal-hal yang terjadi pada tahun 1998 silam. Demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada waktu itu, meninggalkan luka yang mendalam bagi bangsa tercinta ini.
Penculikan aktivis, penurunan Presiden Soeharto, serta pembunuhan misterius menjadi bukti sejarah kegagalan demokrasi di Indonesia. Memang, banyak kejutan yang terjadi setelah itu. Banyak tokoh masyarakat, politikus, musisi, ingin mengenang orang-orang yang memperjuangkan hak demokrasi dan keadilan. Berbagai karya telah tercipta dari mereka dan masyarakat enggan untuk melupakannya.
Efek Rumah Kaca, salah satu dari sekian banyak musisi Indonesia yang menginginkan keadilan lewat prestasi yang mereka sajikan. Siapa yang tak kenal dengan grub band indie tersebut? Mereka adalah musisi legendaris dengan segudang revolusi. Karya-karyanya yang sangat mencuat membuat masyarakat ikut merasakan sentuhan lewat lagunya. Efek Rumah Kaca atau biasa disapa dengan EFK, memang terbilang berani menyampaikan aspirasi di berbagai albumnya. Hampir semua lagunya bertema krisis sosial. Grup band ini terdiri dari Cholil Mahmud (vokal utama, gitaris), Poppie Airil (vokal latar, bassis), Akbar Bagus Sudibyo (drummer, vokal latar), dan Reza Ryan (gitaris).
Salah satu karyanya, dengan judul “Di Udara” menjadi lagu ketujuh dalam album debut eponim mereka. Lagu ini dibuat untuk mengenang salah satu aktivis penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib. Lewat lagu ini, EFK ingin menceritakan bagaimana perjuangan Munir menanggapi berbagai masalah sosial, terutama pada HAM. Lagu bergenre pop ini, dirilis pada tahun 2007. Dengan harapan, dapat menyebarluaskan keteladanan Munir sehingga nilai-nilai yang dibawanya juga bisa sampai ke khalayak yang lebih luas.
Munir Said Thalib adalah aktivis terhormat di kalangan masyarakat. Ia menjadi pelopor dalam demonstrasi akibat penghilangan paksa terhadap 24 aktivis politik dan mahasiswa pada tahun 1997 dan 1998. Akibat insiden itu, Munir memiliki banyak musuh terutama di kalangan militer dan intelejen. Jendral Muchdi Purwopranjdono, bekas Kepala BIA (Badan Intelejen ABRI) di bawah Jendral Hendropriyono, menjadi salah satu pihak yang membenci Munir. Munir berhasil mengungkap keterlibatannya dalam kasus penculikan aktivis mahasiswa pada tahun 1998.
Dalam kasus Munir, Jendral Muchtar dianggap menjadi tersangka utama karena diduga memiliki dendam terkait kasus penculikan aktivis oleh tim Mawar. Pada tanggal 31 Desember 2008, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchdi dari segala dakwaan.
Sementara itu, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang diduga mencampurkan arsenik ke dalam makanan Munir, hanya divonis selama 2 tahun. Hukuman tersebut justru tidak ada kaitannya dengan pembunuhan Munir. Melainkan disebabkan hal lain, yaitu pemalsuan surat. Kecurigaan muncul ketika Pollycarpus berada di pesawat yang sama dengan Munir, bahkan ia bertukar tempat duduk dengannya.
Pada tanggal 6 September 2004, Munir sempat berpamitan dengan keluarganya di Jakarta dan mengadakan syukuran. Sebelum keberangkatan Munir, istrinya yang bernama Suciwati sempat ditelepon oleh orang asing. Ia menanyakan status apakah Munir sudah berangkat atau masih berada di rumah. Tak disangka, orang asing tersebut adalah Pollycarpus yang tak lain merupakan orang yang menawarkan tempat duduknya pada Munir.
Munir terbang ke Amsterdam dengan pesawat Garuda dengan nomor GA-974 untuk menempuh pendidikan Master di bidang Hukum Humaniter.
Namun naas, Munir meninggal di atas pesawat dua jam sebelum ia mendarat di bandara Schipol, Amsterdam, Belanda. Untungnya, pihak bandara sempat melakukan proses pemeriksaan selama 20 menit setelah pesawat mendarat. Saksi yang melihat mengatakan, Munir mengalami diare dan muntah-muntah yang mengharuskan dia bolak balik ke kamar mandi.
Sepekan setelah kematian Munir, Suciwati beserta rekan kerjan Munir yang terlibat dalam pergerakan Munir, diteror oleh orang yang tidak dikenal. Mereka mengirimkan bangkai ayam beserta surat ancaman. Di dalamnya tertulis “Awas!! Jangan libatkan TNI dalam kematian Munir atau menyusul seperti ini.” Sangat aneh bukan?
Kejadian mengerikan yang dialami oleh Munir, menggungah hati EFK untuk mengenangnya lewat lagu.
Lagu yang dirilis pada tahun 2007 ini, kerap dinyanyikan dalam event-event penting, kegiatan demonstrasi maupun sekedar mendengarnya. Film dokumenter Garuda’s Deadly Upgrade, yang dibuat oleh David O’Shea (video jurnalis dari Program Televisi DATELINE – SBS TV, Australia) dan Lexy Junior Rambadeta (Offstream Production, Komunitas Media dan Dokumenter), menjadi salah satu faktor utama EFK mengeluarkan album “ Di Udara”. EFK mengaku, pembuatan lagu terjadi setelah ia menonton film tersebut.
EFK memang menggunakan kata-kata yang puitis untuk menggambarkan seorang Munir. Sangat jelas, ketika mereka menggunakan kata diancam, disingkirkan atau bahkan mati, yang berarti semangat Munir tak akan pernah mati. Dikutip dari kojtienk.wordpress.com, pada bait pertama lagu, EFK seakan mengajak pembaca untuk merasakan hal yang sama pada Munir.
Mereka menjelaskan bagaimana keadaan lingkungan Munir yang hidupnya dipenuhi dengan otoritas dan beradu dengan mau. Namun, adanya gertakan, ancaman, sampai tindakan yang bisa oleh para otoriter tidak membuatnya berhenti sampai kapanpun. Pada akhir lagu, EFK menggambarkan Munir sebagai sosok yang tidak takut apapun. Ia tetap menjadi Munir yang dikenal sebagai aktivis HAM.
Di Udara sangat cocok diperdengarkan dalam perjalanan, kemerdekaan, dan berbagai macam kegiatan di luar unjuk rasa. Lagu ini merupakan pilihan tepat pemuda pemudi Indonesia merayakan refleksi 25 tahun reformasi. Melalui ini, kita kembali pada tahun 1998, ketika Munir berpidato di hadapan para demonstran.
Munir, Tonggak Suara Rakyat
Munir lahir pada tanggal 8 Desember 1965 tepatnya di Batu, Malang, Jawa Timur. Ia mengambah dunia perkuliahan di Universitas Brawijaya Fakultas Hukum. Munir memulai karirnya sebagai pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada awal tahun 1990-an awal selama 2 tahun di Surabaya. Namun, ia memutuskan untuk kembali ke Malang dan mencoba bekerja LBH Surabaya di daerah itu.
Selain itu, Munir juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Munir bertemu Suciwati, istrinya, yang saat itu memimpin serikat buruh setempat. Ketika pemogokan, Suciwati ditangkap dan Munir menjadi pengacaranya.
Tak asing lagi dengan nama Munir, ia sangat dikenal dengan keberanian untuk memperjuangkan hak manusia. Sehingga ia mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dengan tujuan dapat membantu menangani kasus orang hilang dan tindakan kekerasan. KontraS resmi berdiri pada 20 Maret 1998 masa pemerintahan Orde Baru.
Orang berdarah Hadhrami dan Jawa ini, telah menangani berbagai bentuk kekerasan di sudut daerah Indonesia lewat KontraS. Seperti Aceh, Papua, serta konflik horizontal di Maluku, Sampit , dan daerah lainnya.
Semasa menempuh sarjana di Malang, Munir memang sudah aktif di organisasi kampus antara lain Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, serta Himpunan Mahasiswa Islam. Ia juga menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Selain KontraS, Munir juga menjadi salah satu pelopor terbentuknya Imparsial pada Juni 2002. Sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk penghormatan dan penegakan HAM di Indonesia. Bersama 17 rekan lainnya, Munir memberikan prestasi besar terhadap penegakan HAM seperti di Papua dan Aceh.
Seorang Munir tak segan untuk menyuarakan siapa saja yang melakukan pelanggaran HAM. Banyak tragedi yang memunculkan semangat Munir untuk berkobar. Seperti tragedi Tanjung Priok (1984), kasus pembunuhan Marsinah (1993), dan penculikan aktivis (1997-1998). Akibatnya, Munir memiliki banyak musuh terutama di bidang militer dan intelejen.
Sampai pada akhirnya, ketika Munir akan melanjutkan studi ke Belanda, kemalangan terjadi padanya. Dua jam sebelum ia mendarat di Amstersam, racun arsenik mulai mendarah di tubuhnya. Pollycarpus Budihari Priyanto , seorang pilot yang pernah dikenalnya dan Jendral Muchdi Purwopranjdono, bekas Kepala BIA (Badan Intelejen ABRI) di bawah Jendral Hendropriyono, diduga sebagai tersangka kasus percobaan pembunuhan.
Namun meskipun Munir telah tiada, semangat yang berkobar kala itu masih mengalir sampai sekarang. Tidak ada satupun masyarakat yang ingin melupakan Munir. Berkat perjuangannya, banyak tokoh masyarkat, ahli politik, penyanyi, musisi, mendedikasikan Munir lewat karya.