Sosok Yohanes Ande Kala (Joni) yang sempat dijanjikan 3 permintaan oleh Jokowi pada 2018 lalu. (Sumber Foto: setneg.go.id)
Oleh: Fadlan Naufal R.
“Kamu itu jauh-jauh dari Pelu ke Jakarta hanya minta sepeda, apa hanya itu? Mau minta apa? Pengen jadi apa? Pengen jadi tentara? Ya sudah nanti langsung daftar ke Panglima, langsung diterima kamu. Sudah, ya, jaga kesehatan, kesehatan jaga semua, ya. Dah, silakan duduk.”
Begitulah janji Jokowi kepada Joni–bocah asal Nusa Tenggara Timur (NTT), pemanjat tiang bendera yang talinya lepas. Aksi heroik Joni sempat disaksikan para awak media di Istana Negara, enam tahun silam. Kalian dapat melihatnya dalam video Joni Minta Sepeda & Rumah ke Jokowi; Cerita Joni Pada Presiden Jokowi Sebelum Panjat Tiang Bendera di kanal YouTube CNN Indonesia.
Andai saya adalah Joni pada waktu itu, dengan usia sedini itu pula, saya pun pasti akan sangat terkagum pada Presiden yang terlihat amat baik hati. Bagaimana bisa dia membiarkan saya meminta hal-hal kesukaan saya? Juga hal yang kaitannya dengan kelanjutan hidup saya, cita-cita saya secara cuma-cuma? Ironinya, ketika dewasa saya dihadapkan dengan realitas bahwa itu hanya kalimat dari pembentukan citra oleh seorang presiden saja. Betapa hancur saya, saat membayangkan saya adalah Joni yang menerima−sebut saja−janji hampa 2018.
Saya mulai berpikir menulis artikel ini saat melihat video terbaru Joni, isinya pengakuan Joni yang gagal di penyeleksian Tentara Nasional Indonesia (TNI). Saya termangu dan agak kesal. Siapa juga yang tidak kesal? Minimal iba saat mendengar isu seperti itu. Dalam video enam tahun lalu, Joni mendapatkan−sebut saja−golden ticket masuk TNI. Lantas, enam tahun telah berlalu dan kini jejak digital berbicara dengan lantang atas kebohongan yang telah menimpa dirinya. Alih-alih mendapatkan baju loreng yang diidamkannya, ia hanya dapat hikmahnya saja. Ia gagal tahun ini, berencana untuk coba mendaftar lagi di kesempatan selanjutnya.
Bagi saya, kasus ini terlalu jelas memperlihatkan bahwa janji itu telah dibiarkan basi dan berlalu begitu saja. Sekarang patutlah kita pertanyakan: apakah janji pada seorang bocah penerus bangsa adalah hal ringan dan pantas diabaikan? Adakah hal tersebut cuma jadi ajang menebar citra presiden ‘yang baik’ semata, dengan memberi penghargaan pada aksi heroik si kecil Joni? Kalau bukan, lantas mengapa yang terjadi malah sebaliknya? Joni gugur dalam seleksi. Peduli setan dengan tinggi badannya kurang. Janji adalah hal sacral yang seharusnya dijaga, apalagi sebagai seorang presiden. Apalagi, menyangkut harapan anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Melihat dari video sebelumnya, saat ditanya pertama kali, Joni hanya meminta sepeda dan disediakan rumah yang layak untuk keluarganya. Tapi, Presiden Indonesia−yang katanya baik hati−masih menyodorkan kebolehan meminta. Sedikitnya, ada 3 permintaan yang secara cuma-cuma diperbolehkan padanya. Nyaris seperti aksi Jin di beberapa iklan Djarum 76−yang dengan senang hati akan memenuhi permintaan lawan bicara yang dihendakinya. Kurang lebih terdengar seperti bapak yang hendak memberikan hadiah terbaik kepada anaknya, yang baru saja mendapat juara lomba manca negara. Sstt.. jangan keras-keras. Kali ada bedanya, janji yang ini tak dipenuhi.
Terpisah, komentar warganet pun tidak selamat dari kemarahan ini. Mereka tak objektif pada janji seorang presiden yang tak ditepati. Tidak pula objektif pada pupusnya harapan seorang anak yang diberi janji bertahun lalu. Kalau mereka pro pada Presiden Jokowi dalam hal ini, bagi saya mereka juga sama saja: membela bapaknya yang gagal menepati janji.
Hal yang ingin penulis sampaikan ialah, meski kasus ini sedikit senada dengan kasus nepotisme, tetap saja kita tidak bisa mengabaikan perasaan seorang bocah SMP dengan harapan barunya−bahwa suatu saat ia akan menjadi seorang TNI melalui golden ticket atas aksinya menyelamatkan upacara bendera saat berumur 13 tahun. Ini adalah janji presiden kepada seorang bocah bertumbuh−yang kalau diamati, bocah tersebut awalnya tidak sempat memikirkan−akan mendapatkan golden ticket masuk TNI dari presiden yang spontan ia kagumi. Golden ticket yang ternyata hanya daun kuning yang selanjutnya kering.
Dari sini, kita telah melihat bahwa betapa mudah janji dikeluarkan Presiden tanpa menindaklanjutinya. Terkesan lebih berharga bualan seorang yang sedang mabuk−yang dengan pasti kita tahu bahwa ia sedang mabuk. Ini adalah janji seorang Presiden−pemimpin negara tercinta. Janji yang nasib selanjutnya seperti bola voli yang dismash begitu kencang dan tidak dipungut lagi.
Sepintas kasus ini mirip kisah Timun Mas. Bedanya, Timun Mas tidak mau diberikan pada Si Raksasa di usia 17 tahun−Si Raksasa tetap datang saat waktunya tiba. Kalau Joni, diberi janji akan menjadi tentara saat usianya cukup, tapi ternyata janjinya tak jua tiba.
Penulis kira, kalau tidak punya komitmen sedari awal, memberi janji yang begitu manis pada seorang bocah SMP adalah hal yang tidak perlu dilakukan. Belikan ice cream dan naik bianglala saja mungkin cukup. Tak perlu berlebihan, apalagi janjinya adalah masuk tentara dengan mudah, tinggal menunggu dewasa.
Setelah beranjak dewasa, bocah itu terpaksa membuat video penagihan janji. Betapa jatuh harkat dan martabat seorang Presiden dengan kesan baik hati. Anak yang tanpa permintaan lebih pada awalnya, tak menuntut pula bahwa jasanya harus dibayar atau diberi ganti, kini menagih janji−meminta balik harapan yang diberikan kepadanya enam tahun yang lalu.
Membayangkan Menjadi Sang Presiden pada Momen itu
Ini agak sulit, dan rumit. Bagaimana bisa saya membayangkan menjadi seorang Presiden yang lantas memberikan janji semanis itu pada bocah usia 13 tahun? Tapi baiklah, mari kita coba. Dengan aturan saya sendiri tentunya:
Aturan pertama, Saya tidak akan sampai memberikan kalimat, “Mau minta apa? Pengen jadi apa? Pengen jadi tentara? Ya, sudah nanti langsung daftar ke Panglima, langsung diterima kamu, dah, ya”.
Kedua, saya akan membiarkan Joni mencapai cita-citanya tanpa bantuan siapa pun. Mungkin lebih baik memberinya sedikit dorongan kata-kata cap presiden yang bisa cukup untuk dibanggakan saat bercerita pada teman sebayanya. Tak perlu menjadi orang dalam (ordal) bagi dirinya, apalagi hanya jadi ordal palsu yang memberi harapan hampa. Lagian, mengapa ada janji se-mengentengkan itu? Meloloskan seorang anak tanpa bersaing secara sehat dengan kandidat lainnya?
Ketiga, saya cium keningnya.
Keempat, saya tidak akan membelikan dia sepeda.
Kalau memang Bapak adalah Presiden yang mempunyai komitmen, kenapa dan bagaimana bisa Joni tidak lolos dalam proses seleksi? Padahal, sudah mendapatkan ordal yang notabenenya adalah Presiden langsung?