Oleh: Putri Nahdia Nuramalia
Problematika gender sudah menjadi permasalahan sejak lama dalam lingkungan sosial. Marginalisasi perempuan yang menjauhkan kaum perempuan dari aktivitas publik yang mengakibatkan perempuan tidak memiliki pendapatan secara mendiri membuat seolah-olah perempuan sangat tergantung oleh laki-laki.
Stereotipe masyarakat sering kali menganggap bahwa perempuan adalah kaum lemah, emosional, dan irasional sehingga mereka kelompok subordinat laki-laki yang dirasa lebih pantas untuk menjadi pemimpin. Seolah perempuan tak memiliki tempat untuk menunjukkan eksistensinya. Padahal, antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menunjukkan eksistensi di dunia profesional.
Oleh karena itu, banyak perempuan yang menuntut hak-hak kebebasan mereka. Akan tetapi, tentu adanya covid-19 yang memaksa perempuan yang tidak lagi bekerja kembali berkutat dengan pekerjaan domestik.
Dampak Covid-19 Terhadap Perjuangan Hak Perempuan
Pandemi covid-19 memberikan pukulan telak pada perjuangan perempuan untuk haknya. Menurut data global oleh UN Women, perjuangan perempuan untuk menciptakan kesetaraan gender selama 25 tahun bisa sia-sia akibat pandemi covid-19. Ini akan membawa kembali ke stereotipe gender tahun 50-an dimana perempuan harus melakukan pekerjaan rumah tangga.
Fakta bahwa pandemi mengakibatkan perempuan sulit untuk kembali bekerja. Ekonomi dunia yang memaksa untuk banyak pekerja yang berhenti bekerja. Sebagian besar dari pekerja yang terdampak adalah perempuan. Dan akhirnya mereka berakhir berkutat dengan urusan rumah tangga. Hal ini tentu berdampak pada tingkat kembandirian dan kesejahteraan kaum perempuan, terutama dalam hal ekonomi.
Timpangnya Dampak Pandemi terhadap Laki-laki dan Perempuan
Bagaimana dengan laki-laki? Mereka pun juga terdampak. Tapi jika ditilik lagi, walaupun sama-sama bekerja di rumah, bisa dilihat bagaimana berbedanya kegiatan antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dalam keadaan WFH (Work From Home) bisa dengan tenang memiliki waktu untuk mengerjakan pekerjaannya. Dan tentu memiliki jam kerja yang konstan. Tetapi perempuan yang diharuskan untuk mengurus rumah tangga selalu ‘bangun lebih pagi dan tidur lebih malam’. Keadaan ini yang menjadikan beban pekerjaan rumah tangga terhadap perempuan semakin besar. Ditambah dengan beban untuk memutar otak dalam pemenuhan kebutuhan keluarga dibalik ekonomi yang tidak stabil.
Dengan banyaknya pekerjaan rumah tangga, seringkali perempuan kurang memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Akibatnya akan berdampak pada kesehatan mental bagi para perempuan.
Perkerjaan Tanpa Gaji yang Tak Diapresiasi
Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan perempuan sebenarnya sangat berperan dalam menekan pengeluaran layanan rumah tangga. Akan tetapi hal ini seringkali diremehkan dan tak diapresiasi hanya karena perempuan bekerja untuk mengurus rumah tangga. Stigma masyarakat yang menganggap pekerjaan rumah tangga itu merupakan hal remeh dan diperlakukan sebagai sesuatu yang tak perlu dikhawatirkan karena tidak digaji.
Di balik pekerjaan tanpa gaji menjadi pengaman sosial untuk memberikan kesempatan orang lain untuk produktif, malah berdampak terbalik terhadap perempuan. Peluang perempuan untuk bekerja akan mengecil karena harus mengemban urusan rumah tangga.
Perempuan Layak Diapresiasi
Apresiasi untuk perempuan layak dilakukan terutama saat pandemi covid-19 seperti saat ini. Baik untuk para petugas medis perempuan maupun hanya sekedar ibu rumah tangga yang berperan dalam penanggulangan covid-19 di dalam klaster keluarga. Tak hanya itu, perempuan yang bersedia ikut membantu perekonomian keluarga, baik yang ikut bekerja maupun yang menjadi ibu rumah tangga juga pantut untuk mendapatkan apresiasi setimpal dengan pengorbanannya.
‘Women in Leadership: Achieving an Equal Future in a Covid-19 World’ merupakan tema yang diangkat UN Women untuk memperingati Hari Perempuan Internasional tahun ini. Dapat dilihat bahwa tema ini sangat menitik beratkan pada peran perempuan yang ikut andil di meja diskusi dan pengambilan keputusan.
Adanya peringatan Hari Perempuan Internasional ini dijadikan kampanye bahwa perempuan layak untuk mendapatkan hak kebebasan dan kemandirian dalam menentukan hidupnya. Mereka berhak untuk memiliki kehidupan yang layak, damai, serta bebas dari stigma negatif dan kekerasan juga apresiasi yang setimpal atas sumbah sihnya dalam setiap aspek kehidupan.