Senjakala Rawa Pening dalam Hikayat Permasalahan yang Tak Terselesaikan

Sumber Foto: Syahrul

Oleh: Fatah Akrom

Jika Anda adalah muda-mudi Salatiga, wishlist  apa yang Anda lakukan untuk menutup akhir pekan dengan pacar atau teman sejawatmu? Mungkin salah satunya nyore di Rawa Pening atau mberanjang dan mancing. Sore yang lumrah jika rawa dalam keadaan cerah maka sepanjang bibir rawa atau sejalur rel kereta api jembatan biru ramai dengan muda-mudi yang menghabiskan sore hari, landscape ini menjadi nilai jual yang belum tentu didapatkan di kota lain. Segurat senja kemerah-merahan menyelimuti gunung Telomoyo, gunung Ungaran, dan gunung Merbabu. Persawahan hijau membentang di garis sempadan rawa. Eceng gondok dan karamba tumbuh subur di atas danau, menjadi salah satu penopang roda perekonomian ribuan warga sekitar 4 kecamatan di Kabupaten Semarang.

Kejumawaan Rawa Pening tidak hanya terdengar di sekitar Semarang, Ambarawa ataupun Salatiga tetapi potensi pariwisata dan keindahan alam yang besar menjadikan Rawa Pening salah satu dari 15 danau prioritas nasional sebagai langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengembalikan Rawa Pening yang rusak akibat beberapa hal. Keindahan Rawa Pening tidak hadir begitu saja, di situ lahir pula banyak dinamika permasalahan keberlangsungan kehidupan Rawa Pening yang saya rasa sama pentingnya dengan menghabiskan sore di batas sempadan rawa dan yang menjadikan tulisan ini penting untuk di simak.

Di Bawah Bayang-bayang Ketidakpastian Konservasi
Sebuah temuan yang menarik saya temukan di mesin pencarian di gawai saya, laman resmi berita Kompas mengabarkan pada 2010 dengan judul ‘Usia Rawa Pening Tinggal Lima Tahun Lagi’, berita tersebut menyajikan data dari Peneliti Pusat Studi Pengembangan Kawasan Rawa Pening, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Royke R. Sihainenia. Royke memprediksikan secara pesimistis tentang keberlangsungan Rawa Pening yang semakin hari semakin menyusut akibat tingginya sedimentasi dan lahan kritis di daerah tangkapan air. Bukan hanya itu, dari hasil uji laboratorium Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah tahun 2008 terhadap air di sebagian besar sub-Daerah Aliran Sungai (DAS) Rawa Pening didapati kandungan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen), kebutuhan oksigen biologi (Biochemical Oxygen Demand) dan kebutuhan oksigen kimia (Chemical Oxygen Demand) di sejumlah sub-DAS melebihi ambang baku. Artinya kebutuhan oksigen untuk mengolah bahan organik dalam air semakin tinggi. Akibatnya, makhluk hidup di dalam Rawa Pening akan berebut oksigen. Bila terus berlangsung, ikan dalam waduk ini juga tidak akan bisa hidup.

Lalu bagaimana kondisi setelah 12 tahun sejak penelitian itu dilakukan? Memang pengurangan sedimentasi dengan pengerukan lumpur, termasuk pembabatan eceng gondok, dilakukan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juwana bersama Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejak 2017. Ditambah penguatan dengan adanya kerja sama antara Kodam IV/Diponegoro dengan BBWS Pemali Juana tanggal 15 Juni 2021 dalam pelaksanaan revitalisasi Danau Rawa Pening dan saat ini proses pengerjaan telah mencapai 22,82 hektar.

Dalam waktu yang panjang dan terkesan lamban ini muncul lagi sebuah temuan penelitian pada akhir 2021 oleh mahasiswi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKIP) Universitas Diponegoro (UNDIP), Nisrina Septi Haryani. Tentang spesies ikan endemik yang mengalami penurunan, bahkan hanya tersisa tiga jenis ikan saat ini. Penelitian dilakukan pada Maret-Oktober 2021 melalui Penelitian Morfologi, Morfometri dan Keanekaragaman. Tiga spesies ikan endemik yang berhasil dideteksi dari analisa 33 individu yang diperoleh adalah ikan Nilem atau ikan Lumajang (Cycloceilichthys Enoplos), ikan Wader Ijo (Osteochilus Vittatus) dan ikan Wader Bintik Dua (Barbodes Binotatus). Mengacu catatan penelitian tahun 2006, masih ada lima spesies lain yang pernah ada, yaitu ikan Wader Pari (R. Lateristriata), Wader Putih (R. Jacobsoni), Wader Andong (B. Canchonius), dan Wader Cakul (P. Binotatus).

Menyusutnya jumlah ikan endemik di danau yang semula adalah lembah hutan tropik tersebut, mengindikasikan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Merosotnya jumlah spesies ikan endemik yang hidup di perairan air tawar adalah masalah yang serius.

Temuan jenis ikan yang tersisa dalam penelitian jumlah spesies ikan endemik Rawa Pening. (Sumber Foto: Undip.ac.id)

Penelitian di atas dikuatkan lagi dari hasil penelitian lainnya tentang temuan ikan introduksi yang merupakan ikan yang secara sengaja dimasukkan ke dalam suatu ekosistem danau dengan tujuan tertentu yang memiliki nilai ekonomis lebih besar dibandingkan dengan ikan endemik. Namun, introduksi ikan akan menimbulkan dampak bagi keberlanjutan ekosistem. Hal ini akan menjadi permasalahan karena ikan introduksi sering menjadi kompetitor dan predator yang mengakibatkan menurunnya keanekaragaman jenis ikan, dalam artian yang dimaksud ikan endemik akan terampas ruang hidupnya akibat dominasi ikan introduksi. Permasalahn di atas menjadikan ancaman terhadap keanekaragaman hayati menjadikan masalah ini sulit terurai di bawah bayang-bayang ketidakpastian konservasi Rawa Pening yang akurat dan tepat sasaran.

Rawa Pening Bukan Soal Cerita Baru Klinting Tapi Proses yang Panjang
“Awas, rasah cedak-cedak ngrowo dak dipangan nogo baru klinthing” (Awas, jangan dekat-dekat rawa nanti dimakan naga baru klinthing)

Candaan itu menjadi hal yang tak asing ketika kita bermain di sekitar Rawa pening, Legenda Baru Klinting bagi saya bukan hal tanpa sebab karena jika dikaji dalam sejarah banyak bukti bahwa masyarakat sekitar Rawa Pening sudah bersahabat dengan banjir bahkan eceng gondok sejak lama. Dilaporkan dalam sebuah Surat Kabar Algemeen Handelsblad. Pada 13 Oktober 1838 terjadi semburan air dari dalam tanah yang menyebabkan Rawa Pening meluap. Akibat luapan ini dusun Rawa Siwel tenggelam. Tidak terdapat korban jiwa dan ternak yang hilang juga tidak terlalu signifikan. Pada tahun 1850 muncul usulan untuk membuat bendungan di Tentang yang memanfaatkan air di Rawa Pening. Pemerintah telah memberi wewenang untuk pengairan yang terhubung dengan pembangunan bendungan sungai Tuntang. Pada tahun 1862 air benar-benar tinggi di Rawa Pening yang menyebabkan debit kali Tuntang menjadi besar lalu kemudian menerjang sejumlah bendungan di hilir yang mengakibatkan banjir besar di Semarang.

Peta Benteng Fort Willem I dan Rawa Pening sebagai benteng pertahanan pada masa Perang (Sumber Gambar: Dokpri)

Pada tahun 1885 mengacu pada berita tersebut, Bataviaasch handelsblad, mengabarkan lebih lanjut telah terjadi fenomena aneh di Rawa Pening, dekat Ambarawa. Insinyur pertambangan Stoop telah memeriksa di dalam rawa bahwa ditemukan suatu proses pembusukan tanaman dalam jumlah besar di dalam tanah yang memberikan perkembangan kenaikan karbon dioksida di dalam tanah yang tidak mampu dilepaskan ke udara sehingga menimbulkan pembengkakan di dalam tanah dasar rawa. Proses alam ini mampu mengangkat lapisan tanah atas, sampai akhirnya tanah ini muncul ke permukaan rawa yang mana kenaikan permukaan tanah tersebut diatasanya diselimuti oleh lapisan tanah gambut semi cair yang cukup tebal.

Dengan demikian, telah terjadi dua kali fenomena yang dilaporkan tentang kejadian alam yang benar-benar terjadi di Rawa Pening. Besar kemungkinan kejadian-kejadian di Rawa Pening merupakan bagian dari rangkaian kejadian alam di Jawa. Ini menjadi hal yang sangat logis bagi saya legenda itu bisa muncul di tengah masyarakat pribumi ditengah taraf ilmu pengetahuan yang belum mumpuni.

Karya Visual Story Telling mengambarkan unjuk rasa FPRPB menentang penerapan garis sempadan rawa.(Sumber Foto: Chandra Firmansyah)

Jika kita tarik pada era sekarang pada Mei 2010 Rawa Pening meluap dibarengi banyaknya sampah rumah tangga dan menggenangi sekitar 200 rumah warga di Dusun Rowoganjar, Ngrapah dan Tegalwuni di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Hal ini menyebabkan kondisi sosial dan ekonomi warga di daerah tersebut semakin terganggu. Pada September 2022 yang lalu ratusan petani yang tergabung dalam Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB) menggelar demonstrasi menentang penerapan sempadan rawa. Menurut mereka, batas yang ditetapkan pemerintah saat ini menggerus lahan pertanian warga di Rawa Pening. Sekitar 1.000 hektar lahan milik petani yang terdampak dan tak bisa lagi produktif. Warga menuntut agar mencabut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) NO: 365/KPTS/M/2020 terkait Batas Sempadan Kawasan Rawa Pening dalam Penanganan Sedimentasi di Danau Rawa Pening dan rencana revitalisasi Rawa Pening sebagai upaya penanganan danau kritis.

Permasalahan Rawa Pening yang berabad-abad seyogyanya menjadi antisipasi pemerintah daerah maupun pusat, dalam permasalahan yang kompleks ini sejatinya tidak hanya difokuskan revitalisasi dan pembangunan wisata skala nasional saja. Semakin lambannya penanganan akan menambah daftar permasalahan karena ribuan warga bergantung pada Rawa Pening, mulai dari banyaknya Petani Eceng Gondok yang gulung tikar hingga senjakala kehidupan ikan endemik rawa pening. Puluhan ribu wisatawan mengujungi rawa pening tiap tahunnya, ratusan muda-mudi menghabiskan waktu di penghujung hari, di sisi lain beberapa orang berjuang menyambung hari dari sisa-sisa keemasan Rawa Pening.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *