Oleh : Firdan Fadlan Sidik
Semenjak kemunculannya di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada akhir 2019, Coronavirus Desease (Covid-19) menjadi misteri di kalangan masyarakat dunia. Jumlah korban yang berjatuhan dalam skala yang besar dan waktu yang relatif singkat menjadi momok setiap negara. Dari China kemudian mendiaspora ke berbagai negara hingga hampir merata.
Ahli kesehatan sudah memberikan fatwa akan keganasan virus ini. Para pemimpin-pemimpin negara mengecam sebagai wabah nasional yang harus diwaspadai. Muncullah kebijakan-kebijakan preventif. Setiap instansi pemerintahan digalakkan untuk membuat gugus pencegahan pandemi Covid-19. Dana dialirkan besar-besaran. Semua panik di dalam permasalahan yang sama.
Covid-19, selain merupakan sebuah ancaman serius, namun di sisi lain perlu adanya sikap tenang dan tidak terlalu panik. Kepanikan yang berlebihan akan menciptakan imunitas yang lemah. Sedangkan ketahanan tubuh adalah hal yang paling penting untuk menahan virus Corona.
Penyebaran berita bertambahnya jumlah positif Corona atau berita-berita korban lainnya dicemooh warganet karena dianggap menambah kepanikan masyarakat. Di sisi lain, meremehkan orang yang bermasker dan yang menerapkan physical distancing dianggap telah menyepelekan keganasan Covid-19.
Berlebih-lebihan dalam kewaspadaan atau keterlaluan dalam meremehkan pandemi covid-19 itu tidak baik. Perlu adanya sikap yang adil dan proporsional dalam menanggapi pandemi covid-19. Di antara bentuk proporsionalitasnya adalah dengan berikap optimis memandang wabah covid-19.
Sikap optimis adalah buah dari kekuatan iman dalam menghadapi segala syari’at dan perkara kemanusiaan lainnya. Optimis adalah tangga transenden untuk mengubungkan usaha manusia dengan hasil yang ditetapkan oleh Tuhan.
Optimis inilah bentuk pengejawantahan dari aplikasi Al-Qur’an surat Yusuf ayat 87 yang mewajibkan umat manusia untuk tidak berputus asa akan rahmat Allah. Ayat ini meniupkan spirit optimis dalam setiap musibah.
Berbicara tentang optimis dalam menghadapi Covid-19, penulis teringat oleh argumen yang disampaikan oleh salah seorang ahli falak di IAIN Salatiga, M Rifa Jamaluddin Nasir. Menurut hasil hitungan ilmu falak, wabah ini diperkirakan akan berakhir pada sekitar awal Bulan Juni dan Juli, atau bahkan bisa berakhir pada pertengahan Juni 2020.
Waktu berakhirnya wabah ini diprediksi pada saat shubuh di Buruj Sarathan yang berbarengan dengan munculnya bintang penanda musim panas, dengan sebutan lain bintang tsurayya atau Bintang Kartika atau sebagai Bintang Tujuh Bersaudari, yang mana gugusan bintang-bintang yang paling kaya dengan kandungan logam.
Argumentasi Rifa Jamaluddin terkait prediksi berakhirnya pandemi Covid-19 didasarkan pada hadis Nabi. “Jika Bintang (najm) naik, maka diangkatlah penyakit/virus dari penduduk seluruh negeri” (HR. at-Thabrani). Dalam hadis lain : “Jika Bintang (Najm) terbit pada pagi hari, maka diangkatlah penyakit/virus dari penduduk seluruh negeri” (HR. Abu Daud) dan.
“Tidaklah terbit Bintang (Najm), sementara di bumi tengah dilanda penyakit/virus, melainkan (penyakit/virus) itu diangkat” (HR. Ahmad). Bintang yang di maksud dalam hadis tersebut menurut para mufassir dan ulama falak adalah Bintang Tsurayya.
Meski demikian Rifa Jamaludin tidak menjadikan analogi keilmuannya sebagai sebuah kepastian ilmiah. Prediksi tersebut bisa benar dan juga bisa salah karena termasuk ke dalam sesuatu yang bersifat mungkin (possible), bukan wajib atau mustahil. Kebenarannya bersifat relatif. Sedangkan, kebenaran mutlak ada pada Allah SWT.
Terlepas dari percaya atau tidak akan prediksi ilmuwan ahli falak ini, namun ada satu titik kepastian yang harus diambil, yaitu semua harus yakin bahwa optimisme dalam setiap hal itu perlu digalakkan. Kondisi mentalitas akan mempengaruhi kekebalan tubuh.
Banyak para akademisi dan professional yang membuat tulisan positif lainnya untuk menciptakan semangat optimis di tengah masyarakat. Sebagai generasi milenial.
Kita harus bijak dalam bersikap untuk mengambil tingkat kewaspadaan yang pas dan optimisme yang kuat sehingga pandemi Covid-19 lambat laun bisa diretas. Mulailah ciptakan pencegahan preventif dari diri kita sendiri dengan membangun paradigma yang cerdas.