Ketika yang Tua Merengek-rengek Minta Dilibatkan dalam Permainan Anak Kecil

Ilustrasi. (sumber: rudy-herliansyah.blogspot.com)
Ilustrasi.
(sumber: rudy-herliansyah.blogspot.com)

Dunia manusia terpaut oleh adanya batasan usia. Usia seseorang akan berakhir jika masa kontraknya hidup di dunia telah berakhir. Setelah kontraknya hidup di dunia berakhir, ia tidak lagi dapat menikmati segarnya udara bumi dengan berbagai lika-likunya.

Usia manusia semakin detik jarum jam berjalan semakin menunjukkan pertambahan. Dari yang sebelumnya berusia 21 setelah sekitar 31.536.000 langkah detik jarum jam berjalan akan bertambah menjadi 22 tahun.

Usia erat kaitannya dengan perubahan fisik. Dari semenjak usia 0 hari yang berukuran sekira 35-40 cm dalam 7.200 hari atau dalam 20 tahun akan bertambah menjadi 160 cm. Bobot yang semula ekira 30 ons di usia 0 hari dalam 7.200 hari bertambah 570 ons menjadi 600 ons atau 60 kg. Rupa yang semula masih lucu dan menggemaskan akan bertambah tua dan menjadi keriput serta tidak enak untuk dipandang setelah usia 3 x 7.200 hari. Ini adalah pengaruh usia dari segi fisik manusia.

Namun berbeda dengan fisik yang semakin lama akan semakin menunjukaan kematangan dan senantiasa mengami pertumbuhan, tidak demikian dengan pemikiran dan emosional. Hal-hal yang terjadi pada perkembangan fisik manusia akibat pengaruh usia tidak berlaku bagi pertumbuhan mentalitas yang menyangkkut pemikiran dan emosional. Ada kalanya ketia volume otak bertambah besar akibat pengaruh usia, namun pola piirnya belum se’bervolume’ ukuran otaknya. Inilah yang dalam bahasa biologi disebutkan bahwa pertumbuhan fisik adalah hal yang irreversible sedangkan pertumbuhan mentalitas bersifat reversible.

Namun dalam duina akademisi di lingkungan kampus, pola pikir, dengan usaha yang keras dilakukan oleh para dosen terhadap mahasiswa-mahasiswanya. Dengan diberikan diktat-diktat ilmiah diupayakan pemikiran para mahasiswa dapat berbobot dan memenuhi kapasitas volume kepalanya. Jika pola pikir masih belum juga berkembang, dapat diartikan jika mahasiswa tersebut mengalami kelainan.

Sedikit berbeda dengan pola piker, emosional yang merupakan mentalitas utama mahasiswa dalam bergelut di dalam kampus kehidupan tidak diajarkan secara direktif. Mentalitas tersebut dipupuk dengan cara banyak bergaul dan bergulat dalam keadaan riil kehidupan. Outputnya, tentunya pengaruh bagi seseorang untuk berani bertanggung jawab dan mandiri sebagai indikator kedewasaan.

Lalu apa jadinya jika yang sudah tua masih merengek-rengek meminta dilibatkan dalam permainan yang kecil? Itu artinya mentalitas manusia tersebut masih bersifat bayi, belum berkembang dan belum dewasa. Wujud dari merengek-rengek tersebut dapat dibuktikan dari masih seringnya mencampuri urusan anak-anak kecil yang sedang asyik dengan permainannya. hasilnya tentu merusak kebahagiaan anak kecil tersebut karena secara fisik anak yang sudah tua dalam hal usia tersebut pastinya lebih besar. Sehingga karena sifat kekanak-kanakannya tersebut masih muncul dalam hal-hal yang tidak bertanggung jawab dengan mengganggu permainan anak-anak kecil karena tidak mampunya yang tua tersebut untuk belajar mandiri, menjadikannya seolah-olah berkuasa meski yang menjadi rivalnya adalah anak-anak.

Dalam dunia mahasiswa yang pola pemikirannya sudah diasah dengan diktat-diktat ilmiah perkuliahan, hal tersebut masih sering terjadi. Seperti contohnya dalam ruang lingkup komunitas atau organisasi. Dalam ruang lingkup tersebut, sering kali yang merasa senior seolah-olah paling benar sehingga harus terus dilibatkan dalam hal apapun. Ketika senior tidak lagi dilibatkan, senior akan melakukan banyak cara untuk masuk lagi, semacam merengek-rengek dalam Bahasa anak kecil namun diiringi dengan berbagai dialektika berbahasa yang lebih dewasa agar diterima lagi. Namun senior tidak menyadari jika iklim telah berubah. Bukan masanya lagi mencampuri urusan yang muda dalam ruang lingkup tersebut. Sehingga banyak yang akan terganggu dengan kehadiran yang tua tersebut.

Jika hal tersebut banyak terjadi dalam realitas di ruang lingkup komunitas atau organisasi, tentu hal tersebut mengindikasikan bahwa mentalitas senior masih berusia anak-anak. Hal tersebut terbaca dari belum bisa lepas dan mandirinya senior dengan kegiatan-kegiatan barunya sehingga masih ingin terus melekat dengan masa-masanya hidup dalam ruang lingkup yang dulu senantiasa menemaninya supaya terlihat memiliki aktifitas sebagai seorang senior yang hebat di mata anak-anak.

Jika mentalitas seperti ini terus dibawa sampai nanti seseorang mahasiswa tersebut lulus, apa jadinya? Pastinya akan banyak anak-anak kita yang kehilangan kebahagiaan karena terus diganggu dengan tipe mahasiswa semacam itu.
/Red.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *