Menyoal Sarinah, Buah Intelektualitas Sukarno tentang Feminisme dan Perempuan (Part I)

ilustrasi sarinah (sumber gambar empatpilarmpr.com)

 

ilustrasi sarinah (sumber gambar empatpilarmpr.com)
ilustrasi sarinah (sumber gambar empatpilarmpr.com)

Perempuan dalam pembahasan tentang Sukarno tak bisa lepas dari ingatan mengenai tabiat poliginis sang proklamator. Tercatat sebanyak Sembilan perempuan yang pernah mendampingi kehidupan dan perjuangan Sukarno mulai dari Oetari Cokroaminoto, Inggit Garnasih, Hartini, Kartini, Naoko Nemoto, Haryati, yurike Sanger, hingga Heldy Djafar. Kesembilan wanita presiden tersebut tak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan Putra Sang Fajar meski hanya satu perempuan yang akhirnya dapat diingat sebagai sang ibu negara; Fatmawati.

Perempuan dalam masa orde lama menjadi sebuah bahasan penting tentang bagaimana masyarakat modern menyikapi perbedaan genital yang menyebabkan terjadinya perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan yang secara konservatif terlindungi oleh adat-istiadat tradisional  yang membatasi ruang lingkup kehidupannya dalam tiga ruang yakni Kasur, Dapur dan Sumur membuatnya terbelakang secara intelektual serta ruang gerak. Mencoba menjelajah dalam pemikiran masyarakat Eropa yang meyakini dan mengamini hak-hak serta paham feminisme, Sukarno berusaha memunculkan peran perempuan dalam turut serta menentukan konsepsi pergerakan serta perjuangan kaum perempuan dalam mengisi semangat kebangsaan.

Sarinah, tidak serta merta menyangkut-pautkan tabiat poliginis Sukarno, mencoba menjelaskan perhatian Sukarno tentang dasar-dasar konsepsi pemikirannya mengenai perempuan. Mencoba menggali sejarah perjuangan sukarno dalam masa Sumpah Pemuda tatkala menyambut “Kongres Kaum Ibu” pada 22 Desember 1928, melalui artikel yang pernah ditulisnya, Sukarno menuangkan perhatian atas tertindasnya kaum perempuan Hindia Belanda yang mengakibatkan terbelakangnya kaum perempuan Bumi Putera. Melalui buah tulisannya tersebut, Sukarno telah mengawali konsepsi tentang arah perjuangan perempuan sebelum dan sesudah merdeka.

Tahun 1947 sebagai awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dimana revolusi yang telah selesai dilaksanakan butuh sebuah penguatan seluruh elemen demi mempertahankan buah revolusi yang telah dicapai, Sukarno, tak seperti yang selama ini dikenal selalu militan dalam perjuangannya melalui aksi militer, ternyata diam-diam memikirkan kaum perempuan. “Soal Wanita” yang selama masa pergerakan revolusi tidak pernah dipelajari secara sungguh-sungguh oleh para tokoh pergerakan nasional dan hanya dianggap sebagai pendukung moral serta spiritual seusai berperang, ternyata dipelajari oleh Sukarno dengan sikap yang satu langkah lebih maju. Perempuan, yang sama halnya merupakan sebuah aset bangsa adalah kaum feminin dengan cara pandang dan cara berfikir yang berbeda dengan kaum laki-laki, menyimpan sebuah kunci penting dalam mengisi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sama besarnya kedudukan perempuan di mata sukarno sebagai sebuah kesatuan bangsa tak bisa didiskreditkan begitu saja sebagai sebuah entitas tersendiri. Menurut sukarno dalam Sarinah karangannya, ia menyebutkan bahwa perempuan Indonesia dapat mengisi aktivitas politiknya dalam menyusun negara dan struktur masyarakat yang merdeka.

Sebagai sebuah entitas yang setara dengan kaum laki-laki dalam kaca mata kebangsaan, perempuan sepatutnya mendapat tempat yang mampu mewadahinya dalam membuat gerakan-gerakan nasional demi mengisi dinamika nasional. Sebagaimana Sukarno pernah bercermin ke arah Barat bahwa equalitas kaum perempuan dengan paham feminismenya merupakan sebuah asasi demi mewujudkan kemerdekaan yang nyata bagi sebuah negara, melalui Sarinah, ia berusaha menjelaskan pemikiran-pemikirannya tentang wanita itu. Tentu, paham feminisme yang merupakan fitrah kaum perempuan, bagi masyarakatnya; masyarakat pribumi, ia telah dengan kaca mata timurnya, bukan dari kaca mata Eropa. Sebagaimana Sukarno tuliskan sendiri dalam Sarinahnya bahwa ekses, kata yang ia cetuskan untuk menjelaskan arti kesamaan hak, tidaklah serta merta menyamaratakan semua hak antara laki-laki dan perempuan sebagaimana masyarakat Eropa mengartikan ekses tersebut. Serta, bahwa antara hak-hak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan seperti halnya hak berpakaian yang tentu antara laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak berpakaian yang berbeda. Lantas, bagaimana Sukarno mengartikan kesamaan hak tersebut? Sukarno, masih berguru pada Ki Hajar Dewantara tentang paham ini. Ki Hajar Dewantara menyarankan bahwa “Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, janganlah juga terikat oleh cara-cara konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua barang sesuai kodratnya”. Maknanya, melihat budaya Indonesia yang memiliki akar sejarah dan akar budaya yang berbeda dengan akar budaya barat, Indonesia perlu memunculkan ideologi feminismenya sesuai akar budaya Indonesia sendiri, tentu dengan bercermin pada peradaban yang lebih maju yakni Eropa.

lanjutkan membaca Menyoal Sarinah, Buah Intelektualitas Sukarno tentang Feminisme dan Perempuan (Part II)

(D1420/Red_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *