Sumber Foto: Twitter.com.
Oleh: N Jingga/Kontributor
Gaza, Desember 1993
Mentari sudah lama terbenam, menyisakan malam dengan langit yang sempurna pekat di kejauhan. Pekat yang sangat jauh dan tidak dapat menyembunyikan gelisah, khawatir, serta takut yang menguar di udara Gaza. Langit malam Gaza tak pernah benar-benar pekat karena pekat yang terlihat hanya gelap yang jauh menggantung di atas tanah antah-berantah sana. Langit Gaza selalu menyala, nyala api yang membutakan mata.
Di bawah langit yang menyala membutakan itu, seorang perempuan berjuang mengeluarkan satu lagi jiwa petarung dari rahimnya yang mulia.
Malam menyala itu akan menjadi saksi. Rumah penuh lubang bekas rudal dan peluru itu akan menjadi saksi. Gemuruh tank dan pesawat tempur akan menjadi saksi. Seorang pejuang Palestina lahir, pejuang yang akan terus berjuang untuk bumi suci Palestina. Pejuang yang teguh memegang janjinya. Pejuang itu: Ezza.
Gaza, Intifadah 2000
Mendung menutupi Gaza pagi itu, tetapi tidak dengan hati anak-anak kecil yang berkerumun di sekitar tenda pengungsian. Pagi itu mereka bermain, berlarian, tertawa polos, atau sekadar duduk-duduk bersama, menikmati sedikit kebahagiaan yang jarang datang menghampiri.
“Ezza kemarilah! Bintang, si relawan Indonesia itu, memberi kita sebuah buku baru,” kata seorang anak perempuan berumur sepuluh tahunan. Ucap Ukhasa.
Ezza yang suka sekali membaca segera mendekati gadis itu, ikut duduk di atas puing pagar sebuah rumah. Itu tempat favorit mereka berkumpul. Selain berada paling dekat dengan tenda madrasa, “sekolah” sementara anak-anak Gaza, dari atas reruntuhan pagar itu mereka bisa leluasa menyaksikan teman-teman dan saudara mereka bermain.
“Buku tentang apa kali ini, Aisha? Apakah buku tentang pahlawan muslimah dari Indonesia lagi?” kata Ezza.
“Kata Bintang, ini buku tentang syair-syair dan puisi perjuangan rakyat Indonesia. Katanya, walau tidak seindah Al-Quran, buku ini sangat bagus,” Aisha menjelaskan, wajah putihnya yang sedikit berdebu memerah karena bersemangat.
“Menarik sekali! Aku harap kita bisa membacakannya pada Abi dan Umi, juga pada Ukasha, Ayyash serta si kecil Farras.” Ucap Ezza.
Senyum keduanya mengembang. Membayangkan hal sederhana nan indah itu sudah cukup membuat dada mereka sesak karena gembira. Mata Ezza memandang lurus, ke arah Ukasha dan Ayyash, saudara mereka. Kedua remaja laki-laki itu asyik membuat ketapel kayu bersama sekelompok anak lain. Bagi anak Palestina, ketapel kayu adalah benda yang lazim dimiliki. Ketapel kayu yang mereka buat itulah yang menjadi perisai dari muntahan peluru-peluru Zionis.
Ezza beranjak dari tempat duduknya dan digenggamnya tangan sang kakak, “Aisha, sebaiknya kita simpan dulu buku itu dalam tenda. Aku rasa lebih baik kita ikut Ukasha dan Ayyash membuat ketapel.” Ucap Ezza pada Aisha.
Tertatih di atas puing dan reruntuhan bangunan, kakak-beradik itu berjalan dengan bergandengan tangan. Di tanah suci Palestina, kesempatan berkumpul dengan semua keluarga adalah nikmat yang besar. Jika bisa, selamanya, kemana pun ia pergi, Ezza ingin terus menggenggam tangan semua anggota keluarganya. Ia tak ingin berpisah dengan mereka.
“Ukasha! Ayyash! Kami juga ingin membuat ketapel baru,” seru Ezza.
Ukasha, anak tertua di keluarga kecil Ezza menghentikan pekerjaannya, mendongak dengan cepat, matanya yang setajam elang memandang heran Ezza. “Bukankah dua pekan yang lalu aku sudah memberimu ketapel? Kau ke manakan ketapel itu, Ezza? Kau hilangkan?” Kata Ukasha memari Ezza.
“Tidak! Aku tidak menghilangkannya. Ketapel Dareen patah diinjak tentara Zionis dan kau sendiri tahu, serangan lalu kakak Dareen terkena rudal. Ia tak punya siapa-siapa lagi yang bisa membuatkannya ketapel. Jadi, aku berikan ketapelku untuknya.” Jawab Ezza dengas jelas.
Ukasha terhenyak, lama ia terdiam menatap Ezza. Ia tidak menyangka, adiknya yang baru berumur tujuh tahun dan tumbuh di dalam kerasnya peperangan memiliki hati selembut sutra.
“Baiklah, Ezza. Mari kita buat ketapel baru bersama,” kata Ayyash akhirnya.
Sebentar kemudian, mereka larut dalam kegiatan membuat ketapel. Ukasha dan Ayyash telaten mengajari kedua adik kecil mereka. Dalam sibuk tangan yang meraut batang dan dalam ramai hati oleh dzikir kematian, Ukasha memandang adik-adiknya. Air sebening embun membayang di matanya. Di tanah ini, ia tahu kapan saja ia bisa berpisah dengan keluarga yang dicintainya.
“Ayyash, Aisha, Ezza,” panggil Ukasha lembut, “Maukah kalian berjanji padaku? Kelak, apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaan kalian, di manapun kalian berada, berjanjilah kalian akan selalu menjadi pejuang Palestina. Pejuang yang tangguh membela tanah suci ini. Bersama, kita akan menjaga tiap jengkal tanah kita.” Ucap Ukasha dengan lembut.
Perkataan Ukasha terperangkap dalam sunyi, terbawa angin memasuki hati dan pikiran adik-adiknya. Dalam diam mereka merenungi kata-kata Ukasha. Dalam hati, mereka berjanji akan melakukan apa yang dikatakan oleh Ukasha. Keheningan yang sejenak meliputi mereka pecah oleh seruan riang Ezza.
“Sudah selesai! Aku punya ketapel baru,” Ezza mengangkat ketapel barunya.
“Kemari, Ezza! Ayo kita coba ketapel baru kita!” seru Ayyash.
Dengan kaki kecilnya yang melangkah tergesa, Ezza menyusul kawan-kawannya dan susah payah menyejajari langkah lebar saudaranya. Mencoba ketapel baru adalah salah satu dari sedikit hal menyenangkan yang bisa mereka lakukan. Mereka segera bergabung dalam riuh anak-anak; sibuk mencari beberapa kerikil, membidik sasaran, dan berlomba siapa-yang-paling-jauh-lemparannya.
Dalam sekejap mata, keriuhan mencoba ketapel itu bertambah, bercampur dengan kengerian seiring dengan terdengarnya gemuruh keras dari langit atas mereka. Skuadron-skuadron Zionis mengangkasa, memuntahkan peluru-peluru laksana hujan. Tank-tank melindas apa saja yang berada di hadapannya, berjalan cepat di atas roda-roda yang perkasa. Tentara-tentara Zionis menyandang senapan otomatis, berdiri dalam balutan seragam anti peluru. Tak hanya sekali mereka menembakkan senapan yang mampu menumpahkan ratusan peluru per detik itu ke arah tenda pengungsi.
Sekali lagi, langit mendung Gaza berpijar. Teriakan serta tangisan pilu anak-anak, perempuan, dan orang tua tak lagi diindahkan oleh tentara-tentara Zionis. Ukasha menarik tangan Ezza dan Aisha, Ayyash mengikuti di belakang. Mereka harus pergi, paling tidak Ezza dan Aisha harus bersembunyi di tempat yang aman.
“Kalian tunggu dan bersembunyi saja di sini,” Ukasha mendorong Aisha dan Ezza ke dalam puing bangunan berbentuk ceruk, “Cepat atau lambat, kita akan bertemu lagi. Jika kalian berhadapan dengan tentara-tentara biadab itu, gunakan ketapel kalian. Berjanjilah, kalian harus selamat,” Ukasha cepat berkata. Tak dilihatnya anggukan patah-patah Aisha dan Ezza karena detik berikutnya, ia sudah menarik lengan Ayyash. Mereka siap menyongsong tank-tank itu, mereka siap mempertahankan tanah suci Palestina, melindungi keluarga dan rakyat Palestina.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik takbir memenuhi angkasa. Ukasha dan Ayyash kencang berlari, gagah berdiri, bergabung bersama rakyat Palestina yang lain, bersiap dengan ketapel mereka.
Dalam sekejap mata, tiga rudal jatuh di tempat yang berbeda. Dalam rudal-rudal itu, sudah tercatat takdir-takdir para pejuang, menjadi syuhada atau melanjutkan perjuangan.
Dengan pekik takbir meluncur dari mulut Ukasha, satu rudal mengantarnya menemui Allah, Kekasih hati yang selalu didamba. Rudal yang sama, membuat tubuh Ayyash terpental jauh, tubuhnya jatuh di atas puing. Dalam kesadarannya yang timbul tenggelam, bibir Ayyash lemah menyebut asma Allah, berharap sakit yang menyerang berkurang. Ia pasrah menunggu bantuan datang.
Rudal lainnya jatuh di dekat tempat Aisha dan Ezza bersembunyi. Karenanya, sisi lain bangunan itu runtuh, material bangunan berkilo-kilo jatuh menimpa kaki kecil Ezza. Aisha menyeka air mata adiknya yang menganak sungai menahan nyeri yang sangat. Erat sekali Aisha menggenggam tangan Ezza.
“Tenanglah, Ezza. Allah bersama kita. Bantuan akan segera datang setelah ini semua berakhir. Allah menjanjikan surga untuk orang-orang yang mau bersabar,” Aisha menenangkan adik kecilnya, tak sadar ia akan merah yang mulai mewarnai jilbab putih kusamnya.
Dalam rudal terakhir, tercatat rapi bahwa Allah telah menunggu Abi, Umi, dan si kecil Farras. Dalam surga-Nya, mereka berkumpul, menunggu Ayyash, Aisha, dan Ezza. Di sanalah kelak mereka akan mendengarkan Aisha dan Ezza membaca syair dan puisi perjuangan dari buku pemberian Bintang.
***
Dua pekan berlalu setelah serangan terakhir tentara Zionis. Serangan itu membuat hidup banyak rakyat Palestina berubah. Hanya satu yang tidak akan pernah berubah dalam hidup mereka, yaitu semangat untuk terus berjuang memerdekakan negara Palestina. Hidup Ezza juga berubah, kini ia tidak bisa berlari dan berjalan bebas. Ia harus menggunakan kursi roda karena kakinya diamputasi setelah terluka karena tertindih beban berat reruntuhan bangunan.
Dalam kekurangan itu, ia bersyukur, paling tidak ia masih punya Aisha dan Ayyash. Mereka saling menguatkan dan saling mengingatkan janji mereka pada Ukasha, mereka harus tetap berjuang untuk Palestina.
“Ayyash.. Aku rasa, aku tidak bisa lagi memenuhi janjiku pada Ukasha,” kata Ezza suatu sore, di sampingnya Aisha belajar bersama Bintang.
“Mengapa begitu?” Ayyash bertanya, tangannya sibuk mengganti perban adiknya.
“Karena aku tidak lagi bisa berjalan. Bagaimana mungkin aku bisa berdiri membela tanah kita? Bagaimana aku akan melawan tentara-tentara itu, Ayyash?” mata bening Ezza berkaca, berkilat seperti embun tertimpa cahaya mentari pagi.
Semua yang berada di dekat Ezza terdiam. Ayyash mengusap lembut pipi adiknya. Jawaban yang ingin ia berikan tertahan dalam mulut yang kelu terkunci. Susah payah ia berkata, “Pasti ada jalan, Ezza. Pasti ada jalan.” Ayyash keluar begitu saja, ia tidak ingin Ezza melihatnya menangis.
Bintang mendekati Ezza. Hatinya tersentuh dengan pertanyaan sederhana anak kecil itu. Sambil mengusap kepala Ezza, Bintang bertanya pada Aisha, “Aisha, tahukah kamu bagaimana cara Ezza agar tetap bisa berjuang untuk Palestina?”
“Dengan berdoa,” Aisha menjawab polos.
Bintang tersenyum simpul mendengar jawaban itu, “Tentu kita harus selalu berdoa. Bintang punya cara lain agar Ezza bisa terus berjuang.”
Kepala Ezza mendongak, menatap Bintang dengan mata penuh rasa semangat dan ingin tahu. Ia menarik ujung jilbab Bintang, mendesaknya untuk segera memberitahu.
“Ezza, kau masih bisa menulis. Tulislah apa yang rakyat Palestina alami di sini. Kabarkan pada dunia apa yang terjadi di sini. Aku akan membantu untuk mengumpulkan tulisan yang sudah kau buat. Kau bisa membuat buku, Ezza! Aisha, kau bisa ‘kan membantu Ezza menulis?” dengan penuh semangat Bintang menyampaikan idenya.
Bintang senang demi melihat kilat bahagia di mata Ezza dan Aisha. Wajah mereka berseri, bersinar oleh kegembiraan. Ezza bersyukur, setidaknya ia masih bisa membantu negerinya dari atas kursi roda.
Setelah hari itu, Ezza rajin menulis. Ia curahkan semua yang ia rasakan, lihat, dan dengar melalui tulisan. Berlembar-lembar tulisan ia berikan pada Bintang untuk diarsipkan. Sesekali Aisha dan Ayyash ikut menulis bersama Ezza.
Tulisan Ezza sudah bisa dibukukan. Melalui bantuan Bintang dan relawan lainnya, buku Ezza dapat diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Lewat tangannya, ia berhasil menjaga janjinya pada Ukasha sang kakak untuk terus berjuang demi Palestina. Dari kursi rodanya, Ezza mampu mengabarkan kebenaran yang terjadi di Palestina.
Gaza, Desember 2023
Dan saksikanlah, sama seperti tiga puluh tahun yang silam, di bawah langit Gaza yang menyala menyilaukan, seorang gadis berdiri menatap tanah Palestina dengan penuh rasa memiliki. Gadis dengan kaki palsu plastik itu adalah seorang penulis jurnal dan wartawan perang perempuan pertama yang dimiliki Palestina. Gadis yang menjaga janji pada kakaknya. Gadis itu: Ezza.
‘Kan ku jaga sepenuh jiwa
‘Kan ku pertahankan sekuat tenaga
Setiap jengkal tanah Palestina yang berharga,
Setiap pohon yang tumbuh di atasnya,
Setiap batu perkasa
yang dengannya para pemuda
mempertahankan nyawa,
Dan setiap mimpi rakyat Palestina
untuk mendirikan negara merdeka,
Apapun yang kalian lakukan pada kami
Takkan pernah memadamkan semangat kami
Karena jiwa-jiwa bebas yang kami miliki
kuat dan tak ‘kan pernah mati