Oleh: Anita Ayu Purnama
Matahari sudah tidak seterik siang tadi, kini perlahan-lahan mulai sedikit menghangat, suasana kampus juga sedikit lebih senyap. Karena hari sudah menjelang sore hari, sedikit mahasiswa yang mengambil mata kuliah di sore hari. Hal itulah yang membuat Aila Azzahra dara mungil dengan pakaian gamis yang sangat anggun dikenakannya. Memilih untuk mengambil beberapa mata kuliah di sore hari. Hal ini karena dia harus menjaga kedai milik orang tuanya terlebih dahulu. Terlebih lagi kini dia sudah hampir memasuki semester akhir, jadi mata kuliah yang diambilnya sudah tidak terlalu banyak.
“Aila!” panggil seseorang yang berhasil membuat Aila mencari suara tersebut yang ada di belakangnya. Ada beberapa temannya yang terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki.
“Iya ada apa?” tanya Aila sambil menghadap ke arah teman-temanya yang kini sudah ada disamping Aila.
“Setelah ini kamu mau kemana?” tanya wanita berpipi tembem dengan badan tidak terlalu tinggi, dia bernama Anya.
“Pulang, memangnya ada apa?” balas Aila sambil mengernyitkan dahinya.
“Kita rencananya mau menjenguk Ibunya Fita, bagaimana kamu mau ikut?” kali ini sosok laki-laki dengan rambut gondrong berkulit eksotis yang mencoba bertanya kepada Aila, dia bernama Atha.
“Tapi, aku tidak bawa motor sendiri, bagaimana dong?” ujar Aila dengan ekspresi kebingungannya.
“Kamu tenang saja, kamu bisa bareng Faris. Dia kosong kok, ya kan Ris?” usul wanita satu lagi yang ada disana, siapa lagi kalau bukan Ima. Dia adalah salah satu teman Aila yang terkenal cerewet dan suka ceplas-ceplos dengan gayanya yang selalu fashionable.
“Iya,” jawab singkat laki-laki bernama Faris yang terkenal super dingin, memiliki badan kurus, tinggi dan jarang berbicara itu. Meski sikapnya yang seperti kulkas itu, namun tidak menyurutkan niat para kaum hawa untuk mencuri hatinya yang masih tertutup rapat itu.
“Iya sudah, terima kasih Ris,” pinta Aila tulus sambil tersenyum. Lagi-lagi Faris hanya mengangguk saja tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
“Beres kan, iya sudah kita langsung berangkat sekarang saja. Supaya nanti pulangnya tidak ke-malaman”, usul Damar yang sedari tadi dia hanya menjadi pendengar setia teman-temannya itu.
“Yuk!” seru mereka semua hampir bersamaan. Setelah itu perjalanan menuju ke rumah Fita mereka lewati bersama. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Aila maupun Faris. Keduanya sama-sama membisu dengan pikiran mereka masing-masing.
“Aduh, kenapa harus Aila yang aku bonceng. Kalau aku nanti gugup bagaimana? Ingat kamu harus terlihat biasa saja Faris!” Faris mencoba untuk mengendalikan perasaannya itu. Karena memang tidak bisa dipungkiri jika sejak awal masuk kampus dia sudah menaruh hati kepada Aila.
“Terima kasih,” itulah akhirnya kata yang Aila ucapkan ketika dia hendak turun dari motor Faris, karena sudah sampai di tujuan. Namun seperti biasa lawan biacaranya itu hanya menganggukan kepalanya saja.
***
Acara menjenguk ibunya Fita sudah berarkhir kurang lebih satu jam yang lalu, kini Aila dan Faris sudah berada di depan rumah rumah Aila, karena Faris mengantarnya pulang.
“Terima kasih Ris, mau mampir? Tawar Aila ketika dia baru turun dari motor milik Faris dan kini berdiri di sampingnya.
“Sama-sama, tidak usah terima kasih. Saya langsung pamit saja, Assalamualaikum,” tolak Faris masih dengan nada dinginnya. Langsung pamit begitu saja meninggalkan Aila yang masih memantung dibuatnya.
“Waalaikumussalam, memang itu anak aneh banget. Tetap saja dingin, heran deh sama itu anak. Sekali saja gitu senyum atau apa gitu?” gumam Aila masih setia memandangi Faris yang kini sudah tidak terlihat lagi dari pandangannya.
“Dek! Kok melamun, tidak masuk?” Teriak laki-laki dengan earphone putih yang kini sudah berada di lehernya. Hal itu sukses membuat Aila tersadar jika dia ternyata masih mematung saja di depan gerbang rumah.
“Eh.. Iya mas ini juga mau masuk kok,” elak Aila yang langsung melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya.
“Tumben jam segini baru balik?” tanya kakaknya Aila yang bernama Mas Daffa.
“Iya tadi habis menjenguk ibu temanku Mas. Oh iya, bunda dan ayah belum balik ya, Mas?” tanya Aila yang sudah duduk dengan kakaknya di depan teras rumahnya.
“Belum, mungkin lusa kali,” ujar Daffa tanpa melihat ke arah Aila, karena masih fokus dengan gawainya itu.
“Mas!” panggil Aila dengan pandangan lurus kedepan tanpa melihat kakaknya.
“Hmm. Kenapa jangan bilang mau curhat tentang laki-laki dingin itu?” tebak Daffa sudah sedikit bosan dengan cerita Aila. Memang Aila sudah sering menceritakan tentang Faris kepadanya. Aila hanya cengar-cengir tidak karuan karena tebakan sang kakak tepat sekali.
“Aku itu bingung tahu Mas sama dia, terutama sama sikapnya itu”, kesal Aila sambil memajukan bibirnya ke depan.
“Mas juga dingin, cuek tahu sebenarnya,” kata Daffa singkat sambil menaikkan kedua alisnya.
“Hahaha, tidak mungkinlah. Mana mungkin seorang Mas Daffa itu dingin, cuek kayak dia. Mas itu enak kok, buktinya saja saat aku cerita Mas selalu dengerin, perhatian, menjadi tempat ternyamanku pokoknya gitulah Mas,” kata Aila masih tidak percaya dengan perkataan kakaknya.
“Idih, dikasih tahu tidak percaya. Sana coba tanya sama calon istriku,” kata Daffa sambil tersenyum penuh dengan kemenangan.
“Mas sudah deh, jangan halu. Siapa calon istri Mas? Kekasih saja Mas tidak punya,” ledek Aila sambil tersenyum sinis ke arah Mas Daffanya itu.
“Memang sekarang kekasih belum punya, tapi kalau kekasih halal akan segera datang,” jawab Daffa dengan bangganya.
“Iya mas, percaya deh,” kata Aila akhirnya pasrah begitu saja.
“Tapi, kalau cowok cuek gitu dia misterius tahu dek. Selain itu dia juga suka memperhatikan seseorang yang dia sayang, setia dan pokoknya kerenlah. Kayak Mas mu ini”, Daffa berpendapat dari sudut pandangnya sebagai laki-laki.
“Oh, begitu Mas?” tanya Aila masih kurang percaya dengan apa yang kakaknya berikan. Daffa hanya mengangguk kuat tanda dia sangat yakin akan hal itu.
***
Hari melesat begitu cepatnya, tanpa terasa kini Aila sudah menyelesaikan program studi S1-nya. Rasa haru melebur menjadi satu diacara wisudanya beberpa hari yang lalu. Ucapan selamat serta rasa bangga diberikan kepadanya dari orang-orang di sekitarnya. Terutama yang diberikan oleh keluarga, teman, serta para sahabat-sahabatnya. Kini Aila sedang menikmati hari-harinya dengan mengelola taman baca yang beberapa bulan yang lalu, baru diresmikannya itu.
“Faris, kamu ke sini sama siapa?” Aila terkejut ketika melihat Faris yang sudah duduk di depan taman bacanya itu.
“Eh, La. Iya tadi saya tidak sengaja lewat sini, jadi akhirnya saya mampir. Tidak apa-apa kan?” kata Faris sedikit berbohong, karena memang niat awalnya dia ingin bertemu dengan Aila di sini. Aila hanya bisa menganggukan kepalanya saja sambil ikut duduk dikursi panjang di sebelah Faris.
“Aila, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan ke kamu” kata Faris mencoba untuk memberanikan diri yang terdengar cukup serius ditelinga Aila.
“Tanya saja, jika aku bisa menjawabnya pasti akan kujawab,” ucap Aila masih bingung dengan apa yang akan Faris tanyakan kepadanya itu.
“Sebelumnya maaf jika saya lancang, mungkin saja ini terdengar aneh untukmu. Tapi saya rasa ini waktunya yang tepat untuk saya menanyakan ini kepadamu. Saya tidak tahu, apakah ini hanya sebuah rasa saja, atau mungkin saja rasa itu sudah terlalu jauh menjadi cinta? Yang ingin saya tanyakan padamu, apakah kamu juga memiliki rasa yang sama? Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Nanti kamu bisa menjawabnya ketika saya akan datang ke rumahmu bertemu dengan Ayahmu. Kalau begitu saya pamit dulu, terima kasih. Assalamualaikum,” pamit Faris begitu saja, tanpa Aila sadari senyuman manis terukir jelas di wajah Aila.
Setelah kejadian itu, Faris benar-benar membuktikan ucapannya. Dia datang ke rumah Aila untuk melamarnya di depan kedua orang tuanya. Aila tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika dia juga memilki rasa yang sama seperti yang Faris rasakan kepadanya.