Sumber Foto: Megapolitan.kompas.com
Oleh: Ulin Hayati
Di bawah jembatan layang, terselip kampung kumuh yang hadirnya kerap dianggap pengganggu oleh sebagian manusia. Namun, di sanalah saksi perjuangan para bocah yang harus tumbuh dalam kerasnya dunia. Jalanan sempit dengan bau tak sedap telah menjadi bagian dari hidup mereka. Udara tak segar dari sisa napas kendaraan, asap rokok, bahkan debu mimpi yang jarang selesai, mendekap erat tubuh-tubuh kering itu. Kolong itu bukan sekadar tempat tinggal, melainkan takdir yang tak bisa dibantah.
Jutaan mimpi dilangitkan, ribuan upaya dihaturkan. Namun, tetap saja kerap gugur karena mereka hanya dianggap serangga yang tugasnya hanya melengkapi dunia. Beruntung, meski tak seterang lampu-lampu kota, secercah harap muncul lewat bangunan kecil beralas tanah, beratap terpal, dan berdinding spanduk kampanye. Sekolah Kolong, begitu mereka menyebutnya.
Setiap senja menyapa—setelah bocah-bocah bertempur dengan kerasnya dunia—sekitar lima belas anak berkumpul di Sekolah Kolong. Salah satunya adalah Raka. Bocah sebelas tahun dengan tubuh kurus bak garis hidup yang cepat menipis, selalu singgah di bagian paling depan. Bukan karena semangat, tapi ia tak bisa melihat jika berada di posisi belakang. Tangan kecilnya selalu mendekap sebuah buku lusuh, yang lembar pertamanya tertulis, “AKU INGIN JADI ORANG SUKSES”.
“Raka, apa itu sukses?” tanya Fani, gadis kecil yang gemar mencoret-coret bukunya dengan gambar penuh warna.
Diajaknya Fani ke jalanan becek di luar, menatap jalan layang yang dilalui banyak sekali kendaraan dengan sorot lampunya yang sesekali menerpa wajah lusuh mereka. Sembari menunjuk ke arah jalan layang, Raka mengatakan, “Sukses itu, kalau nanti aku bisa lewat di sana pakai mobil bagus, punya rumah kaya di kota-kota. Terus … bisa bangun sekolah, supaya anak-anak kaya kita ga perlu membaca dunia lewat luka.”
“Hah?” Fani jelas tidak paham dengan kata-kata terakhir Raka. Tapi ya sudahlah ia menarik tangan kawannya untuk kembali ke dalam. Kemudian Fani membuka bukunya yang tak kalah lecek dari Raka.
“Lihat. Aku menggambar sekolah. Kalau kamu mau buat sekolah, aku mau jadi gurunya. Biar bisa bikin orang jadi pintar, kaya ibu guru Cantika,” ucap Fani sambil menunjukkan gambarnya.
Tangannya mengambil pensil yang panjangnya sebatas jari kelingking. “Karena kamu mau bangun sekolah, jadi gambar ini namanya ‘Sekolah Raka’,” sambung Fani sambil menggoreskan pensilnya untuk mengoreksi gambarnya sendiri.
Raka tersenyum bahagia melihat tingkah temannya. Sejak saat itu, Raka bersumpah akan terus melawan kejamnya kehidupan hingga ia bisa mewujudkan mimpinya dan orang-orang lain di sekitarnya. Sampai akhirnya ibu guru Cantika—seorang relawan—datang dan mengajari mereka tentang banyak hal.
Malam tiba, Raka dan empat belas kawannya beserta ibu guru Cantika kembali ke rumah masing-masing. Setelah menyalakan lampu teplok, Raka mengambil celengan plastik yang ia dapat dari tempat sampah. Lima koin hasil mengamen pagi tadi, ia masukkan ke dalam celengan itu. Kemudian diiringi bising kendaraan dan dekapan dingin malam, Raka mengambil sarung juga menggelar kardus untuk tidur.
Pagi harinya, Raka mandi di WC umum yang ada di kampung Kolong. Setelahnya ia pergi ke jalanan untuk mengamen hingga sore hari bersama beberapa bocah lainnya. Sampai senja tiba, mereka pergi ke Sekolah Kolong untuk kembali belajar.
Saat berkumpul di Sekolah Kolong, bocah-bocah itu saling bertukar cerita, bahagia. Seolah hidup tak pernah kejam pada mereka. Relawan kali ini tidak datang. Lagi. Meskipun sangat mengidolakan ibu guru Cantika, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kerap kali mereka juga kecewa pada relawan yang datang dan pergi dengan janji bantuan yang hanya menjadi obrolan menggantung di udara. Tetapi, mereka tetap belajar, dengan Raka yang membantu jika ada kesulitan.
Tiba-tiba, segerombolan orang datang. Hening tercipta. Semua ketakutan, karena sebelum-sebelumnya orang-orang menyambangi hanya untuk mengusir mereka. Raka, dengan sisa keberaniannya mengintip dari celah-celah spanduk partai. Seketika ketakutannya hilang, sebab yang dilihatnya adalah ibu guru Cantika dan beberapa relawan beserta para pejabat dan wartawan.
Relawan segera menghampiri mereka, meredakan rasa takut. Para pejabat mulai berbicara tentang program, tentang pengentasan kemiskinan, tentang pembangunan manusia. Mereka berfoto di depan Sekolah Kolong bersama semua bocah dan berjanji akan menjadikannya “pilot projek”. Raka dan kawan-kawannya saling pandang, ragu. Sebab, yang sudah-sudah juga begitu. Hanya berjanji kemudian diingkari.
Namun, rupanya keraguan itu salah. Mereka—para pejabat—betulan menepati janjinya. Beberapa bulan kemudian, papan nama baru dipasang. Atap, alas, dan dinding diganti dengan yang lebih baik dan kokoh. Seragam dibagikan. Lilin-lilin diganti oleh lampu yang terang. Sekolah Kolong berubah rupa. Raka merasa, untuk pertama kalinya, langit benar-benar membukakan jalannya. Anak-anak dipanggil naik ke atas panggung, dan Raka yang dulu hanya nama kecil di buku absen ibu guru Cantika, kini disebut dalam pidato pejabat.
Beberapa anak diundang ke Jakarta untuk difoto, diberi laptop, dan beasiswa. Raka tumbuh. Terus berkembang, terus berjuang. Mimpi-mimpi yang dahulu kerap tumbuh dalam gelap, kini diguyur cahaya yang jauh lebih terang dari lampu-lampu kota. Hingga akhirnya Raka berhasil kuliah, merantau di kota dan lulus menjadi sarjana pendidikan. Melalui mikrofon, di hadapan ratusan orang yang dulu tak pernah mengenalnya, dengan lantang ia berkata, “Saya anak kolong, tapi saya tidak ditakdirkan untuk selamanya hidup di bawah.”
Ia kembali ke Sekolah Kolong yang sudah semakin maju untuk menjadi guru di tempat yang dulu hanya tanah basah. Di depan anak-anak baru, dengan bangga Raka berkata, “Aku juga dulu duduk di tempat kalian, dan sekarang aku kembali, karena di tempat ini aku lahir dan berjuang melawan kerasnya kehidupan.”
Namun, tepat setelah mengucapkan kalimat itu, terdengar suara klakson panjang dan tiba-tiba angin berhembus begitu kencang, membuat udara dingin terasa begitu menusuk. Lampu-lampu padam, membuat seisi ruangan gelap. Raka membuka matanya, berusaha menyesuaikan cahaya. Raka menatap sekeliling, mencari dinding kokoh dan papan nama baru. Tapi yang ada hanya alas kardus dan sarung yang melilit tubuhnya. Ternyata, bukan lampu sekolah yang padam. Tapi lampu teploknya yang mati kehabisan bahan bakar. Ia belum kembali dari perantauan. Ia masih di kolong, dengan sarung tipis dan bau amis yang tak pernah pergi.
Raka keluar rumah dan menuju sekolah. Tanpa sengaja, menemukan Fani tertidur di pojok ruangan, memeluk bukunya yang bergambar sekolah impian mereka. Bocah itu menarik napas panjang. Matanya basah, tapi ia tak menangis.
Ia menyadari malam telah selesai bermimpi, dan pagi telah kembali menyimpan misteri. Raka tahu, hari itu ia harus kembali mengamen, kembali belajar dari dunia yang belum juga berubah. Dan dia kembali memejamkan mata. Bukan untuk menyerah, tapi untuk melanjutkan harapan yang belum bisa ia temui dalam terjaga.