Cerpen: Orang-Orang Wagyu

Sumber Foto: CNBC Indonesia.

Oleh: Angkasa

Aku berkawan dengan seseorang. Dia begitu bersemangat dengan kesempatan dan kesiapannya pada masa depan. Tun nama akrabnya. Dia seorang laki-laki berumur seperempat abad yang sudah kebelet kawin. Dia temanku sekampung. Dulu, kami sering mencuri ubi milik Pak Jo yang berada di ujung kampung, kemudian membakarnya di hutan dekat sekolah. Kami cukup akrab, hingga setelah tujuh belas tahun, dia membulatkan tekad untuk pergi ke kota. Merantau untuk dapat uang dan membangun masa depan cerah katanya. 

Obrolan kami jarang terjadi semenjak itu. Tun hanya pulang beberapa bulan sekali. Meskipun kami akan bisa berbincang hingga malam tiap dia pulang. Aku masih ingat obrolan kita waktu itu. Tun menggebu-gebu menceritakan pekerjaannya sebagai ajudan dan sopir seorang konglomerat di kota. Tun diberi banyak uang untuk makan atau untuk kebutuhan. Tun juga bilang gajinya sudah cukup untuk menabung masa depan. Aku tidak pernah tahu secara jelas berapa gaji Tun yang sebenarnya. 

“Nar, nanti kalau saja sudah kerja lama di kota dengan gaji banyak gini, bisa pulang jadi orang kaya di kampung tidak, ya?”

“Ealah tho, Tun. Kamu itu, mending ditabung atau buat usaha kecil gitu lho biar bisa menghasilkan lagi.” 

“Saya nanti mau bikin rumah dulu, buat Emak. Wong dapur rumah saja sudah habis jebol kemarin. Untung saya pulang, jadi bisa benerin dulu sebelum ke kota lagi.”

“Kepincut kamu, Tun, dengan gadis kota? Barangkali, mereka kepincut juga dengan kamu yang rupawan ini, Tun.”

“Husss, ngawur kamu, Nar. Mereka seleranya sapi wagyu. Kalau mereka mau, saya paling jadi sayur kangkung.”

Tawa kami pecah dengan tangan Tun yang menepuk-nepuk pundak. Waktu itu, perbincangan itu berakhir pukul satu dini. Dua hari setelahnya, Tun berangkat lagi ke kota. Meninggalkan Emak–ibu Tun–di kampung dengan dapur yang sudah dibenahi. Tun muda yang bersemangat itu merasa penuh riang dengan pekerjaanya di kota. 

Berbulan-bulan setelahnya,  tidak ada kabar apapun darinya. Tidak ada tanda-tanda pulangnya ke rumah. Emak beberapa waktu lalu memintaku mengabari Tun dengan surat, tapi aku saja tidak tahu alamat kerja Tun di kota. Gelisah melumuri seluruh tubuhku. 

Tidak hanya aku, Emak lebih kuyup dengan gelisah dan tangis. Anaknya yang pergi ke kota tak kunjung pulang. Menerka apa gerangan yang terjadi disana: sudah makan kah anaknya itu? Sehat tidak putra gagahnya? Begitu kalut Emak waktu itu. Semburat wajahnya jelas berbicara. Dia menunggu anaknya pulang dari Kota. 

Beberapa bulan setelahnya, aku dapati surat tanpa nama pengirim. Ditujukan pada Tun. Tukang pos itu kebingungan mencari alamat Tun. Berhubung aku kenal, kutawarkan diri untuk membantu sampaikan surat itu pada Emak. Tukang pos setuju dan membiarkanku membawanya ke rumah Tun. 

 “Mak, ada surat buat Tun,” panggilku sebelum aku mengetuk pintu rumahnya. Keluar suara Emak dari arah belakang rumah. 

 “Di sini, Nar. Ke belakang wae. Emak baru ambil daun singkong gawe buntil.” 

Kususul ke belakang rumah. Kebun kecil itu subur dengan banyak tanaman singkong, cabai, dan tomat. Dulu Tun pernah bilang, katanya kalau sedang tidak ada uang, Mak bisa makan daun singkong rebus dan bikin sambal tomat. Padahal, Tun bisa saja membiarkan Emak makan enak dengan uang gajiannya. 

Aku pamit pulang selepas membantu Emak memetik beberapa genggam daun singkong muda. Sedih rasanya melihat Emak sudah makin tua sedang anak semata wayangnya di kota. Harap-harap aku agar Tun di rumah dan merawat Emak saja. 

***

Hari itu aku ingat betul, Tun. Emak tergopoh-gopoh berlari ke rumahku sambil menggenggam kertas. Teriak memanggil-manggil aku dengan sedikit harap di wajahnya. 

“Nar, bacakan surat ini buatku. Dulu aku simpan karena katamu buat Tun. Bisa jadi, sebenarnya ini buat Emak,” begitu katanya dengan nada harap. Kupersilahkan Emak duduk di lincak depan rumahku. Menyobek ujung amplop yang tidak lagi putih bersih. 

Nar, 

Saya tahu kamu akan baca surat ini. Karena Emak tidak bisa baca.

Ini perpisahan. Saya benar jadi kangkung di kota. Begitu layu dan murah. Tidak ada harga Saya di sini. 

Kau tahu, Nar. Surat ini Saya tulis setelah tahu bahwa Saya dianggap sebagai hama kecil. Saya dengar pembicaraan tentang proyek ilegal yang tuanku, Wira Tanjimulyo, lakukan. Saya sudah tahu sekarang, jika tuanku adalah orang kotor yang rakus dengan dunia. Saya tahu juga dia menyuap beberapa orang untuk memperlancar bisnis. 

Selama ini, Saya diam saja, Nar. Tapi, nasibku memang tidak beruntung. Saya memutuskan memberitahumu, mengantisipasi ketika hal buruk terjadi. Saya ketahuan mengetahui semua hal itu. 

Ketika Saya tidak pulang sebulan lagi. Doakan Saya, Nar. Saya titipkan Emak padamu. Sampaikan maafku belum sempat buat rumah untuknya. 

Dari Tun yang penuh rasa hampa dan putus asa.

***

Dua tahun setelah surat itu aku baca, Wira Tanjimulyo telah sah dijatuhi hukuman penjara 20 tahun penjara dan denda satu miliar. Meski ini tidak sebanding dengan hal-hal busuk yang dia lakukan dengan pencucian uang, korupsi, suap, dan bisnis ilegal. Dia jadi orang merugikan negara, Tun. Suratmu memberikan banyak perubahan. Meski awalnya polisi enggan mempercayai suratmu, aku usahakan bagaimanapun keadilan harus ada padamu. Meski kamu dan orang-orang seperti kita adalah kangkung: lemah, murah, sering kali dianggap tidak penting dan remeh, kita tetap hidup sebagai hakikatnya. 

Tidak sia-sia aku susah payah aku mencoba jadi sopir, sama sepertimu. Meski aku harus belajar menyetir terlebih dahulu. Meskipun itu tidak mudah ternyata, Tun. Lega aku, Tun. Emak juga sudah lega hatinya jika harus berpulang. Itu amanatnya padaku. Meski aku dan Emak tidak pernah tahu kamu di mana. Haruskah kamu di surga sekarang? Kamu bahkan belum sempat membuatkan Emak rumah seperti katamu. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *