Sumber Foto: Pinterest
Oleh: Ulin Hayati
Alam dengan anggun menciptakan harmoni indah saat aku kembali dari perjalanan menyusuri negeri. Lembayung di kaki langit, hamparan padi yang menari-nari, udara sejuk mendekap, bisikan pohon bambu, sempurna menjadi pengiring langkah menuju kampung halaman yang sudahku tinggalkan sejak lama. Sungguh, suasana yang teramatku rindu.
Langkah demi langkah kusimpan di tanah basah, sepertinya baru saja hujan reda. Kuhirup udara segar dalam-dalam, sembari mengenang masa-masa indah bersama orang terkasih di kampung ini. Hingga tak terasa, sampai sudah aku di depan rumah tua yang selalu terbayang di kepala. Masih sama. Sangat sama. Hanya saja, sedikit tak terawat kelihatannya.
“Neng, sudah pulang? Sudah lama sekali Bibi tidak lihat kamu. Apa kabar cantik? Masyaallah, sudah sebesar ini kamu,” seorang wanita paruh baya menarikku ke pelukannya.
Dari suaranya, tak salah lagi, beliau adalah Bi Elis. Adik terkecil dari ibuku.
“Fara sehat, Bi. Alhamdulillah,” aku balas memeluk Bi Elis.
“Bibi kira kamu tidak akan pulang, Fara. Sudah terlalu lama pergi jauh, tidak berkabar dengan siapa-siapa. Tapi ternyata, hari ini kamu kembali.” Air mata bibi mengalir begitu deras, seolah baru bertemu anaknya yang hilang sejak lama.
“Niatnya memang seperti itu, Bi,” jawabku getir.
“ Tapi setelah jauh berkelana, Fara sadar. Rumah tetap tempat ternyaman untuk istirahat. Apapun yang akan terjadi.” Aku melanjutkan.
Sementara Bi Elis kembali mendekap erat tubuhku.
“Oh iya, Bi. Bagaimana dengan sawah bapak? Siapa yang urus?” tanyaku setelah merasakan tangis Bibi mereda.
“Si Arman yang urus. Tapi selalu gagal panen. Bibi sampai heran. Dulu waktu bapak mu masih ada, sawahnya subur sekali padahal,” jawab Bi Elis dengan suara khas tukang gosip.
Aku tertawa menanggapi. Sedikit heran, tapi baiklah akanku tengok besok. Hari ini, istirahat adalah pilihan terbaik setelah perjalanan panjang.
“Bi, aku menginap di rumahmu, ya. Sekalian besok coba lihat sawah bapak,” pintaku pada Bi Elis.
Wajah Bi Elis seketika bersinar, seolah mendapat bongkahan emas. “Baru saja Bibi mau menawarkan. Ya sudah, ayo sekarang ke rumah Bibi,” samungnya.
Kami berjalan bersama menuju rumah Bi Elis, sambil sesekali berhenti menyapa warga sekitar. Masih sama, mereka begitu ramah. Masih suka bercerita dan aku pun suka. Hingga akhirnya tiba pada rumah yang dituju. Saudara-saudaraku menyambut begitu hangat, sebelum aku terlelap dalam mimpiku malam itu.
Pagi hari nya, aku terbangun pada salah satu kamar di rumah Bi Elis dengan perasaan yang aneh. Aku membuka jendela, menghirup dalam-dalam udara kampung ini. Memang segar, tapi ada sesuatu yang membuatku merasa berat. Tapi ya sudahlah. Kuputuskan untuk bersiap, karena hari ini aku akan pergi ke sawah bapak, satu-satunya yang tersisa selain rumah.
Setelah sarapan bersama Bi Elis dan saudara-saudara, aku berjalan menuju sawah bapak. Jalan setapak nya masih seperti dulu, penuh rumput liar dengan pohon kelapa menjulang di kanan kiri. Pikirku melayang pada kenangan indah masa kecil saat bapak minta ditemani ke sawah.
Aku ingat bapak selalu menyuruhku untuk berhati-hati di pematang sawah. Sambil sesekali berceramah. “Tanah ini baik hati, Fara,” katanya. “Dia selalu memberi kehidupan. Jadi jangan ditinggalkan. Karena tanah ini bukan milik kita semata.”
Seperti kebanyakan orang tua, bapak juga suka sekali ceramah. Sehingga kalimat itu lewat saja saat aku kecil. Tapi sekarang aku benar-benar menyadari bahwa itu bukan sekadar angin lalu. Tiba di tepian sawah, aku terkejut melihat tanah yang dulu selalu memberi kehidupan, kini berubah menjadi begitu gersang.
“Fara!” suara asing memanggilku dari kejauhan. Reflek, kepalaku menoleh dan melihat seorang pria berjalan cepat ke arahku.
“Ini Arman,” katanya, sambil menjulurkan tangan.
“Aku yang mengurus sawah bapak mu sekarang,” Sedikit kikuk, aku menjabat tangannya dan tersenyum.
“Terima kasih, Mas Arman. Bibi bilang, sering gagal panen, ya?” Arman mengangguk, wajahnya tampak letih.
“Entah kenapa, tanah ini seperti menolak tumbuh. Padahal, pupuk sudah kuberi, air sudah cukup, tapi hasilnya selalu mengecewakan.” Aku memandang sekitar. “Aneh, ya. Dulu sawah ini selalu subur. Bapak bilang, tanah ini punya rahasia. Tapi aku nggak pernah tahu apa maksudnya.”
“Yee, kalau kamu enggak tahu, apalagi aku,” sahut Arman. “Tanya aja langsung sama tanahnya,” lanjutnya mencoba bergurau. Aku pun menyambutnya dengan tawa. “Lah, kalau bisa, mah sudah dari tadi aku tanya tanahnya, Mas,” jawabku.
Kami berbicara cukup lama. Hingga tak terasa petang tiba. Arman mengantarku hingga depan rumah Bi Elis. Ia mengatakan bahwa esok akan mencoba cara lain untuk membuat sawah bapak kembali subur. Meskipun dia tak yakin, tapi jika tidak dicoba, mana tahu akan berhasil.
Aku membersihkan diri, menatap bintang dari jendela kamar. Pikirku melayang pada masa indah bersama keluarga saat musim panen. Tapi, pemandangan tadi di tepi sawah membuat hatiku sangat teriris. Sawah yang menjadi saksi bahagia keluargaku, kini tak lagi memberi kehidupan. Karenanya, aku bertekad akan melakukan apapun untuk membuat sawah itu kembali subur.
Pagi-pagi sekali–waktu biasa dahulu bapak berangkat menggarap sawah, aku memutuskan untuk kembali ke sawah dengan membawa senter dan sekop. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tanah ini, berbekal secuil ilmu pertanian dari pengalamanku mengembara.
Di bawah langit yang belum begitu terang, dengan senang hati aku mulai menggali sudut sawah yang tampak paling gersang. Sekopku terus menghantam tanah, hingga akhirnya terdengar suara dentingan keras. karena heran, aku berhenti. Lalu menggali dengan tangan. Sebuah benda keras terlihat di balik tanah, kotak kayu tua.
“Wah, apakah aku menemukan harta karun?” gumamku sedikit senang. “Bapak ternyata sangat perhatian, menyimpan harta untuk anaknya,” lanjutku kegirangan. Dengan susah payah, aku membuka kotak itu. Di dalamnya, ada sebuah buku kecil yang sudah lapuk. Halaman-halamannya dipenuhi tulisan tangan bapak.
“Yah, ternyata cuma buku harian bapak. Kukira emas,” ucapku sedikit kecewa. Namun, aku tetap memutuskan untuk membacanya, hingga tiba pada halaman yang cukup membuatku sedikit bingung.
“Tanah ini bukan milik kita semata. Setiap hasil panen adalah hasil dari perjanjian. Perjanjian itu harus terus dijaga, atau tanah ini akan mengambil kembali apa yang pernah ia beri.”
Aku membaca berulang-ulang, mencoba memahami maksudnya, sembari membuka halaman lain. Hingga tiba di halaman terakhir. Tulisan bapak lebih berantakan, seperti ditulis dalam keadaan terburu-buru.
“Jika tanah ini gersang, itu tandanya ia menagih. Kembalilah ke ladang dan mintalah maaf. Jangan sampai ia mengambil apa yang paling kau sayangi.”
Seketika jantungku berdetak lebih cepat, bulu kudukku meremang. Tiba-tiba, tanah di sekitarku mulai bergerak, seolah bernapas. Kepalaku berpikir keras, mencoba memahami maksudnya. Setelah menyadari sesuatu, aku mencoba berlari. Tapi tanah itu menahanku dan suara berat bergema, “Kau datang terlambat, Fara. Kini waktunya aku mengambil kembali.”
Aku berteriak sekuat tenaga memanggil Bi Elis, tapi suaraku tenggelam dalam kesiur angin yang begitu kencang. Mas Arman––yang mungkin sudah waktunya ke sawah, terlihat berlari ke arahku. Namun terlambat, sekelilingku gelap, dan tubuhku terasa ditarik ke bawah. Saat aku coba melawan, suara bapak terdengar lembut di telingaku, “Maafkan bapak, Nak. Tapi sawah ini sudah lama tak punya jiwa. Kini giliranmu yang menjadi penjaganya.”
Saat tersadar, aku terpaku di tengah sawah yang perlahan berair dan tumbuh menghijau, seperti hidup kembali. Anehnya, aku tidak sendiri. Di sekelilingku, berdiri sosok-sosok samar menyerupai keluargaku. Mereka tersenyum, dan akhirnya aku menyadari kebenaran pahit bahwa tanah ini memang membutuhkan jiwa. Dan kali ini, jiwa itu adalah aku.