Sumber Foto: Pinterest
Oleh: Sidqon Khasani H.
Aku hidup di wilayah terpinggirkan. Di kota kumuh. Tempat masyarakat menyebutnya “sumber penyakit” laiknya burung Nasar yang sering dicap sebagai pembawa penyakit, ia buruk rupa, tak enak dipeluk apalagi dipelihara.
Padahal ia sebegitu pedulinya pada manusia. Ia mencegah meruaknya patogen penyebab pes, antraks dan penyakit lainnya, bahkan ia menghentikan bangkai agar tak mengeluarkan berjuta-juta ton gas rumah kaca ke atmosfer. Namun apalah daya, lakab itu terlampau melekat padanya, juga padaku. Ditambah aku tak punya kuasa atas diriku. Siapa milik siapa diriku ini?
Aku tengah melamun, melihat pancarona yang bergelimang di atap bumi tempat ku berpijak. Sekelompok gumpalan putih di cakrawala nampak terburu-buru kala aku ingin lebih lama menatapnya. Mungkin ia terintimidasi. Ia pergi menyisakan kehampaan. Hampa tak berujung. Nampaknya ia pun enggan dilihat “Sumber penyakit” macam diriku. Lantas aku pergi. Pergi menuju kelayakan “aku”. Tempat di mana aku yang satu bertemu aku yang lain. Menjadikan “aku” yang benar-benar aku tanpa cela; nireksistensi
Langkahku gontai, aku benar-benar ingin meniadakan diri, sampai-sampai hilang hasratku menapak pada bumi. Aku seperti telah mati tetapi masih gemar bernapas. Aku melangkah lagi, kali ini derap langkahku mantap menghentak bumi. Kini aku manusia apatis.
“Permisi, bolehkah saya berbicara dengan anda?” Tiba-tiba muncul suara yang lebih apatis ketimbang diriku.
“Aku? Kau memanggilku?” Entahlah bagaimana raut wajahku terlihat di matanya. Aku ragu ia ingin berbicara denganku.
“Saya hendak berbicara dengan anda, bahkan jika anda berkenan…”
“Oh Tidak tidak, apa urusanmu mau berbicara denganku. Apapun itu aku tidak mau” aku menukasnya sebelum ia menyelesaikannya. Kalimat selanjutnya pastilah memuakkan.
Aku membalikkan badanku, melangkahkan aku, menjauh darinya. Aku melihatnya kembali sambil terus melangkah pergi. Tubuhnya membatu, namun semakin aku telusuri sampailah aku di hunian kelam kepunyaanya. Dia sama denganku.
“Helena Cassia Adara merindukanmu“ serunya seakan mencegahku pergi.
Langkahku terhenti. Helena? Siapa dia? Kepalaku penuh tanya. Nama yang dia sebut berhasil menarikku perlahan menuju arahnya. Aku berubah pikiran. Ada hal janggal yang ingin kutanyakan padanya. Aku tidak salah menyebutnya lebih apatis ketimbang diriku. Apatis pada apa, aku tak berhasrat mencari tahu. Ia mengingatkanku pada seseorang yang amat ku kenal tetapi aku tak berhasil mengingat siapa orang itu.
Aku berbalik, melangkahkan aku, menuju padanya. Kini hasratku memuncak ingin menyelam di lautan penyesalan dalam pikirannya. Aku ingin mengenalnya lebih baik.
“Siapa namamu?”
“Nama saya, Ma…ma… Mataios” ia ragu-ragu mengucapkannya.
“Mataios?? Nama yang aneh,“ celetukku.
Ada yang mengganjal pikiranku. Mataios? Sepertinya bukan sesuatu yang jauh dariku. Semakin aku memikirkannya semakin sukar aku menemukan letak janggal yang kupertanyakan. Kemudian aku berhenti memikirkannya.
“Lantas apa yang kau mau dariku?“
“ Seperti yang saya ucapkan tadi, saya ingin berbicara dengan anda” kali ini ia nampak serius. Matanya penuh dengan keyakinan absurd yang tak kutahu dari mana asalnya. Yang kutahu hanya satu: ia tidak membual.
“Apa yang ingin kau bicarakan dengan orang macam diriku?“
Jika dipikir-dipikir orang gila mana yang ingin menghabiskan waktunya dengan berbicara padaku. Orang-orang di kota kumuh tempat tinggalku pun, aku jamin mereka tak punya waktu untuk berbicara dengan orang lain, bahkan berbicara dengan diri mereka sendiri pun tak sempat. Sang waktu sepertinya enggan mengizinkannya. Kurasa si Mataios ini punya masalah kejiwaan.
“Ttt…tunggu… mau dibawa kemana diriku?“
Tanpa meladeni pertanyaanku, si Mataios ini bergegas membawaku. Cengkeramannya begitu erat melingkar di pergelangan tanganku. Langkahnya terburu-buru. Jika tanah punya nyawa aku yakin tanah akan menggerutu diinjak-injak seperti itu oleh dia. Si tanah pasti akan berkata “ manusia sialan. ”
“Maafkanlah manusia bodoh ini, wahai tanah” gumamku.
Langkahnya memelan, ia nampak was-was. Kanan-kiri ia cermati, seperti sedang memeriksa situasi. Terlihat jelas di sorot matanya bahwa ia tak mau ada orang lain yang melihat.
“Bukan, bukan di sini,“ sedetik kemudian langkahnya kembali terburu-buru.
“Maafkanlah manusia bodoh ini, wahai tanah,“ aku bergumam lagi.
Aku lelah, aku tak terbiasa melangkah seperti ini. Ingin sekali aku mengumpat, namun kata-kataku tertahan di kerongkongan, umpatanku tak berhasil kulontarkan. Benar-benar hari yang sial.
“Ini dia, kita sudah sampai” ia tersenyum, seperti sedang diterpa kebahagian abadi. Raut wajahnya ikut-ikut bangga. Aku terheran, sejak kapan dia punya raut wajah seperti itu?
Kita berdua diam pada masing-masing lamunan.
Hamparan luas terpampang sejauh mata memandang. Ini jelas bukan kota kumuh tempatku melalui kehampaan saban hari. Beribu-ribu mil di hadapanku tak ada lalu-lalang manusia, juga di samping kanan-kiriku. Aku tak bisa menafsirkan waktu di sini. Siang? Jelas bukan. Langit nampak ceria, namun matahari tak kelihatan di mana letaknya. Malam pun bukan. Bulan belum mewujud di cakrawala. Indah, itulah yang ada dalam pikiranku. Apakah ini surga? O, tidak tidak, aku berlebihan menyebutnya surga. Apapun itu, setidaknya langit menerimaku apa adanya kali ini.
“Saya lupa menanyai nama anda,“ ucapnya menyesal. Aku lebih menyesal. Ia membuyarkan lamunanku!
“Nama? Aku sudah lama meninggalkan namaku. Panggil saja, Hering,” jawabku seadanya.
Hering adalah nama lain dari burung Nasar. Ia unggas yang terkucilkan di bumi. Ia jelas kalah telak dengan hewan-hewan yang punya tampilan lebih menawan seperti panda, badak, dan hewan-hewan yang sedap dipandang lainnya.
“ Baiklah, saya akan memanggil anda demikian,” Mataios nampaknya tak terlalu mempersoalkan namaku.
Ia terdiam sejenak.
Ia terlihat sedang menekan-nekan sesuatu di depannya. Jari-jemarinya lincah kesana-kemari. Seolah bisa menggenggam angin, ia tetap bersikukuh melakukan aktivitas itu. Aku tak berhasrat menanyainya. Pun sepertinya Mataios tak akan menjawab jika kutanyai.
“Lihatlah ini, Hering,” manusia sialan ini—aku meminjam sebutan dari si Tanah—mulai berbicara padaku.
Tak sempat menyauti, tiba-tiba layar hologram berukuran 10×6 meter muncul tepat di hadapanku. Aku termangu. Teknologi zaman kapan ini? Aku berada di abad berapa? Siapa dia sebenarnya?
Selang beberapa menit hologram itu memperlihatkan sebuah gambar bergerak, menayangkan sebuah kisah. Kisah yang tak asing bagiku. Kisah yang sangat dekat denganku. Sebuah alasan kenapa aku memutuskan pergi ke kota kumuh ini.
Aku dan manusia sialan ini tidak berkata sepatah kata pun. Kami berdua sedang menyelam ke dalam hologram itu.
“Lagi-lagi kau pulang larut sekali, Ios“ ucap seorang berbadan besar dalam hologram itu.
Tubuhnya tegak,rambutnya tebal, dan beberapa sudah beruban. Sepertinya dia Bapak dari orang yang ia panggil Ios.
“Ibumu mengkhawatirkanmu, apa kau tak peduli?“ Lanjutnya.
“ PEDULI?? SIAPA YANG LEBIH TIDAK PEDULI DARI ORANG YANG PUNYA KEKASIH LAIN PADAHAL IA PUNYA ANAK ISTRI??”
Bentak orang berbadan kurus dengan tubuh terhuyung-huyung. Aku yakin ia anak dari orang berbadan besar tadi.
“APA KAU BILANG?!! DASAR ANAK SIALAN, “ Si Bapak bersiap mengayunkan tangannya hendak memukul si Anak.
“PUKUL SAJA, PAK. PUKUL AKU” si Anak nampak berani menyodorkan pipinya.
Si Bapak nampak ragu, ia menurunkan tangannya perlahan, sedang Si anak melanjutkan langkah kakinya menuju kamarnya. Si Bapak tak menahan langkah kaki anaknya. Nampaknya ia sadar akan kesalahan yang diperbuatnya.
Kali ini layar hologram berpindah menayangkan si Anak di dalam kamarnya.
Si Anak menyandar pada dinding. Ia terlihat lemas tak berdaya. Sorot matanya kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan di matanya. Sebuah keanehan melintasi pikiranku. Kenapa aku begitu mengenalnya? Kenapa aku seolah memahami penderitaan yang menghujaninya?
Sekarang ia berdiri. Terlihat ia menuju lemari. Isi lemari dihambur-hamburkan olehnya.
Sekian detik kemudian ia menemukan semacam suntikan. Ada sekitar empat lebih suntikan dalam genggamannya. Lalu tak lama kemudian ia menyuntikannya di tangan. Ia mengeram kesakitan. Ia suntikan lagi. Dua, tiga, empat suntikan. Enam suntikan?? Sinting.
“O, Ibu. Andaikan engkau tahu. Semua perlakuan suamimu padamu“ ia tertawa kegirangan. Suntikan-suntikan tadi ia lempar ke segala arah. Aku sekarang tahu. Suntikan tadi adalah Morfin. Rupanya dia Morfinis.
“Semua perlakuan suamimu, semuanya hanyalah bualan, Bu” aku ikut mengatakannya. Aneh sekali. Kenapa aku tahu kalimat yang keluar dari Morfinis itu? Intonasinya, aksen suaranya, dan logat yang ia pakai, aku ucapkan seirama dengannya. Si Morfinis kembali tertawa kegirangan.
“Apa sekarang anda paham, Hering?“ Mataios mematikan layar hologram.
Aku terdiam. Aku menatap kosong ke depan. Hologram itu telah sirna. Seketika itu juga langit mengabu-abukan diri. Langit tak lagi ceria. Ia nampak sedang berduka. Langit tak ubahnya seperti gejolak hatiku saat ini. Kaya akan kebimbangan, kegamangan, keraguan, semua keabu-abuan bergolak dalam dada. Sesak.
“Itu tadi adalah kejadian dua hari sebelum anda pergi dari rumah itu. Si badan kurus yang tampak lesu itu adalah anda. Saya teramat mengerti akan diri anda. Saya tahu anda belum berkenan memaafkan masa lalu nan pahit itu. Saya harap anda tak perlu menyesali semua itu. Tak perlu menyesaliku” Mataios menjelaskan. Matanya berkaca-kaca.
Aku tahu. Bagaimana mungkin aku lupa kejadian memilukan itu.
Keesokan harinya kedua orang tuaku bertengkar hebat lantaran bapakku ketahuan mempunyai kekasih selain ibuku. Ibukku benar-benar hancur bukan kepalang. Aku terpaku di depan kamar. Aku benar-benar tak tahu menahu bagaimana seharusnya aku bersikap. Ibuku menangis, meraung-raung tak keruan. Ibuku jelas sekali tidak siap menerima kenyataan itu. Itu bukan persoalan siap tidak siap.
Aku tak kuasa menyaksikan kepedihan yang datang bertalu-talu. Akhirnya aku memutuskan pergi tanpa meminta pamit. Aku pergi membawa segudang benci. Pergilah aku menjalang ke berbagai tempat hingga aku memutuskan menetap di kota kumuh tempatku berpayung dari segala perih serta pedih.
“Aku adalah penyesalan. Aku lahir dari gelisah dan ragumu yang kau tumpuk saban waktu. Kau Mataios, aku juga Mataios. Kita adalah dua atma yang satu“ aku gemetaran mendengar ucapannya.
Perasaan aneh datang melimpah-ruah menerpa hatiku. Aku tak cakap mengartikan rasa yang menerkamku saat ini. Yang kubisa hanya mengangguk seolah menegerti. Pantaslah semua ini serasa tak asing bagiku. Mataios adalah aku, dan aku melahirkan Mataios yang lain. Dan yang lebih penting, Helena adalah nama ibukku.
“Maafkanlah aku, Mataios. Maafkanlah penyesalan,“ matanya mulai menitikan air mata. Ia tersedu sedan.
“Bagaimana caraku memaafkanmu, aku berulang-kali melupakanmu, namun engkau selalu hadir di setiap jengkal hatiku,”
“Lihatlah ini,” layar hologram kembali ditayangan olehnya.
Gambar-gambar bergerak bermunculan lagi di depanku. Kali ini dalam gambar tersebut menayangkan seoarang anak kecil yang tengah berlarian kesana kemari. Ia tertaw. Jelas tawa itu bukanlah kepalsuan. Tawanya penuh kejujuran. Tawanya menghangatkan. Ia cekikikan sambil berlari menghindari kejaran seorang bertubuh mungil dengan rambut terurai yang tersapu angin pantai. Kali ini aku tahu, anak kecil itu adalah aku saat berumur empat tahunan, sedang yang satunya adalah Helena, Ibukku. Pemilik senyum paling indah di muka bumi ini. Senyum pertama yang kusaksikan saat pertama kali aku bernafas.
“Lihatlah betapa jujurnya kau saat itu. Betapa bahagianya engkau saat itu,” ujarnya sambil mengusap sisa air mata di pipinya.
“Aku tak perlu kau lupakan. Terimalah aku, berikanlah aku ruang di rongga hatimu. Rawatlah aku sebagaimana harusnya. Jadikanlah aku pijakan dalam menentukan langkahmu bertumbuh. Yang kau butuhkah hanya satu: penerimaan,“ ia mulai kabur dari pandanganku.
Tak satu kata darinya ku bantah. Kali ini dia benar. Aku cukup menerima segala perkara yang hadir membersamaiku; keberhasilan, kepuassan, kebahagiaan, keterasingan, dan perkara-perkara lain. Jika kebahagiaan aku izinkan bersimpuh dalam hatiku maka tak seharusnya aku menolak penyesalan turut bersimpuh. Banyak hal kecil yang tak lelah memberiku napas dan menjadi alasanku untuk kembali meneruskan hidup. Setidaknya aku masih mempunyai hal-hal kecil itu. Begitulah pikirku.
“ O,Tuhan. Aku sudah benar-benar tak peduli. Wahai Aku, Maha Tanpa Cela. Langkahkanlah aku, menuju apa, kuserahkan sepenuhnya,” pintaku. Akulah Mataios. Menghampa kala menghamba.
Kepada Penyesalan yang selalu menasehatiku, kulantunkan sajak Penerimaan untukmu:
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
(Penerimaan: Chairil Anwar, 1943).
Penyesalan lenyap ditelan ketiadaan. Ia sepenuhnya menyatu dalam aku, makhluk penuh cela.