Cerpen : Terjebak Friendzone

Oleh : Anitaap

Sumber Foto : pinterest.com

10 panggilan grup tidak terjawab 07.40

Gadis cantik dengan jilbab pashmina cokelat tersebut, membulatkan matanya sempurna, tatkala melihat banyaknya panggilan grup yang masuk. Dia bernama Amartha Maharani Putri, gadis manis yang dikenal supel oleh orang-orang di sekitarnya. Ia hendak mengirimkan pesan di grup dengan nama ‘Jalanin Aja’ itu, namun lagi-lagi panggilan masuk masih dia dapatkan. Langsung saja dia mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, assalamu’alaikum.”

“Waalaikumussalam,” jawab beberapa orang diujung seberang. Jika dilihat pada layar ponselnya ada empat temannya yaitu ada Sekar, Mirah, Alfan dan Ardi.

“Darimana sih, Tha? Lama banget angkat telponnya?” Omel Mirah yang terkenal cerewetnya di antara mereka.

“Maaf ya, aku lagi di luar tadi. Jadinya, enggak bawa handphone. Ada apa nih? Tumben weekend gini kalian telpon?”

“Iya, kita nanti siang mau ketemuan di cafe biasa. Kamu bisa datang kan?” Kali ini suara Sekar yang menimpali.

“Iya bisa lah, kan libur juga. Ya, enggak Tha?” Ujar Alfan dengan nada candanya.

“Pokoknya Amartha harus datang! Bye, guys aku keluar dulu. See you,” Ujar Mirah sebelum akhirnya keluar dari panggilan grup tersebut. Mendengar hal tersebut, mau enggak mau Amartha langsung menyetujuinya. Sudah lama juga mereka tidak kumpul bersama.

***

Suasana cafe cukup lengang, karena masih tergolong waktu siang. Amartha datang lebih awal dari teman-temannya. Dia memilih tempat yang biasa digunakan oleh mereka untuk nongkrong di sana.

“Kebiasaan nggak pernah bisa ontime mereka tuh,” gumam Amartha yang langsung duduk di sudut cafe tersebut.

“Siapa bilang? aku selalu ontime, kok!” Kata seseorang yang berada tak jauh dari tempat duduk Amartha.

“Sejak kapan di sini, Di?” Tanya Amartha keheranan dengan teman satunya itu. Memang diantara mereka, Amartha dan Ardi sudah berteman baik sejak sebelum bersama teman-temannya yang lain. Tak heran jika keduanya kerap dianggap lebih dari sekedar teman oleh orang lain.

“Sejak telponan tadi,” jawab Ardi dengan entengnya.

“Parah, btw kenapa murung? Harusnya kamu senang soalnya balik lagi sama mantan kamu, ‘kan?” ujar Amartha to the poin, sontak membuat Ardi tiba-tiba duduk di kursi yang berada di depannya.

“Hah? Siapa bilang?” Mendengar pertanyaan tersebut membuat Ardi terperangah memasang wajah terkejutnya.

“Enggak penting siapa yang bilang, tapi benar kan?” Desak Amartha seolah ingin menyudutkan Ardi, temannya itu.

“Enggak. Kenapa harus balik sama mantan? kalau yang di depanku sudah ada masa depan!?” Ujar Ardi santai, namun terdengar cukup serius bagi Amartha.

“Siapa?” Tanya Amartha dengan menengok ke belakang, pura-pura mencari seseorang yang Ardi maksud.

“Kamu, Amartha Maharani Putri. Emang siapa lagi?”

“Oh.”

“Kok, cuma gitu jawabannya?”

“Iya, aku harus gimana lagi? Soalnya yang kamu anggap masa depan. Besok, bulan depan sudah mau tunangan.”

“Apa?”

“Iya, Ardi. Besok bulan depan, tanggal 16 aku sudah tunangan sama Mas Zidan.”

“Maaf kalau gitu, Tha.”

“Untuk?”

“Tadi, aku sudah lancang menyebutmu menjadi masa depanku. Meksipun, kata pepatah sebelum janur kuning melengkung, masih bisa ditikung. Kamu tenang aja, aku nggak akan melakukan itu kok.”

“Syukurlah, terima kasih Di.”

“Kamu enggak tanya, kenapa gitu?”

“Emang kenapa?”

“Karena bagiku hal tertinggi dalam mencintai bukan hanya tentang memiliki, namun jika berhasil memiliki berarti itu bonus. Beruntung itu calon suami kamu.”

“Apaan sih, Di. Enggak ada yang beruntung ataupun rugi dalam sebuah hubungan, jika sudah sama-sama didasari rasa nyaman dan kasih sayang.”

“Iya, deh. Semoga lancar sampai hari H dan seterusnya. Aku berharap besok kalau datang ke pelaminanmu sudah ada seseorang yang ku kenalkan kepadamu.”

“Harus itu! Semoga segera menemukannya.”

Keheningan terjadi diantara mereka, saling diam dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya, ponsel Amartha kembali berdering. Menunjukan nama Mas Zidan muncul di sana. Membuat Amartha sontak melihat kearah Ardi.

“Sudah angkat aja,” seolah tahu apa yang akan Amartha katakan. Tanpa berpikir panjang, Amartha langsung mengangkat panggilan tersebut. Tak butuh waktu lama panggilan pun telah berakhir.

“Hm, Ardi aku pamit dulu ya. Tolong bilang sama teman-teman kalau aku tiba-tiba ada urusan. Nanti aku juga bakal bilang sendiri di grup,” ujar Amartha dengan bersiap-siap bangkit dari tempat duduknya.

“Oke, perlu aku antar?”

“Tidak usah, terima kasih. Aku sudah dijemput Mas Zidan di depan. Assalamu’alaikum, Di.”

“Waalaikumussalam, hati-hati di jalan Tha,” ujar Ardi yang diberikan anggukan kepala oleh Amartha.

“Terima kasih, Amartha. Kamu sudah hadir menjadi cerita tersendiri di hidup ini. Mungkin kalau kata orang ini namanya terlambat. Tapi, bagiku ini adalah awal untuk aku bisa mengikhlaskanmu. Gini banget rasanya terjebak friendzone,” gumam Ardi melepas kepergian Amartha yang sudah tak nampak lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *