Cerpen: Pelangi di Langit Senja

Oleh: Devi Tino Safitrianingsih

Senyum sumringah terlihat sangat manis menghiasi raut wajah gadis cantik itu. Dia Violin Gracylin  gadis baik, polos, dan tidak lupa paras wajahnya yang cantik. Tiba-tiba saja senyumannya itu berubah menjadi masam. Ketika Violin menatap hujan dari luar jendela, perlahan air matanya mulai jatuh membasahi pipi tembamnya. Sekelibat pikirannya mengingat kejadian 3 tahun lalu. Violin teringat akan perpisahannya oleh lelaki yang sangat dia sayangi, lebih tepatnya Ayah kandung Violin bernama Liam. Skip.

“Non Vio!? Saya masuk ya,” ujar Bi Tati.

“Iya Bi Tati masuk aja, pintunya tidak dikunci,” jawab Violin.

Bi Tati membuka kenop pintu kamar Violin. Wanita paruh baya itu berjalan membawa sebuah nampan berisikan air putih dan juga makanan.

“Non Vio ini makanannya Bibi taruh di atas meja ya,” Violin hanya mengangguk dan tersenyum. Mata Violin terlihat sembab. Bi Tati hanya menatap wajah Violin. Aneh.

“Abis nangis ya Non??”

“E-enggak kok Bi, aku gak apa-apa. Paling kelilipan,” elak Violin mengusap kedua matanya.

“Ya sudah  kalau Non gak nangis. Jadi Bibi bisa tenang bersih-bersih rumah. Jangan sedih ya non,” Bi Tati merengkuh tubuh mungil Violin.

Dia Bi Tati, pembatu rumah tangga yang sudah bekerja sejak Violin berumur dua tahun. Selagi Mama dan Papanya ada pekerjaan pasti Bi Tati lah yang setia di sampingnya. Violin sudah menganggap Bi Tati sebagai ibunya.

“Sudah, ah Bi. Pekerjaan Bibi masih banyak kan? Kita sudahi saja dramanya ya. Hehehe,” Violin tertawa kecil.

“Iya Non, Bibi kebawah dulu ya. Jangan lupa makannya dihabiskan.”

“Siap Bi Tati Cantik,” jawabnya seraya mengacungkan ibu jarinya. Sehabis itu Violin berjalan menuju mejanya. Melahap makanan buatan Bi Tati sampai tandas tidak ada sisa satupun.

***

Semalam tidurnya sangat lelap. Sampai waktunya untuk sekolah Violin terlambat. Ia melirik jam dinding waktuya sepuluh menit lagi gerbang sekolahannya akan segera ditutup. Akhirnya Violin bergegas mandi lalu berangkat kesekolah.

Violin dan pak Raja masih terjebak macet. Biasa jalanan kota Jakarta memang tidak pernah lenggang, pasti macet. Berhubung waktu kurang sepuluh menit Violin memutuskan untuk lari menuju sekolahannya karena jaraknya sudah hampir dekat.

“Pak, saya turun di sini saja ya. Percuma jalanannya macet pak, sebentar lagi upacara juga sudah mau dimulai pak.”

“Iya non Violin hati-hati.”

Violin mulai berlari secepat mungkin agar cepat sampai tepat sebelum pintu gerbang di tutup. Deru nafasnya tersenggal-sengal. Akhirnya Violin sudah bisa melihat bangunan sekolahannya. Gerbang masih setia dibuka tapi kurang sedikit lagi ditutup. Ia melesat memasuki gerbang yang masih terbuka kecil. Untung saja tubuhnya ramping jadi bisa memasuki gerbang. Tepat.

“Ahhh… Uhhh akhirnya gue bisa masuk,” seru Violin mengatur nafasnya. Ia berlari kembali menuju lapangan untuk kegiatan rutin di hari Senin. Selama satu jam lebih Violin terus memegangi kepalanya yang terasa pusing dan juga  perutnya yang terasa sakit. Akibat tadi pagi bangun kesiangan dan lupa untuk sarapan. Tatapan Violin menghitam. Mendadak ia terjatuh pingsan.

Brukkk…

“Vi?? Bangun,” teriak Cika.

“Ssstt Aksa sini… Angkat Vio bawa ke UKS. Gak peka banget ceweknya pingsan,” ujar Willona. Aksa mengangguk, dia langsung mengangkat Violin menuju UKS. Sesampainya di UKS Aksa menatap lekat wajah pacarnya yang sangat pucat. Ya, dia Aksa Britadiyura Pramudya pacar Violin disaat kenaikan kelas sebelas.

“Vio bangun, kok badan kamu panas sih!?” Aksa meletakan tangannya di dahi Violin. Demam. Aksa meminta Bimo untuk menyiapkan mobil. Aksa membopong Violin ala bridal style menuju parkiran. Dan membawa Violin ke rumah sakit.

***

Setelah kejadian beberapa minggu yang lalu Violin dan Aksa semakin dekat. Kedekatannya membuat teman-teman Aksa merasa iri. Di hari sabtu ini Aksa dan juga teman-temannya berencana berlibur ke Bali.  Begitupula dengan Violin dan sahabatnya, mereka semua ikut berlibur Bali, karena mereka mempunyai waktu berlibur selama empat hari.

“Hey bro… Pada kemana yang cewek-cewek??” Tanya Bimo.

“Lagi ke kamar mandi,” jawab Aksa sembari memainkan benda pipihnya.

“Sumpah gila gila… Gue tadi ketemu mantan di deket parkiran, dia tambah cantik tau.. Gue nyesel ke Bali gak ada pasangannya sendiri. Tau gitu Abel gak gue putusin. Nyesel guee,” gerutu Vernon.

“Aelah Ver, tuh ada yang nganggur temenya Violin. Siapa Sa namanya Ci-ci siape si?” tanya Bimo kebingungan.

“Cika ogeb,” Aksa menoyor kepala Bimo.

“Nah iya si Cika, dia jom–” jawabnya terpotong. Cika mendengarkan kalau para cowok sedang menyebut namanya.

“Apa-apaan Lo nyebut nama gue??”

“Cik. Sabar dong Cik, dateng-dateng udah mau marah aja. Itu si Vernon katanya mau jadi pacar Lo,” Bimo terbahak. Wajah Cika sudah merah padam.

“Boong Cik, gue gak ngomong gitu ya.”

“Halah boong aja tuh Cik, awhhh” Bimo yang mendapat cubitan di pinggangnya hanya meringis kesakitan. Akibat Willona  melarang Bimo berdebat oleh Cika.

“Udahlah jangan pada berantem, tuh sebentar lagi pesawat kita berangkat,” ujar Vilonin.

Setelah kejadian tadi di bandara akhirnya mereka semua sudah berada di dalam pesawat. Tempat duduk sesuai pasangan masing-masing. Karena Vernon dan Cika tidak punya pasangan jadilah mereka berdua duduk berdua. Waktu menuju ke Bali tidak memakan banyak waktu. Hanya membutuhkan satu jam lebih untuk Sampai.

***

Sekumpulan remaja tengah bersantai di kamar hotel masing-masing. Saat ini Violin mulai menyusun segala rencana untuk dua hari kedepannya. Sedangkan kedua temannya  menonton drakor di laptop Cika.

“Guys nanti kita ke tepi pantai yuk, gue mau liat pemandangan indah sehabis hujan. Mumpung abis hujan kita bisa liat pelangi,” ucap Willona.

“Ayo! gue udah lama gak liat pemandangan yang indah. Lo tau sendiri Jakarta, cuma ada gedung-gedung tinggi doang,” jawab Violin excited.

“Skuyy, gue ngikut aje. Oiya ajak yang cowok juga.”

Sore, hujan yang masih mengguyur Bali. Membuat para remaja itu geram ingin segera cepat keluar dari hotel. Bosan.

Setelah hujan mereda mereka semua segera berlari menuju tepi pantai, Violin dan Aksa memutuskan duduk di tepi pantai. Terperangah melihat indahnya pelangi sehabis hujan apalagi disaat senja. Membuat suasana semakin manis.

“Vi? Kamu tau aku sangat mencintaimu,” blush, pipi Violin memerah.

Kenapa Aksa mengungkapkan isi hatinya disini? Jantung oh jantung kuat yaa! Batin Violin.

“Ya, akupun sebaliknya sa.”

“Kamu tau Indahnya pelangi dan senja?” Violin menggeleng. Aksa menautkan tangannya bersama Violin. Gadis yang mampu membuat hidupnya berwarna kembali.

“Pelangi itu ibarat kamu Vi, yang sudah memberi warna mejiku di hidupku. Kalau senja seperti wajahmu saat ini, indah dan manis untuk dipandang.”  Violin menahan degup jantungnya yang tak karuan. Kupu-kupu ikut berterbangan dihatinya.

“Gombal… Oiya Sa, aku ingin satu hal dan kamu harus janji itu.”

“Apa?”

“Kamu gak boleh pergi ninggalin aku, ya? Jangan  pergi ya Sa, kalo kamu pergi hidupku akan kembali seperti dulu. Gelap,” Aksa mengangguk mantap.

Violin sudah menteskan air matanya di dada bidang milik Aksa. Kedua sejoli ini mempunyai hubungan yang bisa dibilang manis. Tidak pernah ada perdebatan sampai masalah besar dan berakhir kata putus. Karena kuncinya harus saling percaya, itu sebabnya mereka saling mencintai.

“Iya, pasti Vi. Setelah lulus SMA aku ingin melamarmu. Tapi tidak sekarang, aku belum punya apa-apa. Masa iya kita makan cinta. Gak kenyang Vi. Tunggu waktunya aja Vi,” Aksa menunjukan sederetan giginya.

Violin yang tadinya menangis menjadi ketawa akibat ucapan Aksa. Mereka tersenyum menenatap kearah keempat temannya sedang berlari-larian di tepian pantai dengan senyuman yang lebar. Inilah indah kisah cinta di masa putih abu-abu. Indah, manis dan juga berarti.

Terima kasih, pelangi di langit senjaku.

Terima kasih, Aksa sudah memberi warna indah dihidupku.

Aku bahagia telah dipertemukan oleh lelaki bernama Aksa Britadiyura Pramudya.

Aku selalu mencintaimu.

~ Violin Gracylin ~

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *