By: Nur Afifah asfiyati
“Hai”
Lambaian tangan Farid kepada anak-anak jalanan yang berada di bawah jembatan. Mereka tertawa riang menyambut kedatangan Farid. Mereka berlari ke arahnya berebut untuk memeluk sebuah kehangatan bagi mereka.
Wajahnya tampak kusam, berlepotan debu dan polusi udara karena lingkungan yang bergelut dengan jalanan, tetapi senyum mereka tetap utuh di sudut bibir dan binar di mata mereka masih sama. Lugu dan polos.
Kasarnya kehidupan ini tidak menghilangkan semangat dan kebahagiaan khas anak-anak dalam diri mereka.
Nafiya terpaku disamping Farid, terkejut melihat pemandangan itu.
Tempat itu begitu tidak layak, berbau comberan dan banyak sampah dimana-mana. Namun, mereka berjajar duduk dengan wajah sumringah dan manis, diatas tikar yang sudah robek. Hal itupun tak menyulutkan semangat belajar mereka.
Disamping Farid, berdiri seorang relawan yang sering menghabiskan waktunya untuk mengajari anak-anak yang haus akan ilmu pengetahuan.
“Anak-anak, kalian punya kakak baru nih. Temannya kak Farid. Namanya kak Nafiya,” ujarnya kepada anak-anak.
“Hallo kak Nafiya!” seru mereka kompak.
Farid kemudian mengobrol dengan seorang relawan tersebut. Panggil saja dengan nama Fatikha. Relawan itu adalah lulusan dari Universitas yang cukup terkenal dan saat ini dia konsisten mengajari anak-anak di bawah jembatan.
Farid berbincang dengan Bu Fatikha cukup lama. Nafiya menggantikan posisi Bu Fatikha. Dia mendekati papan tulis dan memandang satu-persatu anak tersebut.
“Kalian lagi belajar apa?” tanyanya. “Oh kalian lagi belajar perkalian ya.” Dia mengangguk melihat papan tulis. “Sekarang belajarnya sama kakak dulu ya. Oke?”
Beruntung Nafiya masih ingat perkalian anak SD, bukan masalah lagi. Emang itu dasar matematika. Dia menulis angka-angka di papan tulis, lalu mengajarkan kepada anak-anak itu. Mereka sangat antusias, berkali-kali mereka mengangkat jari berebut untuk menjawabnya.
Pandangan Nafiya tertuju pada satu anak yang mengacungkan tangan.
“Saya mau tanya, Kak Fiya!” suaranya menggebu-gebu. Seketika hening.
Anak-anak berhenti bersuara, lalu semua menoleh ke arah belakang. Nafiya mendekat. “Boleh, mau tanya apa?”
Anak laki-laki itu tubuhnya kecil selayaknya berusia 12 tahun, menyodorkan sebuah buku tebal dengan kumpulan rumus logaritma di dalamnya. Mata Nafiya membulat kaget melihat buku tersebut.
“Bu Fatikha nggak bisa mengajariku ini, katanya dia sudah lupa. Orang tuaku juga nggak sekolah. Aku nggak tahu harus bertanya sama siapa lagi.” Ujarnya.
“Hmm” Nafiya gagap. Mendadak mati kutu karena tidak sama sekali mengerti apa yang tanyakan oleh anak itu. “Kamu dapat buku ini dari mana?”
“Hasil ngamen, beli di toko loak.”
Nafiya membeku, membolak balik setiap lembar buku itu. Konsep eksponen, pangkat pecahan, operasi akar dan konsep logaritma.
“Kakak sudah SMA kan? Ini pelajaran SMP kak. Pasti sudah tahu!” Anak itu menyekakmat, “Pastinya Kak Nafiya sudah pernah belajar yang lebih sulit dari ini, ya?” tanyanya lagi dengan penuh harap bisa mengajarinya.
Nafiya membisu. Dia menatap buku itu dengan lesu. Dia memang tidak paham dengan rumus apalah itu.
“Ini kak, banyak bagian yang aku tidak ngerti…” Anak itu seolah olah tidak menyadari betapa bingungnya wajah Nafiya saat itu.
Dia membuka setiap babnya, membuka lembaran yang berisi soal logaritma. Dia mengamati setiap rumus dan angka yang berjajar rapi di buku dengan pandangan selayaknya orang haus dengan ilmu pengetahuan. Tampaknya dia butuh jawaban untuk menghilangkan dahaga dalam pikirannya.
Darah Nafiya berdesir, jantungnya berpacu lebih cepat, meneguk ludah dengan susah payah. Si anak itu menghiraukan Nafiya yang sejak tadi masih membisu karena tidak bisa menjawab.
“Gimana kak?” tuntutnya. “Bagaimana cara cepat untuk menjawab soal ini?”
Nafiya menggeleng. Tak mampu menjawab apapun. Dia juga tak tahu harus menjawab apa. Dan soal yang ditujukan itu, di luar batas kemampuannya.
Anak itu tak percaya. “Kakak serius?” Dia terbelalak. “Ternyata nggak semua orang yang bisa sekolah itu pintar, ya.” Dia memandangi seragam Nafiya dengan rasa sangat kecewa.
“Ini kan soal yang sudah dipelajari di sekolah. Tapi masa tidak ada satupun soal yang bisa jawab. Ternyata sekolah nggak bisa bikin jadi pintar dan pintarpun ga harus dengan sekolah ya.”
Suara anak itu terdengar keras sehingga membuat Farid dan Bu Fatikha mengalihkan perhatian. Entah apa yang dipikirkan Nafiya, pertanyaan yang di ajukan kepadanya seakan-akan menohok dengan telak.
“Iqbal!” Bu Fatikha memanggil Iqbal. Ya anak itu bernama Iqbal. “Kamu bilang apa? Hmm?” kata Bu Fatikha menghampiri Iqbal.
Farid menghampiri Nafiya yang wajahnya pucat pasi. “Fiya, lo nggak papa?”
Nafiya masih terdiam.
“Iqbal, cepat kamu minta maaf sama kak Fiya!” kata Bu Fatikha memaksa, “Ayo Iqbal.”
“Nggak mau. Aku nggak salah apa-apa, Bu. Aku cuma tanya beberapa soal yang aku nggak ngerti. Siapa tahu kak Fiya bisa jawab.”
Bu Fatikha menggeleng. “Bukan begitu caranya.”
Nafiya tak ingin berlama-lama dekat dengan anak itu. Dia berbalik badan. Berlari menjauhi anak itu. Tak peduli dengan teriakan Farid.
Entah mengapa dia sangat malu sekaligus bersalah dengan apa yang dikatakan oleh Iqbal. Tanpa disadari tetes demi tetes air mata turun di pipi.
***
Selama ini, Nafiya bisa bersekolah dengan nyaman. Bertemu dengan teman-teman lainnya. Namun dia lupa bahwa ada yang lebih membutuhkan ilmu tanpa harus bersekolah. Untuk makan sehari-hari saja mereka harus mengamen di jalanan. Dia tak pernah sadar bahwa jagat raya akan gelap gulita tanpa adanya ilmu di dalamnya.
Sampai pada akhirnya ada seorang anak kecil yang bertanya kepadanya. Anak kecil berusia 12 tahun bernama Iqbal. Anak yang tidak sekolah. Berbeda dengannya, yang sejak kecil sudah duduk dibangku sekolah. Iqbal tampak haus akan ilmu. Kecerdasan anak itu bisa dibilang sangat luar biasa, cerita Bu Fatikha menyadarkannya betapa bodohnya dirinya selama ini.
Iqbal ternyata mampu menghafal rumus buku tebal dalam hitungan jam saja. Memahami berbagai rumus matematika hanya dengan nalar dan logika. Anak itu selalu antusias setiap Bu Fatikha menceritakan dengan sejarah-sejarah.
Berbeda sekalli dengan dirinya.
Nafiya- dengan segala yang dimilikinya menganggap remeh ilmu pengetahuan yang diberikan kepadanya. Selama ini dia merasa suatu ilmu pengetahuan itu tidak sepenting sastra. Sudah sewajarnya jika seseorang memilih apa yang mereka suka. Bukan begitu?
Nafiya duduk di sebuah kursi dengan parkiran motor Farid. Dia malu dengan dirinya sendiri. “Gue baru sadar, selama ini gue bodoh banget!” Nafiya menggelengkan kepala. “Selama ini, gue berpikir bahwa ilmu pengetahuan itu tidak penting, hanya buang-buang waktu.”
Farid menepuk lembut kepala Nafiya. “Masih belum terlambat buat belajar.” Senyum lelaki itu mengembang.
Gadis itu menatapnya. Ada ketenangan di dalam senyumnya yang membuat merasa percaya diri. Lelaki itu menyeka air mata seseorang yang ada disampingnya.
“Gue kaya orang yang naik perahu di tengah laut. Tanpa arah. Tanpa tujuan. Bahkan tanpa nahkoda. Bingung harus apa? kemana?”
Farid mendekat, memalingkan wajahnya ke arah Nafiya. Memerhatikan sepasang mata yang masih berkaca-kaca.
“Kalau seandainya gue jadi nahkoda perahu yang lo naiki. Apa kira-kira lo bakal izinin?”
Nafiya hanya tersenyum simpul.