The Sniper (Part II)

ilustrasi (sumber gambar:www.telegraph.co.uk)
ilustrasi (sumber gambar:www.telegraph.co.uk)
ilustrasi (sumber gambar:www.telegraph.co.uk)

Baca Part I

Seungcheol masih telaten menyuapkan sesobek demi sesobek roti ke dalam mulut Jiyeon. Jiyeon tersenyum miris, sembari menatap nanar pohon besar di depannya. Keduanya terduduk di bangku taman kota, dengan satu tangan Seungcheol masih menggenggam tangan Jiyeon yang dingin.

“Seung-ah …,” lirih Jiyeon, masih menatap pohon besar di depannya.

Seungcheol mengeryitkan dahinya, “Ya?”

Jiyeon menghela napas. “Ceritakan padaku, bagaimana serunya kau dipeluk Ibumu!”

Seungcheol tersenyum. “Sangat seru Jiyeon-ah! Kau bisa melakukannya bersama Ibumu, nanti!”

“Apakah sangat seru dan mengasyikkan? Apa Ibumu terlihat bahagia?” Jiyeon bertanya dengan hati nyeri. Ia menggigit bibir bawahnya yang mulai bergetar. Menahan genangan air yang masih setia di pelupuknya.

“Ya, Ibuku sangat bahagia. Aku pun juga. Pelukan Ibuku sangat nyaman, Jiyeon-ah. Berada di pelukkannya, mampu memunculkan semangat baru dalam hidupku. Seperti menggenggam mimpi besarku!”

Jiyeon tersenyum kecut. Jujur, ia sangat iri pada Seugcheol. Jiyeon juga ingin merasakannya. Ia ingin menangis, tapi ia tahan. Setidaknya, ia tidak boleh memperlihatkan kesedihannya di depan Seungcheol.

Mereka terdiam beberapa saat. Seungcheol sibuk dalam pemikirannya sendiri dan Jiyeon sibuk memerhatikan pohon besar.

“Hey,” Jiyeon menghela napas, mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Seungcheol.

“Coba kau tebak, bagaimana perasaan daun gugur karena angin!”

Seungcheol antusias, ia ikut mengarahkan pandangannya pada pohon besar di depan mereka. “Kupikir, daun itu akan sedih, Jiyeon-ah. Ia harus berpisah dengan pohon.”

“Apa kau merasa adil, jika daun itu membenci angin?”

Seungcheol nampak berpikir sebentar, kemudian menggeleng pelan. “Tidak!” tegasnya. “Daun tidak pernah membenci angin, Jiyeon-ah.” Jiyeon menghela napasnya kasar. Menunduk dalam, karena tanpa sadar ia menangis.

“Memangnya ada apa?” Jiyeon bergeming, dan hening. Setelah beberapa menit pun, keadaan masih saja hening. Seungcheol mendengar isakan Jiyeon, dan ia baru menyadari alasan Jiyeon bergeming adalah menangis.

“Hey, ada apa dengamu, Jiyeon-ah?” tanyanya panik. Seungcheol menangkup kedua pipi Jiyeon untuk menghadapnya. Mata Jiyeon terpejam, hidungnya memerah, aliran sungai kecil menghiasi kedua pipinya, mampu membuat Seungcheol terluka tanpa alasan yang jelas.

“Kenapa kau menangis?” ulangnya, dan lagi-lagi Jiyeon bergeming.

“Hey, ada apa denganmu?” ucap Seungcheol panik. Lelaki kecil itu mengguncangkan kedua bahu Jiyeon agar Jiyeon membuka mata.

“Seung-ah …,” Jiyeon membuka kedua matanya. Seungcheol sedikit lega.

“Ibuku tidak pernah memelukku. Ibuku membenciku. Apa aku tak boleh membencinya seperti daun itu?” Jiyeon bertanya dengan bibir yang bergetar. Seungcheol terenyuh.

Sedetik kemudian, Seungcheol membawa Jiyeon kecil ke dalam dekapannya. Ia menyesal menuturkan perasaannya yang terlampau senang karena dipeluk Sang Ibu. Seungcheol harusnya sadar, Jiyeon menghabiskan setiap malamnya sendirian. Ibu Jiyeon selalu sibuk bekerja, dan Jiyeon kesepian.

“Tak apa jika Ibumu tak memelukmu, Jiyeon-ah!” Seungcheol tersenyum miris.

“Ada aku … ada aku, yang akan memelukmu kala kau kesepian dan bersedih.” Jiyeon tersenyum simpul.

“Jangan pernah membenci seseorang, Jiyeon-ah. Sebab, aku akan pergi darimu jika kau melakukan itu,” lanjut Seungcheol.

Jiyeon menarik tubuhnya ke belakang. Seungcheol mengernyitkan dahinya, heran. “Jadi, berjanjilah padaku!” Jiyeon mengusap air matanya kasar.

“Kau tidak akan pergi meninggalkanku dan selalu menemaniku agar aku tak kesepian!”

Seungcheol tersenyum tipis, “Ya, aku berjanji!”

***

Jiyeon masih asyik bermain perahu kecil bersama Seungcheol di pekarangan rumahnya. Gadis bersurai cokelat itu terus tersenyum saat jemari Seungcheol dengan atau tanpa sengaja menggenggam jemarinya. Bahkan, Seungcheol sesekali memuji betapa cantiknya Jiyeon, dan berhasil membuat Jiyeon terkikik geli karena senang.

“Jiyeon-ah! Bagaimana jika sekarang aku membuatkanmu pesawat? Nanti, aku memainkan perahumu, dan kau memainkan pesawatku! Kita pura-pura bertempur!” seru Seungcheol, bersemangat. Jiyeon mengangguk, menuntun Seungcheol duduk di dekatnya dan memberikannya selembar kertas.

“Ajarkan juga padaku, bagaimana cara membuatnya, Seung-ah!”

Seungcheol tersenyum semangat, kemudian mengangguk cepat. Ia mulai melipat kertas menjadi beberapa lipatan, diikuti Jiyeon dengan tatapan penuh binar. Seungcheol sesekali tersenyum geli memerhatikan wajah serius Jiyeon yang mengikutinya. Bahkan, saat Jiyeon kecil mengumpat kesal karena belum berhasil, Seungcheol merasa senang.

“Kenapa kau membuatkanku pesawat terbang, Seung-ah?”

“Dengar, Jiyeon-ah. Suatu saat nanti, aku akan membawamu terbang bersamaku di langit. Aku akan mengemudikan pesawat, dan kau berada di sampingku. Aku ingin menjadi pilot seperti Ayahku dan kau harus seperti Ibuku, menjadi pramugari!”

“Haha … kau memaksaku, Seung-ah!” Seungcheol menggeleng cepat.

Ia ingin protes, tapi Jiyeon malah menyelanya. “Apa karena kau ingin selalu bersamaku?”

Seungcheol menjentikkan jemarinya, tersenyum tulus untuk Jiyeon. “Ya, aku ingin. kau menjadi ibu dan aku ayah. Hidup bersama seperti ayah dan ibuku ….” Jiyeon tersenyum mendengar penuturan Seungcheol.

“Seung-ah! Seung-ah!” Jiyeon belum sempat membalas kalimat Seungcheol. Sebab, suara keras seorang wanita muda tiba-tiba menghampirinya. Jiyeon tahu, wanita itu adalah Ibu Seungcheol. Jadi, Jiyeon hanya menatapnya keduanya bergantian.

“Sudah berapa kali, Ibu bilang padamu …! Kau harus menjauhi anak ini!” Lee Eun Young—Ibu Seungcheol, menatap garang ke arah Jiyeon. Menarik cepat lengan Seungcheol dan membiarkan tubuh kecil anaknya berada di belakang tubuhnya.

“Ibu, aku menyayangi Jiyeon. Kenapa kau selalu menyuruhku untuk menjauhinya?” rengek Seungcheol, menarik-narik kedua ujung kaos ibunya.

Eun Young menghela napas kasar. “Karena ia anak haram!” teriak ibunya. “Jiyeon anak haram! Dan tidak akan pernah pantas untukmu!” Jiyeon tersentak, kalimat dari Ibu Seungcheol begitu asing baginya.

“Apa itu anak haram, Ahjumma?” tanya Jiyeon polos.

Karena sungguh, Jiyeon tidak tahu arti dari “anak haram” seperti umpatan Eun Young. Ia menatap nanar ke arah Eun Young dan Seungcheol bergantian. Namun, tidak didapatinya sebuah jawaban.

“Kita harus pergi ke Jeju sekarang, Seungcheol-ah!” Eun Young tidak menggubris pertanyaan Jiyeon. Ia menarik kedua lengan anaknya yang merengek untuk tetap tinggal—dan memohon kepada Jiyeon agar membantunya terbebas dari tarikan ibunya.

Namun, Jiyeon tidak cukup berani saat tatapan tajam Eun Young yang dilayangkan padanya begitu memakutkan. Jiyeon hanya bergeming, dan menangis melihat kepergian Seungcheol. Seungcheol meninggalkannya ke Jeju, dan lagi-lagi, Jiyeon gagal menahan orang yang disayanginya agar tetap tinggal. Cukup Ibunya yang pergi, tapi tidak untuk Seungcheol.

Jiyeon sangat menyayangi Seungcheol. Seungcheol yang selalu membuatnya terseyum dan memeluknya. Memberikannya beberapa makanan agar ia tidak kelaparan saat ditinggal ibunya. Namun, sekarang Jiyeon melakukan kesalahan yang fatal.

Ia membiarkan Seungcheolnya pergi ke Jeju. Melupakan janjinya untuk membuatkan Jiyeon sebuah pesawat terbang, juga untuk tidak meninggalkan Jiyeon.

“Apa karena aku anak haram, Ibuku meninggalkanku?” lirih Jiyeon, sembari menatap punggung Seungcheol dan Ibu Seungcheol menjauh.

“Tapi … aku tidak membenci Ibuku, Seung-ah! Lantas, kenapa kau beranjak pergi?” lirihnya sambil terisak.

***

Payungan, 6 April 2016

(Intan Hidayanti/Crew Magang_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *