Raden Ajeng Kartini, wanita yang berpengaruh di Indonesia yang hidup pada era pergantian abad, yaitu tepat tahun1879-1904. Meski begitu, jerih payahnya tak serta merta dapat dituai seketika. Butuh waktu lama hingga akhirnya namanya besar dengan gerakan emansipasi wanita yang mengekor bersama sejarah hidupnya. Gadis muda, nikah muda, ibu muda dan mati muda, itulah gambaran nyata sosok Kartini. Lahir pada tanggal 21 April 1879 memaksanya hidup dalam keterasingan zaman kala itu.
Di zamannya, poligami menjadi hal yang begitu dielukan para pria. Lantaran nafsu ataukah memang benar-benar ingin menyejahterakan kaum wanita. Bahkan, Kartini sendiri terlahir dari seorang wanita kaum abangan yang terjerat belenggu poligami bersama pria bangsawan. Ayahnya mempunyai beberapa istri dan selir yang sedia menemaninya kapanpun. Begitu relakah mereka hingga hal semacam itu menjadi hal yang wajar kala itu.
Buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Nampaknya itu dapat menggambarkan nasib sosok Kartini. Pasalnya, ia juga terjatuh di lubang yang sama dengan ibunya. Dipoligami oleh seorang pria bangsawan. Ia amat muda kala itu. Usianya sangat tepat bagi pemudi yang haus menggapai impiannya. Tapi tidak dengan Kartini. Ia rela melepaskan masa mudanya untuk sebuah kehidupan yang baru, kehidupan berkeluarga.
Meski begitu, hal tersebut tak membuatnya tersudut dalam pergerakan dan karya. Nyatanya, pemikirannya mampu mengubah derajat wanita lewat tulisan-tulisan yang begitu menggugah khalayak dunia. Lalu sebenarnya, bagaimana kerasnya hidup para perempuan di era Kartini? Lebih keraskah dari kehidupan kita? para Kartini-Kartini modern yang harusnya berkontribusi untuk bangsa.
Pada zaman Kartini, kehidupan diselubungi dengan tradisi poligami, menikah dini, dijodohkan, dikekang tanpa kebebasan, susah bersekolah, wanita yang diperjual belikan orang tuanya dan hal-hal lain yang membuat wanita terpuruk. Wanita serasa rusak karena sulit berkembang dan tak bisa keluar dari zona tidak nyaman mereka. Hanya bisa menuruti titah dari orang tua tanpa bisa menemukan alasan mengapa hal itu harus mereka lakukan. Hidup mereka berat, tapi hidup wanita sekarang bejat.
Ketika kebebasan mutlak bisa dirasakan seluruh wanita di dunia, justru itu menjadikan para wanita zaman sekarang enggan menyangga kehormatan layaknya perempuan istimewa. Perempuan yang dipersiapkan untuk pangeran mereka kelak. Padahal kebebasan sekarang sudah tidak perlu dituntut. Wanita dan pria setara. Tapi apakah justru itu yang membuat mereka merasa bisa lebih tinggi derajatnya dibandingkan para pria? Kemudian merusak citra bahkan harkat dan martabat mereka demi penguasaan mereka akan dunia. Dunia yang ingin dirajai oleh wanita. Bukankah begitu?
Kerasnya dunia wanita sekarang bukan karena serba sulitnya menghadapi hidup. Akan tetapi, sebab banyak tuntutan dari diri kita untuk melakukan hal-hal baru yang belum tentu itu baik bagi kita. Mengedepankan ego dan keelitan zaman seolah menjadi rambu-rambu mereka. Mengatur alur agar kaum wanita mutlak bebas merusak diri mereka bahkan dunia beserta para generasinya. Haruskah semua berpandangan buruk kepada wanita yang sejatinya menetaskaan benih-benih untuk perubahan dunia. Baik buruk populasi pengganti tergantung pada kita yang hidup di zaman ini. Apabila wanita semakin merusak harga diri mereka, bukan tidak mungkin bahwa generasi kita akan lebih terpedaya oleh keusilan masa. Emansipasi tidak cukup untuk wanita era kekinian. Masih butuh langkah keras agar wanita hidup sesuai kodrat lurusnya. Bukan wanita yang membuat jalur sendiri dan segan merusak diri.
(Alvina Fitria/Crew Magang_)