Menerjemahkan Wajah Pendidikan Sebagai Pabrik Pekerja Bernama Kampus

Ilustrator: zahrainnoor

Oleh: Muchamad Fatah Akrom

Menjadi bagian 16,7% orang yang diberi kesempatan mengenyam pendidikan perguruan tinggi apakah sebuah kemewahan?

Setelah kemarin gawai ponsel saya diramaikan dengan narasi-narasi reaksioner May Day. Pagi ini saya terbangun kesiangan, lalu melihat ada apa hari ini di dunia dari segenggam ponsel saya.

“Oh….hari ini hari pendidikan nasional toh”

Saya termasuk orang yang tidak berlebihan merespon agenda seremonial tersebut, apalagi soal hari pendidikan. Sejurus setelah saya mengendarai sepeda motor untuk mencari sarapan, saya masih melihat masih ada anak putus sekolah yang mengamen merdu menyanyikan lagu “Sore Tugu Pancoran” milik Maestro Iwan Fals.

Dalam momentum 64 tahun memperingati Hari Pendidikan nasional (Hadiknas) sejak penetapan pertama melalui Keppres No. 316 Tahun 1959, saya menyadari, bahwa Pendidikan hari ini telah meninggalkan Ruh-nya. Saya sebagai mahasiswa yang lahir dari rahim lapisan masyarakat bawah mecoba menguraikan distrupsi pendidikan yang tak lagi menjadi ruang pembebasan ketertidasan dan kebodohan malahan mereduksi pendidikan kritis demi kepentingan parlementarisme dan industri.

Bolehkah Aku Namai Pencetak Sarjana Sampah?

“Dengan adanya budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.” Ki Hajar Dewantara.

Beberapa bulan lalu, tepatnya pada 17/3/2023 kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga menyelenggarakan kegiatan Pembekalan Alumni Calon Wisudawan Periode Maret 2023 UIN Salatiga dengan tema “Profil Alumni Harapan Company”, bagi saya tema ini menggelitik dan jadi perbincangan beberapa teman sejawat, walaupun saya rasa yang diwisuda pun tidak terlalu peduli. Disadari atau tidak hal diatas menjelaskan posisi UIN Salatiga yang komersil dan pro pasar. Dengan diterapkannya pendidikan sebagai instrumen yang dapat diliberalisasi, secara tidak langsung tatanan global telah menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang komersil.

Dari hal tersebut muncul pertayaan apa yang salah?

Visi UIN Salatiga menjadikan pusat unggulan moderasi Islam, kepeloporan sains, teknologi, dan seni untuk keluhuran martabat kemanusiaan Tahun 2045 rasa-rasanya akan menjadi cita-cita semata. Pada akhirnya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berlomba-lomba menjadi entitas ‘privat’ yang bersaing untuk melahirkan tenaga kerja yang ujung-ujungnya dieksploitasi, alih-alih mencetak intelektual yang terlibat aktif dalam produksi pengetahuan dalam semua level profesi yang digeluti.

Terlalu jauh jika kita membahas pendidikan kaum tertindas milik Paulo Freire, bahkan pendidikan kita pun belum bisa mencapai cita-cita Ki Hajar Dewantara tentang bagaimana pendidikan yang memerdekakan untuk semua golongan. Legitimasi UIN Salatiga sebagai kampus rakyat karena biaya murah lama-lama akan tergerus dan menjadikan pendidikan sebagai alat reproduksi kesenjangan sosial di ranah pendidikan, mengakibatkan adanya klasifikasi kelas sosial atas kepemilikan modal budaya pengetahuan dan gaya hidup.

Toh seumpama tahun ini saya dan teman saya diwisuda pun saya merasa masih minder untuk bersaing dengan lulusan kampus lain dengan kualifikasi company yang semakin kompleks. Ini bukan tanpa alasan dikutip dari Vice.id berjudul “Melacak Penyebab Ribuan Sarjana Menganggur di Indonesia Tak Kunjung Dilirik Perusahaan” Menyebutkan Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang.

Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2017.

Menurut Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Pada 2017, ada lebih dari 4.000 perguruan tinggi di Indonesia, di mana sekira 97 persennya adalah kampus swasta. Aptisi menuding pemerintah terlalu gampang memberikan izin pendirian perguruan tinggi. Tapi sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Alih memperketat perizinan Kemenristekdikti malah mempersingkat izin pendirian perguruan tinggi menjadi cuma tiga bulan. Saking gampangnya bikin perguruan tinggi, bangunan ruko empat lantai pun bisa disulap jadi kampus. Dalam fenomena banyaknya kampus ini juga berkaitan dengan kualitas lulusan sarjana saya bertaya jika wajah pendidikan hari ini hanya akan terus mendirikan pabrik-pabrik bernama universitas yang mencetak sarjana-sarjana sampah dengan kualitas rendah, dan temanku hanya diam tak merespon.

Sumber Foto: databoks.katadata.co.id

Di akhir tulisan ini saya merasa kita berada di dalam sebuah sistem yang melekat erat pada diri kita. Semenjak World Trade Organization (WTO) disahkan melalui UU no 7 tahun 1994 tentang Agreement on Establishing the World Trade Organization. Tidak terkecuali pendidikan Indonesia pun harus terintegrasi kedalam sistem kapitalisme. Dan kebijakan-kebijakan neo-liberal mengharuskan pendidikan untuk dikomodifikasi.

Jika dulu mahasiswa dihadapkan masalah Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah (orde baru) secara paksa. Konsep ini dibuat agar mahasiswa tidak terlibat dalam dinamika politik mahasiswa harus menuju pada jalur kegiatan akademik dan tidak ikut-ikutan dalam aktivitas politik, ini juga karena gerakan mahasiswa dinilai dapat membahayakan, bahkan dapat merubah situasi politik Indonesia pada massa itu. Namun, untuk mahasiswa saat ini seakan dibuat tertidur dan tidak melihat betapa eksploitatifnya wajah pendidikan saat ini, kita dibuat seakan tidak berdaya dan selalu diarahkan untuk sibuk terhadap persoalan-persoalan akademik atau disibukkan magang-magang kerja di perusahan ketimbang pengabdian di masyarakat.

Mengutip perkataan Antonio Gramsci tentang hegemoni kelas dan kontrol
“Hegemoni yang merasuki mental dan cara berfikir kelompok yang dominan tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moralis intelektual serta budaya.”

Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan negara seperti sekolah, modal, media dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang disusupkan lewat alat-alat tadi bagi Gramsci merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide yang diinginkan melalui negara menjadi norma yang seakan disepakati oleh masyarakat. Mahasiswa pada akhirnya menjadi tenaga kerja cadangan yang siap mengantri di pabrik-pabrik dan juga mengabdi kepada sistem. dan ilmu pengetahuan di kampus diakomodir untuk melahirkan kembali teknologi yang lebih maju dari sebelumnya.

Sedangkan pada situasi saat ini relung pergerakan mahasiswa terkesan menye-menye dan reaksioner tanpa ada isu yang konsisten dan jelas. Animo gerakan mahasiswa untuk mengawal permasalahan pendidikan ini cukup minim. Bukannya menganggap isu lain tidak penting, tetapi masa depan pendidikan juga penting untuk disikapi, direspons, dan diselamatkan nasibnya. 

Apa boleh dikata seperti ini lah wajah pendidikan dewasa ini,
Yang terpenting adalah menjaga kewarasan nalar kritis.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *