Sumber Foto: detik.com
Oleh: Faiz Alfa
Orang yang berkecimpung dalam dunia ketenagakerjaan saat ini, terlebih para pekerja, harus berterimakasih kepada Karl Marx (1818-1883). Bukan tanpa alasan. Hak-hak yang didapat para pekerja sekarang, seperti standarisasi upah, sistem lembur, cuti kerja, dan pembatasan jam kerja, semuanya diadopsi dari pemikiran Marx. Penulis buku Das Kapital ini memang terkenal sebagai ilmuwan sosial yang getol membela kaum buruh tertindas dengan teori-teorinya.
Dulu, semasa hidupnya, kondisi kaum pekerja (working class) begitu menyesakkan dada. Mereka bekerja selama dua belas jam dalam sehari dan tanpa libur! Artinya, mereka bekerja selama 84 jam dalam seminggu. Ini baru satu contoh, belum lagi pemerasan, penindasan, dan eksploitasi terhadap kaum pekerja yang dilakukan oleh para pemilik modal. Keterangan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda baca dalam buku The Condition of the Working Class in England yang ditulis oleh Friedrich Engels.
Saat itu pula, kaum pekerja sudah terkelompokkan dalam sebuah kelas sosial yang berdiri sendiri dan terpisah dari kelompok sosial lain, seperti petani, pedagang, militer, dan birokrat. Kelas pekerja ini tercipta sebagai akibat dari adanya Revolusi Industri. Terlebih Revolusi Industri 2.0, ketika listrik sudah ditemukan.
Mesin-mesin di pabrik dapat berfungsi selama seharian tanpa henti dan gelapnya malam tidak menghalangi orang untuk bekerja. Pabrik-pabrik pun menyerap lebih banyak tenaga kerja. Mereka itulah yang saat ini sering disebut buruh. Namun, apakah sebutan itu tepat? Bisa iya dan bisa pula tidak.
Meninjau Ulang Definisi Buruh
Pekerja rendahan di pabrik, sering mendemo pemilik perusahaan, berpendidikan rendah, dan besaran gajinya mengacu pada Upah Minimum Regional (UMR), itu semua adalah hal-hal yang pertama kali terlintas dalam pikiran banyak orang saat mendengar kata “buruh”. Padahal, bila mau membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita akan tahu kalau kata “buruh” memiliki arti “orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah”. Jadi, secara etimologis, definisi buruh lebih luas dari yang dipahami kebanyakan orang saat ini.
Dalam KBBI, “buruh” memiliki sinonim dengan “pekerja”. Kata “buruh” juga dapat dirangkai menjadi kabungan kata seperti “buruh pabrik”, “buruh tani”, “buruh anak”, “buruh harian”, “buruh lepas”, dan lain sebagainya. Sampai di sini, kita dapat berkesimpulan bahwa profesi-profesi seperti mandor, supervisor, bahkan manajer perusahaan, semuanya adalah buruh, meski upah mereka relatif tinggi.
Agak kurang puas rasanya bila melihat definisi buruh hanya dari segi bahasa saja. Untuk itu, pengertian buruh yang tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu dikutip di sini.“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain,” begitulah bunyi Pasal 1 Ayat 3 dalam UU tersebut.
Pengertian di atas, bila dibandingkan dengan arti kata “buruh” dalam KBBI tadi, nampak tidak berbeda jauh. Hanya saja, dalam UU tersebut, ditambahkan kriteria “imbalan dalam bentuk lain” karena upah identik dengan uang tunai. Sedangkan, saat ini, alat pembayaran yang sah tidak hanya berupa uang tunai. Ada alat pembayaran lain seperti cek, bilyet giro, nota debit, uang elektronik (seperti bitcoin, etherium, paypal), dan sebagainya. Walhasil, definisi ini menguatkan kesimpulan kita tadi.
Kita Semua adalah Buruh
Kembali pada pertanyaan awal, yaitu apakah sebutan buruh yang disematkan kepada para pekerja pabrik itu tepat atau tidak, ada dua jawaban di sini. Sebutan itu bisa dikatakan tepat karena mereka, para pekerja pabrik, memang masuk dalam kategori buruh. Namun, sebutan itu menjadi tidak tepat apabila buruh dianggap hanya mereka yang bekerja sebagai ‘kuli’ di pabrik.
Dengan mengacu pada KBBI dan UU No. 13 Tahun 2003 tadi, boleh jadi seluruh penduduk di Indonesia atau bahkan seluruh penghuni bumi didominasi oleh mereka yang berprofesi sebagai buruh. Bahkan, bila pengertian buruh yang sudah penulis uraikan tadi dipahami secara filosofis, tidak menutup kemungkinan kita semua adalah buruh dalam kriteria dan batas-batas tertentu.
Misalnya, katakanlah kita adalah mahasiswa yang ingin mendapat nilai bagus dalam kuliah. Kita kemudian melakukan segala cara untuk mencapainya. Salah satu caranya adalah mengerjakan tugas dari sang dosen dengan sebaik-baiknya. Bahkan, tidak jarang kita mengorbankan hak asasi tubuh untuk beristirahat demi dapat menyelesaikan tugas dengan baik.
Dalam kasus ini, secara filosofis, kita sebagai mahasiswa dapat ditempatkan dalam posisi “orang yang bekerja”. Sedangkan dosen yang memberi tugas adalah si “pemberi kerja”. Nilai yang kita dapatkan setelah mengerjakan tugas dari dosen adalah “upah”, atau bisa juga diposisikan sebagai “imbalan dalam bentuk lain”. Semakin tinggi “upah” yang kita harapkan, semakin sungguh-sungguh usaha kita dalam “melakukan pekerjaan”. Begitu pula, semakin bagus nilai yang kita targetkan, semakin serius pula kita dalam mengerjakan tugas yang diberikan.
Anda boleh setuju atau tidak dengan asumsi tersebut. Hanya saja, penulis ingin menyampaikan bahwa: para buruh berjasa besar dalam segala lini kehidupan kita. Memandang mereka secara rendah sama halnya dengan tidak tahu rasa terimakasih. Satu lagi, buruh pabrik tidak jauh berbeda dengan kita. Sama-sama bekerja dan menerima upah. Bedanya, mereka buruh industri sementara kita adalah buruh intelektual.
Selamat memperingati Hari Buruh Sedunia!
Kaum buruh seluruh negeri, bersatulah!