Sumber Foto: Images.app.goo.gl.
Oleh: Sikna Aurel Rianditha/Kontributor
Bau kubis busuk sungguh sukar terelakkan. Bak hijau berukuran tak lebih dari tiga meter yang terbuat dari plastik polietilen itu meskipun tidak terlalu berserakan aromanya sungguh memekakkan hidung. Terletak di ujung jalan buntu, bak hijau itu selain beraroma tidak sedap juga dikelilingi puluhan atau bahkan ratusan serangga yang berdengung.
Bagaimanapun, tidak akan ada satu insan-pun yang bisa hidup berdampingan dengan bak hijau itu. Ya, seharusnya. Nyatanya, seorang anak kecil berusia tak lebih dari 7 tahun dengan rambut menjuntai kasar dan kotor, diikuti bajunya yang kelewat usang, serta tatapan sendu sirat kepedihan yang mendalam itu duduk sembari memeluk lutut mungilnya. Sudah berapa lama ia duduk disana? Bahkan aroma kubis busuk melekat pada dirinya. Tidak ada niatkah ia untuk pindah tempat duduk, menggelandang di dekat pasar atau terminal misalnya?
“Tempat ini pilihan terbaik meski jarang sekali mendapatkan makanan yang layak. Juga bebas dari preman dan tidak terlalu ramai dikunjungi orang.” Itulah yang selalu ia rapalkan ketika ia mulai berpikir untuk pindah ke tempat lain.
Bukan tanpa alasan, anak kecil itu memilih menggelandang di dekat bak sampah lantaran sejauh tiga kilometer mata memandang adalah dipenuhi ruko-ruko tempat makan. Mulai dari makanan lokal atau internasional, yang murah atau yang mahal, yang kuah atau goreng, yang pedas atau manis, sungguh semuanya ada disana. Anak kecil itu juga lebih dari tahu bahwa dari ujung jalan buntu ini ia tidak akan pernah bisa mencicipi barang secuil dari pelbagai jenis makanan itu.
“Kuharap aku bisa makan hari ini…” lirihnya.
Seharusnya ini sudah pukul dua siang. Tapi tak seorang pun datang barang dengan kantong plastik berisi sisa saus misalnya. Dan seharusnya anak kecil itu sudah tidak makan sejak tadi malam, pun jika diingat ia hanya memakan sepotong roti yang sudah berjamur. Saat seperti ini kepala kecilnya riuh memikirkan segala kemungkinan. Bagaimana jika tidak ada yang datang membuang sampah hari ini? Atau bagaimana jika ternyata mereka -orang yang akan membuang sampah- memilih untuk membawa sampahnya keluar dari gang dan tidak melalui jalan buntu itu? Tapi, ya, mau apa mereka berjalan hingga ujung dan hanya bertemu jalan buntu?
Disela pemikirannya, dari matanya yang redup serta tubuhnya yang gemetar ia menangkap bayangan hitam dengan suara keresek. Ia lantas mendongak, tersenyum tipis melihat pria yang sedang menuju kemari membawa sisa makanan dalam keresek tersebut. Raut wajahnya terlihat sangat angkuh meski ia mengenakan masker, sorot mata yang tidak enak dipandang. Brugg… Suara kresek yang dilempar dari jarak dua kaki itu menggema. Begitu si pria membalikkan badan ia bergegas berdiri dan segera membuka keresek tersebut.
“Cih, gelandangan. Tidak berguna.” Desis pria tersebut. Sontak ia terkejut namun memilih untuk tak mengindahkannya.
Setelah mencari, sayang, yang ia temukan hanya sampah tisu, bungkus jajanan, serta pecahan kaca yang untungnya tidak mengenai tangan kotornya. Pencariannya tak mandek disitu, ia mengeluarkan seluruh isi keresek tersebut dan kembali mencari dengan cermat. Itu dia! Nasi sisa. Sesaat senyumnya hadir sebelum suara gonggongan memecah keheningan. Ia menolehkan kepala lalu sedikit mengayunkan kakinya, mengenai perut si anjing. Si anjing terlempar cukup jauh meski tenaga yang ia gunakan tidak seberapa, mungkin si anjing itu sama laparnya hingga menopang badan pun menjadi persoalan.
Selang beberapa saat setelah si anjing itu terlempar, suara gonggongan lain yang lebih cempreng dan melengking terdengar. Rupanya si anjing membawa anak yang mirip sekali warna serta corak bulunya. Mata anak anjing itu memerah dan nyalang, seolah meneriakkan “apa yang kamu lakukan terhadap ibuku!”. Si ibu anjing masih saja terkapar, anak kecil itu lalu tersenyum getir. Perlahan ia menjauh, meninggalkan sisa nasi yang seharusnya itu cukup untuk mengganjal perutnya hingga jam tutup tempat makan nanti tiba -sekitar pukul 10 malam- sembari menanti lebih banyak orang membuang sampah.
“Makanlah, walau hanya sedikit,” ujarnya sembari berlalu. Si anak kecil duduk tak jauh dari bak hijau itu. Bukan kali ini saja ia kelaparan, itu sudah biasa.
“Biarlah anjing itu memberi makan untuk anaknya, aku yakin ia juga tidak akan mengambil bagian dari sisa makanan itu.” Lanjutnya.
Dari jarak sepuluh kaki bisa ia lihat si anak anjing mulai makan, dibantu oleh ibunya yang membawanya naik ke atas bak sampah. Si ibu anjing hanya geming, seolah menolak rasa lapar yang datang. Dalam hati ia juga meringis, menertawai hidupnya yang sungguh lebih dari kata malang.
“Berebut nasi dengan anjing, buruk juga nasibku ini.” Keluhnya.
Apakah semua anak yang ditinggal mati oleh orang tua akan bernasib sama dengannya? Jika begitu akan ada berapa ribu anak malang yang harus berebut makan dengan anjing? Di tengah pemikirannya, ia melihat seorang wanita muda yang mungkin umurnya tidak lebih dari dua puluh lima tahun membuang sampah dengan keresek berwarna putih.
“Anak kecil yang malang.” Suara lembut itu terdengar sendu meski wanita itu juga tidak mengulurkan tangannya untukku.
Mangga, itu kulit mangga! Begitu plastik itu dibuang ke tong kecil yang ia baru tahu ada tempat sampah disana, ia pun bergegas memastikan. Dan, ya, mungkin ini adalah hasil dari kebaikannya tadi mempersilahkan anjing liar untuk memakan sisa nasi temuannya. Ia mengambil kulit mangga itu dan menjilatinya dengan senyum, sungguh manis, pikirnya. Jika ia tidak salah menerka mungkin terdapat tiga atau empat buah mangga utuh sebelum dikupas, tapi ternyata hanya ada satu pelok yang tersisa meski kulitnya sangat banyak -tak mungkin jika hanya satu. Ia mengambil pelok tersebut dan sedikit mengoyaknya untuk mendapatkan barang sedikit daging buah yang masih tersisa. Beruntunglah ia, tidak jadi terpaksa menelan ludah dari tenggorokan yang kering.
“Jadi, seperti apa rasanya menjadi berguna?” tanya yang entah kepada siapa ia lontarkan. Si anak kecil mendongak lalu menyipitkan mata, silau matahari baru saja menyapanya.
Di saat seperti inilah timbul harapan, bisakah ia merasakan rasanya dibutuhkan? Lain tanya, mungkinkah ia mendapatkan perlindungan dari terik matahari dan dinginnya hujan? Bicara soal kemungkinan, sedikit harap yang sangat enggan ia pegang, bisakah pekerja pemerintah bahkan negara ini memperhatikan mereka, si kaum kecil? Atau malah terbesit keinginan untuk memusnahkan golongannya? Sungguh, di tengah kehidupan yang serba individualis, jika bukan kepada mereka yang disebut wakil rakyat, kepada siapa lagi anak kecil itu berharap? Tapi, pantaskah ia menaruh harapan? Harapan yang dibebankan kepada orang lain padahal ialah pemilik kendali kehidupan. Bukankah seharusnya ia merdeka? Lalu mengapa ia merasa terpenjara menghadapi mereka yang menolak kehadirannya?
“Seseorang, tolong jelaskan. Bagaimana caranya hidup?” tuturnya.
Semua ini terlalu melelahkan, si anak kecil lebih memilih berpikir “apa yang akan aku makan nanti?” ketimbang persoalan rumit. Pikirannya masih sangat lurus, tidak menuntut, hanya berharap perutnya tidak lagi keroncongan.