The Sniper (Part I)

ilustrasi (sumber gambar:www.telegraph.co.uk)
ilustrasi (sumber gambar:www.telegraph.co.uk)
ilustrasi (sumber gambar:www.telegraph.co.uk)

Jiyeon kecil mengingsutkan tubuhnya ke dalam selimut. Bergumam pelan dengan hidung yang masih memerah. Sesekali berdoa, semoga ibunya cepat pulang dan memeluknya. Jiyeon benci kegelapan, Jiyeon benci suara petir yang terus menggema, Jiyeon juga benci hujan yang tak kunjung mereda.

Tubuhnya terasa dingin, dan ia semakin membenci hal itu. Gadis kecil berusia 5 tahun itu hanya menangis, sesekali meraung saat suara petir kembali menggelegar.

“Ibu …,” lirihnya ketakutan. Jiyeon memeluk tubuhnya sendiri di dalam selimut. Memejamkan kedua matanya dengan bibir yang masih bergetar. Gadis kecil itu tak mampu berbuat apapun. Jadi, ia hanya menangis terisak di dalam rumah dan bergeming.

“Aku takut, Ibu. Rumah kita gelap,” Jiyeon meringkuk di bawah gulungan selimut. Suara petir masih menggelegar di luar sana, dan hujan deras masih mengguyur tempatnya. Lampu di rumahnya padam, badai di luar sana masih beraksi dan sesekali penutup atapnya menyingkap, mengakibatkan angin besar berlomba masuk ke dalam rumahnya dan membuat Jiyeon kecil semakin meringkuk kedinginan.

“Aku takut, Ibu …,” lirih Jiyeon. Hingga gadis kecil itu tertidur.

Kim Ara memasuki rumahnya dengan langkah cepat. Segera menuju kamar satu-satunya dan mulai mengepak beberapa helai bajunya ke dalam koper. Tidak sedikit pun ia melirik putrinya yang tertidur dalam gulungan selimut. Ara sama sekali tidak peduli.

Suara ribut di sekitar Jiyeon, membuat tidurnya terusik. Gadis kecil itu segera menyingkap selimutnya, dan mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Ia menghela napas lega, hujan di luar sana sudah mereda, dan ia sudah tidak merasa kedinginan lagi sekarang.

“Ibu,” pekiknya senang. Jiyeon segera memeluk Ibunya dengan sepasang lengan kecilnya. “Aku senang Ibu kembali. Aku ketakutan saat hujan badai tadi, lampu di rumah kita padam, Bu!” ujarnya.

“Hei!” Kim Ara memutar bola matanya jengah, lalu mendorong tubuh kecil putrinya hingga terjatuh ke ranjang. “Dengar, jangan ganggu Ibu!” titahnya kasar.

Kim Jiyeon hampir menangis, namun ia segera tersenyum. Ia tahu, ibunya sedang sibuk dan Jiyeon harus mengerti ibunya. Lagi pula, tidak apa jika ia diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Toh, Jiyeon menyayangi ibunya, dan hanya ingin membuat ibunya nyaman.

“Ibu, apa kau ingin menemaniku tidur malam ini?” tanya Jiyeon polos. Kedua matanya berbinar, penuh harap. “Aku ingin, Ibu memelukku sepanjang waktu. Jika perlu, aku tidak butuh makan dan minum seharian. Berada di dalam pelukan Ibu, pasti sangat menyenangkan,” ujarnya senang.

Kim Ara melirik sekilas putri kecilnya, kembali memasukkan beberapa helai pakaiannya ke dalam koper. Demi apapun, Kim Ara malas dengan ocehan Jiyeon. Kim Ara terlalu membenci gadis itu, hingga ia tidak berniat sama sekali untuk menggubrisnya.

“Seungcheol bilang padaku …, jika ia selalu nyaman di dalam pelukan ibunya. Aku sebenarnya iri, bu. Tapi, aku harus mengerti Ibu. Ibu sibuk mencari uang untuk menghidupiku,” lirih Jiyeon polos.

“Dengar, Ibu membencimu! Tidak pernahkah kau mengerti itu?” Tatapan tajam dari ibunya membuat Jiyeon mendelik. Ia mengingsutkan tubuhnya mundur, tidak berani menatap mata tajam ibunya. Jiyeon menyayangi ibunya, tidak peduli jika ibunya tidak menyayanginya.

“Aku akan pergi, dan jangan pernah memanggilku ibu lagi!” Kim Ara masih menatap tajam putri satu-satunya. Menggertakkan gerahamnya dan segera beranjak.

“Ibu kembali bekerja.” Jiyeon menggigit bibir bawahnya. “Dan aku … akan menunggu ibu pulang,” ucapnya sambil menunduk.

“Bodoh!” Kim Ara tidak peduli dengan kalimat anaknya. “Ibu pergi dan tidak akan kembali, Jiyeon!”

“Bu …,” Jiyeon terisak. “Bisakah sebelum pergi, kau memelukku sekali saja?” rengeknya.

“Tidak!” ucap Ara sinis. Dengan cepat, ia beranjak meinggalkan anaknya di dalam kamar. Ia hanya ingin terbebas dari takdir menyedihkan yang ia miliki. Pergi meninggalkan Jiyeon dan menemukan kehidupan baru.

Jiyeon menangis meraung di dalam kamar. Sedetik kemudian, gadis kecil itu berlari keluar kamar. Mengejar ibunya bukanlah hal buruk, dan Jiyeon menyesal setelahnya. Tindakannya terlambat, ia melihat ibunya masuk ke dalam sebuah mobil dan melaju kencang setelahnya.

Jiyeon terisak, menyerukan nama ibunya berkali-kali dan mengejar mobil yang melaju kencang tersebut. Ia menyesal karena tidak menahan ibunya sedari tadi. Ia takut, jika hidup sendiri tanpa ibunya. Ibunya mengucapkan kata “Tidak akan kembali” sebelumnya, dan itu semakin membuat Jiyeon ketakutan.

Jadi, walaupun rintik hujan masih mengguyur, ia berlari mengejar ibunya. Setidaknya, Jiyeon telah berusaha. “Ibu,” Jiyeon terisak, kedua bahunya merosot ke bawah dan ia jatuh terduduk. “Apa memelukku, teramat sulit bagimu?”

***

Jiyeon tidak tahu seberapa lama ia menangis kembali, seberapa lama hujan mengguyur tubuhnya dengan lantang. Ia juga tidak tahu, mengapa tubuhnya terlalu kuat menahan suhu dingin. “Mengapa kau membenciku, Bu?” isaknya.

“Jiyeon-ah!” Lelaki kecil—berusia 6 tahun—dengan sebuah payung di tangannya, berlari kecil menghampiri Jiyeon. “Apa yang kau lakukan di sini?” Terselip sebuah kekhawatiran di sana, Jiyeon tersenyum senang. Setidaknya, ada seseorang yang memedulikannya.

Jiyeon mendongak, dan semakin mengembangkan senyum. Ternyata, benar dugaannya bahwa Choi Seungcheol berada di depannya dan berbagi payung dengannya.

“Apa yang kau lakukan, Jiyeon-ah? Kau bisa sakit jika kau bermain hujan seperti ini!” Seungcheol dengan cepat melepas jaket yang ia kenakan, memakaikannya di tubuh Jiyeon.

“Sekarang, kuantar kau pulang!” Seungcheol membantu Jiyeon berdiri. Jiyeon tersenyum kembali.

“Seung-ah …,” lirihnya.

“Berjanjilah padaku, kau akan menjadi satu-satunya orang yang terus menyayangiku!” ucapnya penuh harap.

Seungcheol mengangguk. “Aku akan terus menyayangimu, Jiyeon-ah!”

Seungcheol menghela napas. “Aku juga tidak peduli dengan makian Ibu, yang menyuruhku menjauhimu. Karena aku, menyayangimu …,” kalimat polos Seungcheol kecil berhasil membuat hati Jiyeon sedikit lega. Jika ibunya tak menyayanginya, setidaknya Seungcheol menyayanginya.

***

To be Continued…

Baca Part II

(Intan Hidayanti/Crew Magang_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *