Senyuman Dalam Secarik Kertas yang Kusimpan

Doc.Berlian Uswatun C
Doc.Berlian Uswatun C
Doc.Berlian Uswatun C

 

“Celakanya aku menyimpanmu begitu rapat, bahkan terik matahari pun tak mampu membuatmu jadi uap, nahasnya aku mengukir namamu begitu dalam, hingga laut pasang tak mampu menghapuskan.”

Caption  yang cukup menarik bagiku. Caption  ini ku tulis disaat aku sedikit teringat tentang cerita masa lalu, ingat hanya sedikit lho ya, bukan berarti aku tidak bisa move  on, tapi memang aku belum bisa melupakanya secara sempurna.

Aku memang memiliki kenangan yang cukup menarik, terutama dengan yang namanya perasaan.  Sering aku membayangkan, bahkan aku sering meminta kepada Tuhan untuk bisa merasakan perasaan yang sama, untuk kedua kali dan terakhir kalinya seperti perasaan yang pernah aku rasakan ketika aku di dekatnya.  Perasaan yang begitu tulus, polos, dan tidak bercampur dengan nafsu birahi.  Karena saat itu, aku sepertinya benar-benar merasakan apa yang orang-orang sebut dengan ‘kerinduan’.

****

“Namamu siapa?” tanyaku malu.

Dia hanya terdiam, terlalu asyik dengan buku yang ada di tangannya.

Sekilas aku membaca judul buku itu, Laskar Pelangi.

“Ehm ehm.” Aku masih mencoba untuk menarik perhatiannya.  Dia tidak menggubris, mungkin sudah tenggelam dalam lautan imaji.  Mungkin sudah terbius kata-katanya Andrea Hirata.

Aku masih belum mau menyerah, ku goyangkan pelan-pelan kursi di sampingku.

Dia menengok, dengan tanggap aku langsung memberinya pertanyaan.

“Maaf mba, boleh kenalan?”

“Oh iya boleh.”

“Saya Okta mba, asli dari Salatiga.”

“Saya Nagisha mas, asli Semarang.”

Bus yang kami naiki tiba-tiba mengerem mendadak, dan terdengar bunyi decitan kampas rem.  Tanpa aku sadari bus telah melewati tikungan tajam Temanggung.  Supir bus kali ini memang bisa dibilang ugal-ugalan, mungkin terinspirasi dengan film fast and furious. Ketika bus menikung tajam, badan Nagisha terhuyung ke bahu ku cukup keras.

“Maaf mas, lagi konsen baca novel jadi nggak sempet pegangan.”

“Oh iya, nggak papa kok mba.” Jawabku sambil menunjukan senyuman yang ramah.

“Pegangan sama tanganku aja juga nggak papa kok mba, nyender ke bahuku juga nggak papa, bahu kekar gini sayang dianggurin mba,” kataku dalam lamunan.  Aku berusaha keras untuk menghentikan lamunanku itu, kita baru kenal. Mengapa  aku  menghayal  begitu jauh.

“Mas, nikah.” Suara itu datang dari samping.  Terdengar lamat-lamat memang, apalagi disaat aku sedang melamun. Aku heran kenapa langsung secepat ini dia mengajak untuk nikah, atau jangan-jangan ini yang disebut keinginan nikah pada pandangan pertama?  Apa jangan-jangan dia juga merasakan getaran yang sama? Alangkah indahnya, ada seorang perempuan secantik Nagisha langsung bertekuk lutut hanya dengan duduk bersampingan di bus jurusan Semarang-Purwokerto, apa aku begitu memesona sehingga dia langsung mengutarakan niat baiknya?

“hihhi alhamdulillah,” aku tertawa dalam hati.

“Maaf mba, barusan mba ngomong apa yah?” dengan wajah berseri-seri aku mencoba mengklarifikasi, bahwa apa yang aku dengar tidak salah.

“Ooh, tadi aku nanya mas, masnya kuliah?”

“Yah!” Aku kaget, mungkin wajahku pucat.

“lho kenapa mas? Kok mukanya biru gitu?” tanya Nagisha heran.

“Eeh, enggak papa kok mba.” Jawabku spontan.

“Kirain mba ngajak nikah,” gerutuku lirih.

“Mas ngomong apa?”

“Eng..eng..Engga kok mba.” Jawabku gugup

“Aku denger lho mas”

“Ih..Masa sih mba?” tanyaku tidak percaya, karena memang suaraku saat itu mungkin hanya hewan ultrasonik yang bisa mendengarnya.

“Iya mas, bahkan degupan suara hati mas sampai ke supir bus ini mungkin,” goda Nagisha sambil tertawa kecil.

“Haaah?” Aku melongo tidak mengerti.

“Permisi mas, sebentar lagi saya mau turun,” Nagisha  berdiri dari kursinya.

“Oh iya iya,” aku berdiri dan bergeser ke samping agar Nagisha bisa lewat.

Setelah di pasar Parakan, bus mulai melaju pelan.

“Parakan, Parakan,” suara khas kondektur terdengar nyaring.

“Mas saya turun dulu yah.” Senyum manisnya mengembang.

“Iya mba, hati-hati.”

“Oh iya mas, jangan panggil mba, panggil saja Nagisha,” sembari menyodorkan kertas yang terlipat.

“Ok mba, eeh, Nagisha maksudnya, hehehe” sambil merenges kuambil kertas kecil itu.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Kemudian Nagisha turun. Aku masih memperhatikannya, meski Nagisha telah jauh dari pandanganku, bahkan bus mulai melaju kembali. Nagisha memiliki postur tubuh yang ideal, wajah oval dan senyumnya sangat manis. Kemudian aku tersadar Nagisha memberikan kertas kecil yang di lipat rapi, aku buru-buru membukanya saking semangatnya kertas itu sobek menjadi dua bagian.

“Aaaah.” Aku sedikit kesal.

Memang benar, sesuatu yang dikerjakan dengan tergesa-gesa itu tidak baik.  Kemudian dengan tenang aku jejerkan dua sobekan kecil kertas itu agar bisa terbaca lengkap. Aku sungguh penasaran, sebenarnya apa yang di tulis olehnya.

Tulisannya samar-samar, seperti bukan tulisan tangan. Kemudian aku kembali baca dengan teliti tulisan yang ada dikertas itu. Tulisannya kecil-kecil, tapi rapi. Aku rasa banyak tulisan yang hilang, atau mungkin karena lama digenggam sehingga hilang dari pandangan. Ada tulisan yang masih bisa jelas untuk dibaca.

Tisue                   :Rp 5000

Aqua 600 ml    :Rp 3000

Astaga, ternyata itu bekas struk pembelian. Jadi, apa maksudnya memberikan aku struk pembelan ini.  Aku hanya geleng-geleng kepala sembari mencar-cari barangkali ada tulisan yang memang sengaja ia tulis.  Ketika kubuka lipatan kecil yang ada disobekan pertama terdapat bekas tinta warna biru.  Tulisannya begitu imut, tapi masih bisa jelas untuk dibaca. “Semoga Tuhan menghendaki kita bertemu lagi.”  Sesingkat itukah yang ingin ia sampaikan kepadaku? Padahal aku berharap itu adalah contact person yang bisa aku hubungi.

Setelah membaca tulisan itu badanku sedikit lesu, tapi tulisan itu juga mampu membuatku tertunduk malu.  Apakah mungkin kami akan bertemu lagi? Rasanya sangat tidak mungkin.  Tak apa. Biarlah kusimpan catatan ini. Karena aku percaya kemungkinan itu selalu ada, bahkan ketika kemungkinan itu mendekati nol sekali pun.  Bukankah jika Tuhan berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin.

“Biarlah catatan ini menjadi kejutan untuknya, jika kelak kami dipertemukan kembali oleh Tuhan,” kataku dalam hati.

“Semoga saja.” Kemudian aku tersenyum tenang, dan melipat kertas itu lalu memasukkannya ke dalam dompet.

 

(Agus Mujianto/Red_)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *