Cerpen: Hidup Hanya Numpang Ketawa

Sumber Foto: Wartamusik.com.

Oleh: Meyva Lutfiana Putri/Kontributor


Konser Jason Ranti malam itu penuh riang oleh para penggemar setia. Lagu-lagu Jason yang puitis, sedikit gila, dan penuh dengan sindiran halus tentang hidup menarik banyak orang dari berbagai latar belakang. Yuna berdiri di tengah kerumunan, menikmati alunan musik sambil meresapi melodi. Di antara lirik-lirik absurd dan petikan gitar Jason yang mendayu-dayu, Yuna merasa hidup seakan mendapat warna baru.

Sebuah tepukan lembut di pundaknya membuat Yuna menoleh. Di sebelahnya, seorang laki-laki dengan rambut brokoli, kaos hitam, dan senyum kecil yang menenangkan sedang berdiri.

“Seru, ya? Jason selalu bisa mengaduk-aduk emosi,” kata laki-laki itu, suaranya terdengar renyah di tengah riuh rendah suara penonton.

Yuna tersenyum sambil mengangguk. “Iya, lirik-liriknya selalu pas, antara absurd dan jenius. Kayak kalau Nietzsche main gitar, mungkin jadinya begini.”

Laki-laki itu tertawa. “Atau kayak kalau Kafka lagi nulis novel, tapi diselingi main ukulele.”

Dari sana, percakapan mereka mengalir begitu saja. Namanya Abi, mahasiswa seni yang juga suka membaca filsafat, mendengarkan musik indie, dan menulis puisi. Sejak malam itu, mereka sering bertemu di acara-acara musik atau sekadar nongkrong di kafe kecil untuk berbincang. Abi punya pemikiran yang dalam tentang banyak hal, dan mereka sering terjebak dalam diskusi-diskusi panjang tentang makna hidup, karya-karya Camus, sampai puisi-puisi Chairil Anwar.

“Kamu pernah berpikir,” kata Abi suatu hari di sebuah kafe, “kalau kita hidup seperti musik Jason Ranti? Kadang nggak masuk akal, tapi ada makna di baliknya.”

Yuna menatapnya, terpesona oleh cara berpikirnya yang tak terduga. “Iya, hidup memang sering terasa aneh. Tapi mungkin di situlah keindahannya. Kayak puisi yang nggak semua orang bisa pahami, tapi tetap indah untuk didengar.”

Abi tersenyum lembut, tatapan matanya seakan menyelami pemikiran Yuna. Mereka terus berbincang tentang musik, puisi, dan filsafat, seolah-olah mereka terikat oleh benang merah yang tak terlihat.

Malam demi malam berlalu, dan pertemanan mereka semakin erat. Hingga suatu hari, ketika mereka sedang duduk di taman kampus, Abi tiba-tiba berkata,

“Aku merasa kita terlalu sering ngomongin hal yang berat. Gimana kalau kita omongin sesuatu yang lebih ringan?”

Yuna terkejut.

“Seperti apa?”

“Sesuatu yang lebih… personal.”

Yuna diam sesaat, mencoba memahami maksud Abi. “Oke. Kamu mau ngomong apa?”

Abi menarik napas dalam. “Yuna, aku mau jujur. Aku suka kamu.”

Perkataan itu membuat Yuna terdiam sejenak. Mereka memang sudah sangat dekat, tapi Yuna tidak pernah menyangka Abi akan mengakuinya dengan begitu langsung. Dia merasa hatinya dipenuhi oleh perasaan aneh—senang, tapi juga ada keraguan.

Abi menatapnya penuh harap. “Aku tahu mungkin ini agak mendadak, tapi aku cuma ingin tahu perasaan kamu. Aku nyaman sama kamu, cara kita ngobrol, cara kita lihat dunia… semuanya terasa benar.”

Yuna tersenyum tipis. “Abi, aku juga suka ngobrol sama kamu. Kamu bikin aku lihat banyak hal dari sudut pandang baru. Tapi… ada sesuatu yang harus aku kasih tahu juga.”

Abi mengernyit, tampak sedikit cemas. “Apa itu?”

Yuna menatapnya dalam-dalam. “Aku sebenarnya sudah punya pacar.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Abi tampak terkejut. “Tunggu, apa? Kamu nggak pernah cerita soal ini.”

Yuna mengangguk pelan, merasa sedikit bersalah. “Iya, aku nggak cerita karena… yah, aku nggak tahu bagaimana caranya membawa topik itu ke dalam percakapan kita. Pacarku, Raihan, lagi kuliah di luar negeri. Hubungan jarak jauh. Tapi… dia tetap ada di hatiku.”

Abi terdiam, menundukkan kepala. “Jadi, semua obrolan kita, keintiman kita… nggak berarti apa-apa buat kamu?”

“Bukan begitu, Abi,” Yuna buru-buru menjelaskan. “Aku sangat menghargai semua obrolan kita. Kamu temanku yang luar biasa, dan aku nggak pernah bermaksud menyesatkan perasaanmu. Tapi aku juga nggak bisa mengingkari apa yang sudah ada.”

Abi terdiam. Ia bangkit, memandang Yuna sejenak, lalu pergi. Yuna merasa kosong. Dia tidak pernah bermaksud menyakiti Abi, tapi kejujurannya malah membuat semuanya berantakan.

Beberapa minggu berlalu dalam kesunyian. Yuna merasa kehilangan, meski ia tahu Abi masih ada di kampus. Mereka tidak lagi saling menyapa. Rasanya berat, tapi Yuna merasa dia sudah membuat pilihan yang benar.
Hingga suatu malam, di konser Jason Ranti lainnya, Yuna tiba-tiba melihat sosok yang dikenalnya di tengah kerumunan. Itu Abi, sedang berdiri sendiri, memejamkan mata sambil menikmati alunan musik. Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekatinya.

“Abi,” panggil Yuna pelan.

Abi membuka mata dan menatapnya. “Hei,” jawabnya, singkat.

Yuna berdiri di sampingnya. Lagu Jason yang baru dimulai terasa seolah memberikan latar pada pertemuan mereka.

“Aku kangen ngobrol sama kamu,” kata Yuna akhirnya, merasa jujur dengan dirinya sendiri.

Abi menatapnya dalam-dalam. “Kamu tahu, Yuna, selama ini aku bukan cuma suka kamu karena kita punya hobi yang sama. Aku suka kamu karena kamu bisa ngertiin aku, sesuatu yang jarang aku temuin.”

Yuna merasa hatinya berdebar. “Aku juga ngerasa gitu, Abi. Dan selama kita nggak ketemu, aku nyadar… perasaanku sama kamu bukan cuma soal ketertarikan. Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu.”

“Tapi pacarmu…”

Yuna menarik napas dalam. “Raihan dan aku sudah bicara. Kami memutuskan untuk berpisah. Hubungan jarak jauh ini nggak berjalan seperti yang kami harapkan. Kami masing-masing butuh ruang untuk tumbuh, dan aku sadar… perasaanku sudah berubah.”

Abi terdiam, tampak bingung. “Jadi kamu—”

“Aku memilihmu, Abi,” kata Yuna pelan namun tegas.

“Aku ingin kita bisa terus ngobrol soal musik, puisi, filsafat, dan semuanya. Aku ingin kita bisa melanjutkan apa yang sudah kita mulai.”

Abi tertegun, menatapnya tak percaya. Perlahan, senyum muncul di wajahnya. “Jason Ranti bilang, ‘Hidup itu absurd, tapi ada makna di baliknya.’ Mungkin ini makna yang kita cari, ya?”

Yuna tertawa kecil, lega. “Mungkin begitu.”
Di tengah konser yang penuh dengan ironi dan lirik-lirik yang menggelitik, mereka berdua berdiri bersama, merasakan bahwa absurditas hidup terkadang membawa kejutan yang indah.

    

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *