Dia Lesbi, tapi… (Part II)

ilustrasi-lesbian (sumber gambar: batam.tribunnews.com)
ilustrasi-lesbian (sumber gambar: batam.tribunnews.com)
ilustrasi-lesbian (sumber gambar: batam.tribunnews.com)

Tiga hari tanpa hasil, tanpa fosil. Kewarasanku mulai pudar. Polisi terus berupaya, tapi hasilnya memupuskan asa. Hingga suatu ketika….
Berita mengabarkan ada pembegalan dengan pembunuhan yang terjadi di sekitar hutan dimana istriku menghilang. Aku semakin tak karuan. Tuhan, alur hidup macam apa lagi ini? Aku menjauh dari titik sadarku. Aku semakin menggila.
Kupaksa tubuh yang cemas dengan berlari ke hutan. Kutelusuri lagi meski hasil juga tak pasti. Hanya bisa menyingkirkan letih di saat-saat genting seperti ini. Kupercepat langkahku dan….
Sreeeeeeettttt….!
Untuk kesekian kalinya aku terperosok. Kali ini jurangnya lumayan tajam, tapi rasanya tak ada kesakitan yang berarti dibanding sakitku kehilangan Rindu. Rasa-rasanya hutan bagian ini sama sekali belum terjamah olehku. Aku mencari jalan. Tapi yang kutemui justru susunan ranting pohon yang dibuat semacam tempat survive para petualang.
Kudekati, ada sisa-sisa pembakaran entah apa itu. Berarti ada kehidupan disini. Tapi siapa? Aku melanjutkan perjalanan. Kudapati seorang wanita yang mencoba meraih jantung pisang. Dia menolehku. Hampir sebaya dengan Rindu, tapi itu bukan dia. Dia mengajakku duduk dan aku mulai bercerita tentang hilangnya Rindu, istriku. Dengan terkejut dia merespon ceritaku.
“Aku Jenar, kalau kita sambungkan cerita bisa saja nyambung. Aku seorang Lesbian yang dinikahkan paksa oleh Bapakku. Ketika aku tidak ada hasrat dengan lelaki, suamiku mengejarku dan berniat membunuhku. Sampailah aku di tepian hutan ini. Kalau Mas Alang menemukan darah di sekitar mobilmu itu memang darah istrimu.”
“Apa? Lalu dimana istriku sekarang?” responku panik.
“Mas sabar dulu, Mbak Rindu pendarahan pas aku sampai di dekat mobilmu. Aku menghampirinya dalam situasi aku juga dikejar. Tapi naluri setiap wanita sama. Meski aku lesbi aku juga berhati keibuan. Aku juga lahir dari pasangan normal. Kurangkul dia sampai bawah pohon tempat dimana Mas Alang menemukan darah. Akhirnya, setelah keadaan mulai aman, kubawa Mbak Rindu ke klinik bersalin. Kudorong dia dengan gerobak yang teronggok di tengah hutan itu. Anakmu sudah lahir walaupun prematur,” lanjutnya.
“Lalu kenapa Mbak Jenar tetap disini?”
“Aku tetap cari aman, kalau-kalau suamiku siap menghabisiku. Istrimu sudah cerita banyak tentangmu, juga aku, aku bagikan sebagian besar rahasiaku kepadanya karena aku percaya istrimu baik.”
“Bisa antarkan saya ke klinik itu?”
“Oh, tentu Mas, dengan senang hati.”
Meninggalkan hutan. Berbaur lagi dengan aroma pedesaan, lalu perkotaan. Tangguh benar wanita lesbian ini mengantar istriku hingga ke kota, lewat jalan tikus pula. Aku salut.
Sekitar jam 11:57 di jam tanganku. Kumasuki bangsal persalinan yang nampak sepi, memang sepi. Kusambangi ruang yang katanya ditempati istriku. Tidak ada. Kemana dia? Kutanya perawat yang berjaga. Mengejutkan. Katanya dia sudah pulang kemarin. Kemana? Aku semakin tak karuan.
Aku pulang, Jenar turut denganku. Sampai rumah, dan Rindu tak ada juga. Arrrgggghhh. Hariku penuh episode kegalauan. Kubiarkan saja Jenar menginap di rumahku. Di kamar tamu.
***
Dua hari Jenar di rumah. Semacam istriku yang melayani kebutuhanku, kecuali kebutuhan batinku. Dia lesbian dan aku setia dengan Rindu. Jenar memutuskan untuk pulang. Kuantar dia hingga rumah orang tuanya. Tampilan luar rumahnya terasa damai, tapi tidak dalamnya. Namun, sambutan ramah datang dari orang tuanya.
“Permisi!”
“Oh, iya silahkan masuk.”
“ Iya, pak! Terima kasih.”
“Lhoh, kok Si Jenar dengan anda, tidak dengan suaminya?”
“Iya. Begini, Pak….”
Belum usai aku bicara, datang wanita cantik yang mengejutkanku. Dia Rindu. Rindu yang kurindu. Istriku. Aku dan Jenar sama-sama terperanjat dengannya. Mulutku serasa bisu membeku. Kusapa dia walau aku gagu.
“Ri-Rindu?”
“Iya Mas.”
“Dengan siapa kamu kesini? Bagaimana kamu tahu ini rumahnya Jenar?”
“Di klinik kemarin, KTP Jenar yang buat jaminan. Jadi pas aku pulang sama anak kita, aku langsung kesini. Maaf buat kamu khawatir.”
“Tapi untuk apa harus kesini? Kan bisa pulang ke rumah?”
“Aku ingin berterima kasih dengan orang tua Mbak Jenar karena telah mendidik anak sebegitu baiknya.”
“Apa maksudmu Ri? Baik dari mana? Aku lesbian, abnormal, tidak bisa menuruti kata orang tua. Apa baiknya?” Jenar menyela.
“Iya Jen, kamu memang lesbian, tapi kamu punya naluri keibuan dan mempertegas bahwa kamu tetap perempuan.”
Sejurus kemudian, ibu Jenar keluar menimang seorang bayi perempuan yang kulitnya masih kemerahan. Dia anakku, aku yakin itu. Diciuminya bayi itu dengan penuh kasih keibuan. Dikembalikan bayi itu kepada ibunya, Rindu. Ia tak memandang bahwa bayi itu bukan cucunya.
Pandanganku beralih pada Jenar yang menatap ibunya penuh haru. Ia menangis. Berlari bersujud mencium kaki ibunya. Kemudian berdiri dan menatap ibunya dengan haru berlimang.
“Ibu, apakah aku masih anakmu?” ia bertanya seolah lugu.
“Kau tetap anakku, bagaimanapun kamu dulu, sekarang bahkan kelak.”
Dia lanjutkan tangisnya.
“Ibu, maafkan aku yang melampaui kenormalan. Bimbing aku untuk menjadi seperti ibu.”
“Kau juga calon ibu nak, ibu yakin kau akan memberikan cucu untuk kami. Entah kapan itu.”
“Ibuuuuuuuu!” ia memeluk ibunya erat.
***
Enam bulan berlalu sejak peristiwa itu, aku hidup lebih luar biasa dengan bayiku. Kuberi nama dia Jenar. Bukan karena Jenar yang menyelamatkan istriku. Tapi, karena pertama kali aku melihat dia masih berkulit merah (Jenar dalam bahasa jawa). Sempat kudapatkan kabar bahwa Jenar yang dulu lesbian telah kembali rujuk dengan suaminya. Bahkan, ia hamil empat bulan. Ia bisa normal. Ya, bisa.

(Alvina Fitria/Crew Magang_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *