Sebelum Cahaya

setiasapanas.com
setiasapanas.com
setiasapanas.com

Di balik bukit kecil yang cukup jauh dari kota, berdiri kokoh sebuah rumah bercat putih yang lama tak berpenghuni. Mentari seakan terbit dari balik atapnya dan menyinari seisi rumah itu. Pagi yang cerah untuk mengawali hari yang indah, dimana pucuk-pucuk bunga mulai merekah perlahan dibalut dengan sapaan sinar mentari. Tetapi, hujan semalam membuat jalan setapak ini terlihat semakin sempit dan licin. Selangkah demi selangkah ku telurusi jalan setapak ini. Tempat dimana kami memulai dan menghabiskan banyak kenangan.

Dua tahun yang lalu, dengan berani ku putuskan untuk merantau ke Makasar. Bekerja di Gallery Lukisan milik Mbak Hanna. Awalnya aku merasa gugup ketika mengutarakan niat ku pada Emak. “Mak …” kata ku perlahan. “Pergilah Sa, Mak baik-baik saja”. Aku terkejut karena Emak sudah tahu apa yang akan ku katakan. Dengan berat hati ku jawab “Jikalau Mak meridhoi, Raisa akan pergi besok”. Aku selalu percaya bahwa apa yang Emak ucapakan adalah bagian doanya untuk ku. Jadi sore itu aku mengemasi barang-barang yang akan ku bawa. Sejam kemudian Mbak Hanna datang ke rumah maka pergilah aku selepas senja itu. “Hati-hati di sana Nak, kabari Mak kalau sudah sampai” kata Emak sambil mengecup kening ku. Tiba-tiba setetes air jatuh membasahi pipi dan perlahan mengalir semakin deras.

Ini bukan kali pertama aku naik perahu besar yang membawa ribuan penumpang menyeberang pulau. Di kaca terlihat ombak saling berkejaran di tengah gelapnya malam dan bintang-bintang itu berkerlap-kerlip seakan mengatakan “Selamat datang di lautan”. Ku pejamkan kedua mata dan ku hela nafas panjang. Sejenak melupakan hari-hari yang akan ku lalui tanpa Emak, pasti akan terasa berat.

Perlahan ku buka ke dua mata ku. Ku rasakan sengatan sinar mentari menembus dinding-dinding kaca. Saat semua ruh ku telah berkumpul dan menyatu, ku sadari semua keasingan ini. “Apa ini benar Makasar?” kata ku dalam hati. Ku langkahkan kaki menuju jendela. Ku sibakkan tirai bambu yang berukuran 1x1m itu. Gedung-gedung bertingkat menjamur dimana-mana, tak kanan tak kiri semuanya di penuhi bangunan-bangunan serba mewah.

“Pagi Sa” sapaan ramag Mbak Hanna membuyarkan ke kaguman ku

“Pagi Mbak, kapan kita sampai sini?”

“Pagi tadi jam 3”

Aku yakin Mbak Hanna tertawa melihat kebingungan ku. Ia mengatakan bahwa aku harus segera membereskan barang-barang yang ku bawa kemudian mandi lalu sarapan. Katanya, ini adalah rumah kontrakan untuk pegawai baru. Rumah ini memiliki 7 kamar dengan 2 kamar mandi, sebuah dapur minimalis dan ruang berkumpul yang cukup nyaman. Jika dugaan ku tidak salah, dua teman yang sedesa dengan ku Ryn dan Eska juga tinggal di sini. Setelah semuanya beres, aku turun ke ruang berkumpul. Ku lihat lebih dari 7 orang berada di sana termasuk Ryn dan Eska. Semua orang tersenyum ramah ketika ku dekati meja makan.

“Silakan duduk dan nikmati sarapannya”. Setelah semua selesai sarapan, Mbak Hanna mulai menjelaskan kepada kami perihal pekerjaan. Hari pertama ini akan di adakan pembekalan dan siangnya pembagian tugas. Aku dan Ryn di tugaskan di bagian akutansi. Tugas kami adalah menghitung gaji untuk pegawai. Gallery Mbak Hanna memang tidak terlalu besar namun cukup terkenal dan ia memiliki kurang lebih 20 pegawai. Pembekalan selesai pukul 15:00 WIBA kemudian Mbak Hanna mengantar kami berkeliling dan berkenalan dengan pegawai lainnya. Selesai berkeliling, kami di perbolehkan kembali ke rumah.

***

Awalnya memang terasa berat hidup di tanah orang dan jauh dari Emak tapi nyatanya hari demi hari berlalu. Setiap menit berlalu begitu saja dan semuanya mulai terasa sama, panas matahari, senjanya kemudian malam. Ku lirik kalender kecil di samping computer, 2 bulan lagi waktunya pulang. Membayangkannya saja membuat ku senang tak ketulungan. Ku bayangkan wajah Emak yang tersenyum menyambut ku di jalan setapak.

2 bulan kemudian. Waktu yang ku tunggu tiba. Sebelum di antar ke bandara, Mbak Hanna memberi kami pesangon dan beberapa makanan khas Makasar. Pukul 20:00 WIBA kami sampai di bandara. Setelah menunggu setidaknya 15 menit kemudian kami meluncur menuju Yogyakarta. Inilah pertama kalinya aku melakukan penerbangan. Awalnya sedikit gugup ketika pesawat mulai menembus awan. Hanya ada hamparan awan gelap yang tak berujung. Aku sempat berfikir bagaimana orang-orang bisa membuat sebuah benda melewati awan padahal di awan tidak ada jalan sama sekali. Sibuk dengan lamunanku, tiba-tiba pesawat kami medarat satu jam kemudian. Di bandara inilah kami berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Ku lihat Emak menunggu di dekat pintu keluar. Ia mengenakan jaket rajut kesukaannya yang warna nya hampir memudar. Ku percepat langkah kaki ku lalu ku dekap tubuh Emak. Sebelum pulang, ku ajak Emak makan sate di warung langganan kami.

***

 

Rasanya baru kemarin ku habiskan waktu bersama Emak, kini aku harus kembali lagi ke Makasar. Ku nikmati tiap menit yang berlalu. Ku curahkan semua kerinduanku padanya. Ku ceritakan semua yang ku lalui tanpa Emak. Ku rebahkan badan sejenak dan ku tatap cakrawala. Senja datang. Semburat jingga ke merah-merahan mulai menghias langit. Ku pejamkan kedua mata dan ku biarkan angin menembus pori-pori wajah ku

“Apa yang sedang kamu lakukan Sa?”

“Menikmati pemandangan Mak”

“Apa bedanya senja di sini dan di sana?”

“Bedanya … Mmm … di sini ada senja bersama Emak dan di sana tidak” kata ku sambil tertawa

“Ahh kamu bisa aja Sa! Ayooo makan dulu nanti Mak antar ke bandara”

“Tidak usah Mak, sudah malam. Lagipula Ryn akan menjemput ku nanti”

“Tidak. Sama Mak saja titik”

Itulah yang ku ingat terakhir kali, percakapan terakhir dengan Emak. Andai saja waktu dapat ku putar, malam itu aku takkan kembali ke Makasar. Akan ku katakan bahwa aku sangat menyayangi Emak. Bahwa dialah segalanya.

***

 

Sebentar lagi senja. Ku bereskan dokumen-dokumen keuangan yang ada di meja lalu ku matikan komputernya. Ku lihat Mbak Hanna terburu-buru masuk ke kantor. “Sa, kamu harus kembali sekarang” katanya. “Kemana Mbak? Rumah kontrakan?”

“Bukan, ke Yogya”

“Memang kenapa Mbak? Jatah pulang masih 3 bulan lagi kan?”

“Tidak ada apa-apa Sa, pulanglah nanti kamu akan tahu”

“Apa terjadi sesuatu Mbak?”. Mbak Hanna tidak menjawab. Wajahnya terlihat pucat dan jari-jari tangannya gemetar ketara sekali. Seakan ada yang ia sembunyikan. Mbak Hanna memberi ku tiket dan baju hangat. Tanpa sempat bertanya, Mbak Hanna menarik lengan ku dan berkata “Hati-hati di jalan Sa”. Aku melompat masuk ke dalam mobil lalu ku kirimkan pesan pada Emak tapi tak ada jawaban. Ku telpon berkali-kali tak ada jawaban pula. Jantung ku terus berdetak kencang, lebih cepat daripada ketika aku berlari.

Satu jam kemudian aku sampai di bandara, dengan gugup aku melangkah keluar gerbang. Mas Fai sudah menunggu ku. Tanpa berkata apa-apa, mobil melaju dengan cepat. Hembusan angin malam bergulat dengan lelah dan rasa cemas. Biasanya kami melewati jalan setapak tapi kali ini Mas Fai melewati jalan menuju desa tetangga. Ku lihat rumah begitu terang. Orang-orang berlalu-lalang dan ketika ku langkahkan kaki menuju rumah, orang-orang melihat ku dengan tatapan tak biasa. “Ada apa Mas? Kok ramai sekali?”. Mas Fai terdiam sejenak, “Masuk dulu saja Sa”. Langkah ku semakin tak karuan memasuki pelataran rumah. Kaki ku terhenti di antara papan hitam bertuliskan “Telah meninggal dunia dengan tenang, Rosyidah (45) pukul 17:15 …”. Seluruh tubuh ku membeku. Tiba-tiba badai datang menghantam jantung ku dan meremukkan semua bagian-bagiannya dan kemudian gelap.

Dalam ketidaksadaranku, ku melihat sekumpulan cahaya terbang ke langit bersama dengan titik cahaya yang paling terang lalu ku dengar ia berkata “Bangunlah, Mak di samping mu Sa”. Sedikit demi sedikit ku buka ke dua mata ku. Perlahan ku tatap ke adaan di sekeliling ku dan ternyata semua itu nyata. Aku berharap ini hanyalah khayalan ku tapi nyatanya …

Mbak Hanna yang ternyata ikut pulang, membantu ku berdiri. Ku langkahkan kaki keluar dan ku pandang lekat-lekat foto Emak “Mengapa Mak? Mengapa kau lakukan ini?! Kini aku harus bagaimana?!”. Sebelum sampai tangan ku menyentuh bingkainya, aku terjatuh lagi. Di sepertiga malam, ku dengar lagi bisikan itu “Emak di sini Sa, bersama mu”. Air mata ku terus mengalir. Membuat sudut mata ku tak terlihat lagi. Ku dekap foto Emak erat-erat. Pagi ini adalah pagi paling kelam. Tak ada lagi cahaya yang menyinari pagi ku. Sebelumnya, setiap kali aku bangun cahaya itu menghampiri ku sambil berkata “Selamat pagi Sa” tapi kini tidak lagi.

Paginya Mbak Hanna mengantar ku ke tempat Emak di makamkan. Ia mengatakan bahwa Emak baik-baik saja sebelum pergi, Emak hanya bilang ingin istirahat. Aku tahu betul Emak bukan orang yang suka mengeluh dan membebani oranglain. Ku tatap nisan Emak lekat-lekat, ku pastikan memang namanya yang terukir di sana. Entah apa yang ku katakan dalam hati, berdoa, mengeluh, mengupat dan semuanya ku katakan pada Emak.  Kaki ku mulai gemetar kala perlahan ku tinggalkan makam itu. Dan nafas ku berhembus tak beraturan. Ku pejamkan mata dan ku biarkan rasa sakit mengelilingi jiwaku.

Ku tatap jalan setapak ini dan rumah bercat putih yang berdiri kokoh di ujungnya. Ku langkahkan kaki. Kini tinggallah aku sendiri bersama ribuan kenangan yang tak mungkin ku lupakan. Aku tak kan pernah pergi lagi. Meninggalkan rumah apalagi melupakan kenangan di dalamnya. Senja ini ku tatap lagi cakrawala. Bukannya awan jingga tapi kelabu warnanya. Seakan ia tahu semua tentang ku. Ku pejamkan mata lebih awal cepat agar aku terbangun sebelum cahaya.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *