Kita Adalah Nabi, Tumbuhlah Liar terhadap Tirani

Sumber Foto: Youtube Efek Rumah Kaca

Oleh: Ahmad Ramzy

Bersemi Sekebun pada album Rimpang adalah salah satu lagu yang menjaga nalar berpikir rakyat, untuk senantiasa melestarikan harapan perlawanan di tengah utopis dan alienasi yang begitu mengikat. 

Kita adalah nabi (red: tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi termaktub di dalam Q.S. Al-Baqarah: 30), mewujudkan perubahan dengan tantangan yang seringkali mengangkangi manusia-manusia tak berdaya. Nabi dalam pengertian di sini, dimaksudkan sebagai tanggung jawab moral yang tersemat pada setiap manusia untuk menjadi penolong bagi sesamanya. Tugas ini perlu disadari oleh setiap manusia di tengah konflik yang berkecamuk oleh tangan-tangan manusia yang haus kekuasaan dan tamak terhadap kekayaan materiil tanpa memikirkan nasib kaum mustadh’afin. Tak terkecuali para pemimpin kita—Neo-Fir’aun yang menghegemoni rakyat.

Pada lagu Bersemi Sekebun inilah, kita menyaksikan orkestrasi kekerasan yang menjadi satu di dalam kehidupan berwarga negara, sambil bersusah payah untuk bertahan daripadanya. Keadilan terpisah, hak asasi sebagai manusia menjadi barang yang sulit untuk didapatkan dengan mudah. 

[Verse 1: Cholil]
Akhirnya tercerai, kau jatuh terjerembab
Dalam selokan
Diayunkan senapan
Kau saksikan
Langit hitam

[Chorus: Cholil]
Asap mengepul ke udara
Laras panjang hantam kepala
Nasion di atas manusia
Pecah berserakan cinta

[Verse 2: Cholil]
Bagaikan di taman
Kanon air melengkung di angkasa
Menghujam, memberai
Satu gugur
Bersemi sekebun

Tiga bait lagu yang tertera di atas, merupakan penggambaran begitu mencekam dan ugal-ugalannya perbuatan yang dilakukan oleh kekuasaan negara yang tiranis nan bengis. Seperti yang pernah diungkapkan Max Weber, bahwa negara melegitimasi kekerasan untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. Atas nama pembangunanisme (developmentalism), atas nama nasionalisme, semua dikultuskan di atas manusia, semua ditabrak menihilkan rasionalitas keadilan. 

Namun, Efek Rumah Kaca dalam lagunya di Bersemi Sekebun ini memberikan keyakinan moral terhadap pendengarnya, bahwa meskipun gerakan melawan lingkaran setan kekuasaan ini berujung pada gugurnya para penggerak, mereka akan bersemi bermekaran dan tetap tumbuh berkali-kali di banyak tempat. Seperti yang diyakini oleh Sang Penyair di novel Laut Bercerita karya Leila S. Choudori, yakni “Matilah engkau mati, engkau akan lahir berkali-kali.”

Dari lirik di atas pula kita dihadapkan pada situasi demonstrasi; senapan dan anak peluru yang siap menghunus dada para demonstran, laras panjang yang dipopor dengan kencang, serta kanon air yang menghantam bagi siapapun yang melanggar ‘ketertiban umum’. 

Memang perilaku negara yang seperti ini, selalu dibenarkan demi menjaga keamanan dan pertahanan, bahkan ungkapan “NKRI harga mati” menjadi kosakata yang lumrah kita dengarkan dalam aktivitas keseharian. Tentu menjadi tidak afdol rasanya ketika berbicara kewajiban negara tanpa menyinggung teori kekuasaan negara. Teori negara dari Niccolo Machiavelli menjadi langganan bagi para pejabat atau pemangku kekuasaan untuk mengutipnya, barangkali dijadikan pembenaran untuk mencapai suatu tujuan dengan kekuatan (power)—militerisme dan formulasi hukum untuk menjaga kekuasaan.

[Spoken word: Morgue Vanguard]
Pada yang perlahan padam Ada sejenis api dari kemustahilan Sejenis harapan yang datang dari pelan nyala sekam Sejenis badai lahir dari rajutan bukan kepalan Tak semua seruan harus dilantangkan Serupa 98 di depan Kodam Dibisikkan dalam geliat temaram yang bersenyawa dengan pitam

Menitipkan marwah bara pada kalam-kalam Dalam diam menyumbang logam bagi godam Dalam sunyi berdansa dan menanam Kawan yang perlahan dimangsa kalam Beberapa perang bukan untuk dimenangkan Beberapa kemenangan bukan untuk dirayakan Dan dalam rentetan kekalahan bertahanlah sedikit lebih lama

Pada bagian Morgue Vanguard, rupa-rupa harapan kecil dapat bertahan di tengah rentetan kekalahan. Harapan yang tetap dijaga secara bersama di dalam kesunyian, kesengsaraan dan kekhawatiran massal. Pergulatan politik yang kompleks serta rumit menyisakan pengorbanan. 

Perlu disadari, common enemy rakyat—oligarki memiliki kekuatan yang seringkali mengantarkan rakyat pada kekalahannya. Untuk itulah tidak semua tindakan rakyat, tindakan kita bersama yang dipicu atas dasar riak-riak frustasi massal dipersiapkan untuk merengkuh kemenangan total atau revolusi sosial yang mutlak secara cepat begitu saja. Mengutip caption pada postingan Instagram vokalis FSTVLST, Farid Stevy di salah satu lukisan karyanya, yaitu “revolusi sejati tidak buru-buru terjadi.” Dan yakinlah, bahwa rentetan kekalahan kita tidak akan menyisakan kesia-siaan. Cintailah revolusi itu dengan abadi. 

[Bridge]
Adalah bentuk keluhuran
Merongrong kuasa yang tiran
Di jalan bersama kalian
Doa orang tua terngiang
Kawan bergandengan lengan
Harap jangan gelap kelam

Lirik pada bagian di atas berkenaan dengan bentuk keluhuran bagi siapapun yang dengan berani merongrong kekuasaan yang amoral. Pada gilirannya, kita tengah berhadapan dengan Fir’aun-Fir’aun modern yang buta terhadap keadilan. Sehingga, menjadi wajar apabila kita sebagai rakyat yang setia menjaga kewarasan dan mengutamakan nilai-nilai keadilan, layaknya Nabi Musa As. saat berhadapan dengan Fir’aun di masanya. 

Naas bilamana kesadaran politik tidak terbentuk di dalam benak rakyat, akan selamanya kita diinjak-injak oleh kekuasaan yang tidak adil terhadap manusia. Di jalan yang gersang, melawan ketidakadilan menjadi pilihan. Bersama-sama, bergandengan tangan, bahu membahu membangun kesadaran situasi politik menjadi kewajiban bagi mereka yang menyadarinya. 

Pada lirik yang sama, doa orang tua disebutkan sebagai modal gerakan. Tentu tidaklah terlupa bahwa “Ridhonya Allah terletak pada ridhonya orang tua…” (HR. Tirmidzi). Kepercayaan terhadap Sang Kuasa, pemilik alam semesta merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari ruas-ruas jalan gerakan. Dan menjadi penting ketika ridhonya orang tua membersamai niat kita untuk merongrong kuasa yang tiran. 

[Outro: Morgue Vanguard & Cholil]
Kawan yang perlahan padam (Bertahanlah)
Yang meranggas datang dari waktu-waktu terbenam (Bersabarlah)
Biarkan mengakar saat temaram (Bertumbuhlah)
Tak apa mengakui ringkih di palagan
Bertahanlah sedikit lebih lama
Tumbuhlah liar serupa gulma

Lirik penutup pada lagu Bersemi Sekebun sama halnya dengan lirik-lirik sebelumnya yang secara khusus mengingatkan kita untuk bertahan, bersabar dan tetap bertumbuh di situasi yang sengkarut. Bertahanlah untuk selalu membersamai kawan sependeritaan dan mereka yang dilemahkan. Ingatlah-ingat, sesungguhnya Allah melindungi mereka yang lemah. Dan tugas kita adalah menjalankan perintah-Nya.

Tak apa mengakui kerapuhan yang kita miliki, karena manusia yang sejati tidak luput dari kekurangannya sendiri. Namun, kekurangan-kekurangan tersebut harus dilengkapi seperti puzzle-puzzle yang disusun untuk menampilkan gambaran yang lengkap dan sesuai dengan seharusnya. 

Terakhir, ERK pada Bersemi Sekebun dengan penggalan lirik penutupnya yang terakhir sekali menyatakan “Tumbuhlah liar serupa gulma”, bagi penulis sendiri penggalan lirik terakhir ini adalah bagian terfavorit. Karena kesan untuk tetap tumbuh melawan status quo itu dianalogikan dalam bentuk gulma (red: rumput liar/tumbuhan pengganggu tanaman utama). Tugas kita sebagai manusia dan khalifah di muka bumi pada kenyataannya adalah mempersiapkan antagonisme massa terhadap ketidakadilan—tugas yang sama dijalankan oleh para nabi di setiap masanya—melawan status quo yang nihil nilai keadilan.  Lagu Bersemi Sekebun menjadi lagu favorit bagi para penggerak, lagu yang akan menjadi hiburan serta harapan untuk mereka yang tetap peduli dan melawan ketidakadilan penguasa. Resensi lagu ini juga sebagai rasa terima kasih penulis bagi mereka yang tetap tegar melawan arus status quo, mereka yang dapat penulis kenali, jumpai dan setidaknya ketahui, di antaranya: Eko Prasetyo, Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Sumarsih, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, Kasiyan, Joko Susanto, Dhika & Abdul LBH Semarang, ERK dan seluruh kawan-kawan jaringan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Tidaklah masalah hidup harus seperti apa susah payahnya, tetaplah tabah dan ramah terhadap mereka yang lemah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *