Beberapa bulan terakhir, kabar tidak sedap berhembus dari Senayan. Indonesia digegerkan dengan kasus korupsi e-KTP. Pasalanya, beberapa nama petinggi negara telah ditetapkan sebagai tersangka di pengadilan tipikor. Kasus ini seolah menguatkan nama baik KPK dihadapan rakyat. Bagaimana tidak, ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sibuk mengukuhkan fungsi KPK dengan hak angketnya, DPR sendiri malah melakukan tindak pidana korupsi.
Masih dengan kasus yang sama, terlihat beberapa media menunggu di depan kantor pemeriksaan tersangka kasus korupsi. Sosok yang ditunggu-tunggu datang, berjalan dengan tegak, membusungkan dada, mereka — para koruptor — tersenyum bangga. Menemui awak media dan mengatakan, “Kami akan mengkuti prosedur hukum yang ada. Kami berusaha untuk koopertaif dengan lembaga hukum di Indonesia.” Kalimat yang sudah tidak asing di telinga para pewarta.
Sekiranya koruptor ini bangga menenui para awak media dan mengatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku terpuji. Dengannya dapat mengurangi dan menuntaskan angka kemiskinan di Indoneisa. Terutama bagi keluarga para koruptor itu sendiri. Ketika mereka berdalih bahwa sebenarnya ini adalah misi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Mereka para koruptor — memposisikan diri sebagai rakyat yang beronani dengan politik itu sendiri. Pasalnya, korupsi tidak dapat dilakukan seorang diri. Mereka bekerjasama dengan membangun relasi, korporasi, dan manipulasi unnuk melancarkan aksi dan tujuan pribadi.
KPK yang merupakan lembaga yudikatif sebagai penegak hukum dan keadilan tanpa pandang bulu telah menunjukan keberaniannya. KPK berhasil mengungkapkan nama-nama petinggi negara dalam kasus korupsi e-KTP ini. Kasus yang menjerat Ketua DPR RI ini telah melumpuhkan penyebaran e-KTP pada beberapa daerah di Indonesia. Beberapa daerah mengaku kehabisan blanko e-KTP hal ini diduga menjadi akibat dari penyelewengan dana e-KTP tersebut.
Setya Novanto yang juga merupakan petinggi partai Golkar ini ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 17 Juli 2017. Pepatah mengatakan, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belangnya.” Tidak tanggung-tanggng, dua nama lain yang terseret dalam kasus ini adalah mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto. Nama-nama penting yang seharusnya bersih dari campur tangan kotor uang haram ini justru masuk dalam kubangan korporasi yang rumit.
Bukan tidak mungkin jika para elit politik lain merasa geram dengan tertangkapnya orang-orang penting penyokong pemerintahan oleh KPK. Terbukti bahwa kinerja KPK selama ini menunjukan prestasinya. KPK dengan gagah berani menyuarakan kebenaran dan keadilan. Mereka bersusah-payah membongkar kasus korupsi kelas kakap. Kinerja KPK sudah tidak bisa diragukan lagi. Beberapa orang-orang penting yang berusaha menyembunyikan kebusukan pun tercium kasusnya oleh KPK. Dari kepala daerah, pejabat tinggi, menteri aktif, hingga sekelas ketua DPR RI pun menjadi trek record KPK sampai detik ini.
Tidak dipungkiri jika ada ketakutan dari KPK jika suatu saat ada upaya serangan balik dalam bentuk pelemahan fungsi KPK. Dalam beberapa berita dan artikel disebutkan bahwa KPK siap menangung beberapa resiko besar seperti gunjangan politik yang akan terjadi di dalam pemerintahan. Termasuk adanya pengukuhkan fungsi KPK dengan memperjuangkan hak angket DPR. Jelas, para anggota Dewan bingasatan, kegerahan seperti cacing kepanasan. Pasalanya, jika KPK berhasil mengungkap nama-nama orang penting yang berasal dari sebuah partai A, B , C dan seterusnya, maka elektabilitas mereka akan terganggu.
Dalam kasus e-KTP ini KPK mengungkapkan adanya tiga pusaran politik yang saling mempengaruhi, yaitu: politikus, birokrat, dan pihak swasta. Sejak awal, proyek itu berpusat di Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Sedang proses penggarapan di lelang melibatkan beberapa perusahaan yang akan menggarap proyek besar ini. Untuk anggaran dana di bahas di Komisi II DPR selaku mitra kerja Kemendagri. Perhatian KPK terpusat pada tiga pusaran tersebut untuk merunut kejadian terkait korupsi yang menelan uang negara sekitar Rp 6 triliyun tersebut.
Dalam berbagai kasus korupsi, KPK dianggap mampu untuk menyelesaikan kasus yang dianggap tidak mudah. Apalagi mengungkap beberapa nama yang notabene adalah petinggi negara. Dikutip dari tribunnews.com presiden Joko Widodo menyerahkan semuanya kepada KPK. Kepercayaan ini diberikan presiden Joko Widodo karena KPK dapat membuktikan bahwa mereka mampu mengungkap kasus korupsi beberapa politisi ternama.
Penulis: Tika Lutfia Ningsih (Koordinator Sastra)